Bayangkan sebuah negara yang mencari sinar demokrasi hanya untuk menemukan luka dan darah sebagai gantinya. Inilah situasi Nepal saat ini. Dari jalanan Kathmandu, suara rakyat, yang seharusnya menjadi denyut nadi demokrasi, disambut dengan peluru dan gas air mata. Kisah ini bukan hanya tentang Nepal; ini tentang kita semua dan betapa rapuhnya demokrasi ketika pemerintah menyimpan telinga tuli terhadap rakyatnya.
"Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah" menggambarkan bagaimana perintah dari pemerintah Nepal untuk membatasi media sosial menjadi percikan dari protes besar-besaran. Warga negara menganggap perintah itu bukan sekadar blokade digital, tetapi melambangkan penghinaan terhadap kebebasan.
Penyebab mendasar berasal dari frustrasi yang telah lama terjadi akibat korupsi yang merajalela, nepotisme, ketidakadilan sosial, dan ketimpangan yang semakin melebar. Bagi warga Nepal, media sosial adalah alat untuk mengungkapkan ketidakpuasan dan ketika alat itu diambil, sebuah jalur komunikasi terputus.
Dan tragedi pun dimulai. Protes yang seharusnya memberikan suara telah dibungkam. Kekerasan negara yang represif merenggut nyawa banyak orang, dan setiap tembakan yang dilancarkan tidak hanya ditujukan kepada tubuh para pengunjuk rasa, tetapi juga kepada esensi negara itu sendiri. Monolog kekuasaan menggantikan dialog yang seharusnya dipertukarkan dalam demokrasi.
Pada akhirnya, langkah untuk mencabut larangan media sosial, datang terlambat. Luka sudah terlanjur dalam, dan trauma kolektif pun tercipta. Tulisan ini menegaskan bahwa demokrasi sejati bukan hanya soal pemilu, melainkan keberanian negara untuk mendengar kritik dan memberi ruang kebebasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI