Mohon tunggu...
Nisa Nurachmah
Nisa Nurachmah Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Politik UPNVJ

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme dan Budaya Patriarki di Indonesia

22 Mei 2021   23:09 Diperbarui: 22 Mei 2021   23:17 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Budaya patriarki sudah sejak lama berkembang di dalam kehidupan manusia. Sejak lahir manusia memiliki hak yang sama dalam segala aspek, baik laki-laki maupun perempuan. Budaya patriarki membatasi ruang perempuan untuk mendapatkan hak yang sama seperti yang laki-laki dapatkan. Perempuan selalu dianggap sebagai makhluk lemah yang harus menjadi peran domestik dalam keluarga. Semakin berkembangnya jaman dan bertambahnya waktu, laki-laki sudah seharusnya sadar akan keseimbangan peran dalam rumah tangga dengan mengambil andil mengerjakan perkerjaan domestik.

Patriarki menurut Walby adalah sebuah sistem struktur sosial dan praktik di mana laki-laki mendominasi, menekan, dan mengeksploitisir perempuan. Ia juga membangun struktur yang disebut dengan enam struktur dasar patriarki, diantaranya adalah 1) Patriarki beroperasi melalui pekerjaan yang dibayar di mana perempuan menghadapi segregasi horisontal dan vertikal yang mengarah secara sistematis dalam sistem pengupahan kapitalisme. 

2) Patriarki beroperasi melalui pembagian kerja berdasarkan gender dalam rumah tangga yang memaksa perempuan untuk mengambil tanggung jawab utama untuk pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. 3) Perempuan selalu dalam "kerugian budaya" yang mengglorifikasi femininitas, yangmana bila perempuan menolak itu, ia akan mengalami kerugian-kerugian budaya. 4) Hubungan heteroseksual dilihat oleh Walby pada dasarnya patriarkal. 5). Patriarki sering ditopang oleh kekerasan laki-laki terhadap perempuan.  6). Patriarki ditopang dan dipelihara dengan baik oleh negara.

Aristoteles memiliki pandangan yang cenderung negatif terhadap perempuan. Seluruh asumsi filsafat politik Aristoteles adalah bahwa di dunia ini hanya terdapat satu macam kelas manusia, yaitu laki-laki bebas (free males) yang harus hidup secara penuh dan melihat yang lain-lainnya sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Lebih jauh, Aristoteles secara konsisten melihat perempuan sebagai manusia yang cacat dan juga inferior. 

Ia percaya bahwa dalam konsepsi manusia, perempuan mensuplai “materi”, yaitu cairan menstruasi dan laki-laki mensuplai “bentuk” dan “jiwa” melalui sperma. Dengan demikian, ia yakin bahwa laki-laki lebih superior karena memiliki “vital panas” (vital heat) karena spermanya yang mensuplai “bentuk” atau “jiwa” sehingga ia lebih unggul daripada perempuan yang hanya mensuplai “materi” (Arivia, 2003: 30).

Kedudukan laki-laki dalam bidang politik, sosial, maupun ekonomi menduduki bangku teratas dibandingkan dengan perempuan.  Pembatasan peran perempuan dalam segala aspek oleh budaya patriarki membuat perempuan terbelenggu dan kerap mendapatkan diskriminasi. Dapat dilihat dengan jelas mengenai masalah-masalah sosial yang kerap perempuan dapatkan diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT, kasus pelecehan seksual verbal maupun non-verbal yang selalu meningkat setiap tahun, pernikahan dini.

Kekerasan dalam rumah tangga menjadi masalah yang selalu meningkat setiap tahunnya. Dilansir dari Komnas Perempuan, kekerasan dalam ranah personal atau KDRT sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Nurmala berpendapat bahwa semua masyarakat Indonesia pada umumnya menganut sistem patriarki, sehingga posisi perempuan dalam masyarakat masih dipandang tidak melebihi laki-laki dan laki-laki juga selalu diposisikan paling utama, unggul dan dominan dalam masyarakatnya. Kekentalan budaya patriarki yang ada di Indonesia sangat terlihat dengan jelas. Dahulu aktivitas perempuan cenderung terikat oleh norma sosial ini yang menjadi alasan akan sempitnya ruang gerak perempuan. Pembentukan pikiran mengenai perempuan yang harus bekerja dalam hal domestik dan pandangan mengenai wanita karir sangatlah bertentangan dengan kodrat perempuan pada zaman dahulu. Perumpamaan mengenai perempuan harus bekerja di dapur, di sumur, dan di kasur sudah tidak relevan lagi. Sekarang perempuan sudah banyak menyuarakan suara mereka terkait dengan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Lewat feminisme, perempuan dapat menyuarakan hak-hak mereka. Feminisme menurut Yubahar Ilyas adalah suatu kesadaran mengenai ketimpangan pembagian gender yang dialami oleh kaum perempuan, meliputi berbagai perspektif, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sosial, sehingga mendorong kesadaran oleh perempuan maupun lelaki yang kemudian diwujudkan dalam tindakan dengan tujuan mengubah ketimpangan tersebut.

Mary Wollstonecraft lewat karyanya "A Vindication of the Rights of Woman" yang dipublikasi pada akhir abad ke-18 sebagai respon terhadap pandangan rousseau menyampaikan bahwa, stigma terhadap perempuan sebagai makhluk yang inferior secara intelektual tidak lepas dari alasan bahwa pembatasan bagi kesempatan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan secara bebas. Wollstonecraft mengkritik terhadap pandangan masyarakat terhadap perempuan dan kedudukannya. Wollstonecraft menyuarakan tuntutan agar dilakukannya reformasi mengenai pendidikan untuk perempuan.

Gerakan feminisme mengambil langkah banyak untung menyuarakan hak-hak perempuan, salah satunya untuk menghilangkan budaya patriarki di Indonesia. Gerakan feminisme yang sudah ada sejak lama di Indonesia faktanya sudah kuat dan besar, namun budaya patriarki seperti sudah mendarah daging pada masyarakat Indonesia karena dari itulah budaya patriarki masih sulit dihilangkan. Stigma terhadap perempuan yang ada pada masyarakat Indonesia belum sepenuhnya berubah. Perempuan yang selalu dipandang lemah dan rendah daripada laki-laki membentuk pola pemikiran masyakarat Indonesia terhadap perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun