Mohon tunggu...
nisawidiaputrii
nisawidiaputrii Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi saya traveling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Rupiah Bicara Cinta : Mengupas Tradisi Uang Penaik

26 Mei 2025   15:43 Diperbarui: 26 Mei 2025   15:43 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://sultantv.co/wp-content/uploads/2022/06/gadis-di-sulsel-dilamar-dokter-uang-panai-capai-rp-1-m-ditambah-apartemen-berlian-emas-50-gram.jpg

Tradisi pernikahan di Indonesia kaya akan keberagaman, salah satunya adalah tradisi 'Uang Panai' pada Suku Bugis Wajo. Lebih dari sekadar mahar, 'Uang Panai' adalah simbol penghargaan dan harga diri bagi perempuan Bugis. Nominalnya tidak main-main, bahkan seringkali lebih besar dan lebih mendapat perhatian dibandingkan mahar itu sendiri. Tinggi rendahnya 'Uang Panai' sangat dipengaruhi oleh strata sosial calon mempelai perempuan. Kecantikan, tingkat pendidikan, keturunan bangsawan (dengan gelar adat seperti Karaeng, Andi, Opu, Puang, Petta), jabatan, status ekonomi, hingga kedudukan dalam masyarakat, semuanya menjadi penentu besaran 'Uang Panai'. Semakin tinggi strata sosial seorang perempuan, semakin tinggi pula 'Uang Panai' yang harus disiapkan oleh pihak laki-laki Meskipun menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki, 'Uang Panai' kerap menjadi beban dan bisa menimbulkan polemik dalam proses pernikahan. Tak jarang, perbedaan pendapat mengenai jumlah 'Uang Panai' memicu pembatalan pernikahan, bahkan tindakan ekstrem seperti 'silariang' atau kawin lari

 Di tengah kentalnya adat istiadat Indonesia, Suku Bugis di Sulawesi Selatan menorehkan sebuah tradisi pernikahan yang begitu memikat sekaligus sering menjadi perbincangan: 'Uang Panai'. Lebih dari sekadar uang belanja atau mahar, 'Uang Panai' adalah cerminan status sosial, harga diri, dan bentuk keseriusan seorang laki-laki dalam meminang pujaan hatinya. Tradisi turun temurun dari nenek moyang ini masih dipegang teguh, khususnya di Kabupaten Wajo dan Takalar, dan menjadi syarat wajib dalam pernikahan adat BugisNominal 'Uang Panai' tak bisa diremehkan. Besarnya ditentukan oleh berbagai faktor, mulai dari tingkat pendidikan calon mempelai perempuan (lulusan S1, S2, bahkan kedokteran bisa membuat 'Uang Panai' mencapai puluhan juta), keturunan bangsawan (Karaeng, Daeng, Ata memiliki standar tersendiri), kekayaan, hingga status ekonomi dan jabatan di masyarakat. Semakin tinggi strata sosial seorang perempuan, semakin besar pula 'Uang Panai' yang harus disiapkan oleh pihak laki-laki. Ini bukan hanya soal materi, melainkan wujud penghormatan kepada martabat perempuan itu sendiri. Namun, di balik kemegahan tradisi ini, 'Uang Panai' seringkali menjadi pedang bermata dua. Tingginya nominal yang disyaratkan tak jarang membuat banyak laki-laki gagal menikahi kekasihnya, meskipun hubungan telah terjalin lama. Kondisi ini bahkan memicu terjadinya 'silariang' atau kawin lari, sebuah tindakan memalukan dalam budaya Bugis karena dianggap merendahkan 'siri' (harga diri) keluarga. Meskipun demikian, 'Uang Panai' juga memiliki sisi positif, yaitu menumbuhkan semangat etos kerja yang tinggi pada laki-laki untuk berusaha lebih keras demi memenuhi persyaratan tersebut. Uang Panai' bukan sekadar transaksi, melainkan sebuah narasi budaya yang kompleks. Ia mencerminkan perpaduan antara penghargaan terhadap perempuan, status sosial, dan perjuangan cinta yang terkadang harus berhadapan dengan tuntutan adat yang tak kecil. Memahami 'Uang Panai' berarti menyelami lebih dalam filosofi hidup Suku Bugis, di mana harga diri dan kehormatan menjadi pondasi yang tak tergoyahkan

Tradisi 'Uang Panai' dalam perkawinan adat Suku Bugis Makassar adalah sebuah fenomena budaya yang kaya makna dan seringkali menjadi sorotan. Lebih dari sekadar uang, 'Uang Panai' adalah simbol kompleks yang merepresentasikan penghargaan, pengikat, hingga strata sosial dalam masyarakat Bugis Makassa :

  • Bukan untuk Disimpan, Melainkan untuk Pesta Megah: Meskipun jumlahnya besar, 'Uang Panai' umumnya tidak disimpan oleh keluarga perempuan, melainkan digunakan untuk membiayai prosesi dan kemeriahan pesta pernikahan. Ini menunjukkan bahwa keuntungan materi bukanlah tujuan utama, melainkan kehormatan dan gengsi.
  • Filosofi 'Siri' na Pacce' dalam 'Uang Panai: Tradisi 'Uang Panai' sangat erat kaitannya dengan budaya 'siri' na pacce' (rasa malu/harga diri dan kepedihan/solidaritas) yang menjadi watak orang Bugis Makassar. Kemampuan memenuhi 'Uang Panai' dianggap menjaga 'siri' keluarga, sementara kegagalan dapat mendatangkan rasa malu.
  • Motivasi atau Beban? Dilema Kaum Muda Bugis Makassar: Bagi laki-laki, 'Uang Panai' bisa menjadi motivasi besar untuk bekerja keras demi mendapatkan wanita pujaan hatinya. Namun, tak jarang tingginya jumlah 'Uang Panai' menjadi beban yang menyebabkan kegagalan pernikahan bahkan mendorong terjadinya 'silariang' (kawin lari). Fenomena ini menimbulkan perdebatan di kalangan kaum muda yang memandang 'Uang Panai' cenderung bersifat transaksional dan memberatkan
  • Cerminan Status Sosial dan Gengsi Keluarga: Nominal 'Uang Panai' sangat dipengaruhi oleh status sosial perempuan, termasuk keturunan bangsawan (Puang, Andi, Karaeng), tingkat pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, hingga kondisi fisik yang sempurna seperti paras cantik dan kulit putih. Semakin tinggi 'Uang Panai' yang mampu dipenuhi, semakin tinggi pula citra diri dan kehormatan keluarga di mata masyarakat.
  • Bukan Sekadar Mahar, Tapi Simbol Penghargaan dan Harga Diri: 'Uang Panai' adalah bentuk penghargaan pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang dicintai, menunjukkan keikhlasan dan ketulusan dalam memenuhi persyaratan keluarga perempuan. Bahkan, bagi perempuan Bugis Makassar, jumlah 'Uang Panai' menjadi simbol 'siri'' atau harga diri seorang perempuan dan keluarganya

Jadi, "Uang Panai" dalam tradisi pernikahan Suku Bugis Makassar adalah lebih dari sekadar mahar atau biaya pesta. Ia adalah cerminan kompleks dari nilai-nilai budaya yang mendalam: penghargaan, harga diri, dan strata sosial. Meskipun seringkali menimbulkan dilema dan bahkan memicu fenomena "kawin lari" karena nominalnya yang tinggi, tradisi ini juga melahirkan etos kerja yang kuat pada kaum pria. Uang Panai' mengingatkan kita bahwa di balik setiap adat dan tradisi, ada makna simbolik yang mengakar kuat. Ia bukan hanya tentang berapa banyak uang yang harus disiapkan, tetapi tentang keseriusan, pengorbanan, dan penghormatan terhadap martabat perempuan dan keluarga. Pada akhirnya, 'Uang Panai' adalah kisah tentang cinta, perjuangan, dan bagaimana sebuah budaya terus hidup dan beradaptasi di tengah zaman yang terus berubah. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari identitas Suku Bugis Makassar, sebuah warisan yang patut terus dipahami dan dilestarikan makna luhurnya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun