Mohon tunggu...
Khumairotun Nisa
Khumairotun Nisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Current student in University of Jember

Faculty of engineering, Urban and Regional Planning

Selanjutnya

Tutup

Money

Permasalahan Penerbitan Obligasi Daerah

12 Mei 2020   09:01 Diperbarui: 12 Mei 2020   09:04 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian dari Obligasi adalah surat pinjaman dengan bunga tertentu dari pemerintah yang dapat diperjualbelikan. 

Pengertian lainnya adalah surat utang berjangka waktu lebih dari satu tahun dan bersuku bunga tertentu, dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan perusahaan. 

Atau penjelasan lebih mudahnya obligasi adalah surat resmi yang berisikan bahwa investor telah meminjamkan sejumlah uang untuk pemerintah atau perusahaan dalam kurun waktu tertentu, bisa dalam jangka waktu yang pendek hingga jangka waktu panjang.

Keuntungan yang bisa diperoleh oleh investor obligasi yaitu medapat bunga dalam jumlah tertentu dari uang yang telah diinvestasikan. Pembayaran kembali sejumlah harga pokok hutang beserta bunganya disebut dengan kupon. Obligasi dapat diperjualbelikan secara bebas dalam pasar modal, dalam kata lain dapat dicairkan sebelum jangka waktu yang ditentukan. Namun ada juga obligasi yang tidak dapat dijual hinnga jangka waktu selesai.

Tujuan dari diterbitkannya obligasi adalah untuk menambah modal dalam jumlah yang besar dan mengumpulkan dana yang digunakan untuk mendukung operasi perusahaan atau entitas.

Obligasi daerah adalah surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah daerah sebagai issuer atau emiten yang dapat berbentuk institusi atau unit kerja organisasi di bawah pemerintahan daerah (pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota).

Penerimaan dana dari penerbitan dan penjualan obligasi daerah dapat digunakan untuk pembiayaan kegiatan pemerintah daerah dalam menyediakan barang-barang publik, yang penyediaannya memang tidak dapat dilakukan melalui sistem pasar sebagaimana barang swasta.

Barang-barang public yang dapat dibiayai dengan obligasi antara lain adalah jalan umum, tol, irigasi, puskesmas, listrik, telekomunikasi, jembatan, pelabuhan, dan barang public lainnya yang memiliki sifat return of investment. Return of investment (ROI) sendiri merupakan rasio yang menunjukkan hasil dari jumlah aktiva yang digunakan dalam ukuran tentang efisiensi manajemen. 

Dari pengadaan barang-barang public tersebut dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat umum atau untuk kemajuan suatu daerah, bukan untuk profit oriented (pencetakan laba yang sebesar-besarnya).

Obligasi memiliki beberapa jenis antara lain : obligasi umum (general obligation) yaitu obligasi yang pembayarannya dijamin oleh pemerintah melalui pajak yang dikumpulkannya, obligasi pendapatan (revenue bond) adalah obligasi yang pembayarannya dijamin oleh hasil/pendapatan proyek yang dibiayai, dan obligasi jenis ketiga adalah obligasi double-berrel yang mana pembayarannya dijamin dari pendapatan proyek, tetapi bila proyek tersebut gagal, maka akan dijamin oleh pemerintah.

Pada tahun 2017 tepatnya pada bulan Desember lalu, OJK menerbitkan beberapa peraturan baru dan salah satunya adalah mengenai obligasi daerah. Karena obligasi merupakan salah satu sumber pembiayaan yang mengcover pembangunan dengan presentase yang besar dibandingkan sumber pembiayaan yang lain maka aturan mengenai obligasi daerah juga bisa meningkatkan sinergi antara pemerintah daerah dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, DPRD dan OJK.

Selain itu ketentuan yang terbit ini dipercaya akan semakin memudahkan pemerintah daerah untuk menerbitkan obligasi daerah, memperkuat implementasi keuangan berkelanjutan, dan mempercepat proses layanan kepada stakeholders sehingga lebih efisien dan transparan. Sehingga diharapkan peraturan ini dapat membawa dampak positif.

Adapun aturan mengenai obligasi daerah tersebut tertuang dalam tiga POJK (Peraturan OJK) baru. Pertama, POJK Nomor 61/POJK.04/2017 tentang Dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah. Kedua, POJK Nomor 62/POJK.04/2017 tentang Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah. Ketiga, POJK Nomor 63/POJK.04/2017 tentang Laporan dan Pengumuman Emiten Penerbit Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengatakan bahwa penerbitan POJK terkait obligasi daerah merupakan upaya alternatif untuk mendukung program prioritas pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. Menurut Wimboh, obligasi daerah bisa mendorong pelebaran pembiayaan APBD dalam mempercepat pembangunan infrastruktur. 

Berdasar aturan baru tersebut, dalam penerbitan obligasi daerah, pemerintah daerah perlu menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada OJK dan menerima persetujuan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta DPRD.

Namun, hingga saat ini permasalahan yang dihadapai adalah banyak pemerintah daerah yang masih kurang kreatif dalam mencari sumber pendanaan. Mengenai obligasi daerah ternyata masih belum banyak yang diketahui oleh para lakon pemerintah daerah. 

Tidak hanya itu, penyebab lain yang menyebabkan pemerintah daerah kurang kreatif dalam mencari pendanaan adalah kurangnya transparansi pemda dalam mengambil kebijakan dan pengelolaan APBD.

Padahal menurut Wimboh, aspek tata kelola APBD oleh pemerintah daerah perlu menjadi perhatian. Karena kepercayaan investor sangat tergantung pada bagaimana pemerintah daerah mengelola APBD dan memanfaatkan dana hasil penerbitan obligasi daerah.

Kurang maksimalnya kesiapan pemerintah daerah dalam hal ini dikarenakan adanya public expose roadshow yang mengharuskan daerah tersebut untuk siap ditanyai seperti posisinya dimana, dampaknya bagaimana dan lain sebagainya.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Primanto Bhakti mengatakan bahwa baru beberapa daerah yang mengerti tentang persoalan penerbitan obligasi. Daerah-daerah tersebut dalah Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bhawa kebutuhan utang justru diajukan oleh daerah-daerah yang sudah relatif kaya atau berkecukupan. Padahal seharusnya fasilitas tersebut dimanfaatkan oleh daerah yang kekurangan anggaran.

"Jadi belajar pengelolaan APBD. Menerbitkan surat utang daerah kami masih hati hati. Ironisnya daerah yang kaya yang siap menerbitkan surat utang. Seharusnya yang kekurangan yang menerbitkan," ucap Sri Mulyani dalam paparannya di Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu.

Sehingga dapat dikatakan bahwa peraturan OJK yang telah disebutkan diatas tidak mendorong pemerintah daerah untuk menerbitkan obligasi daerah. Alasannya bukan hanya karena minim pengetahuan tentang obligasi namun juga dikarenakan pemerintah daerah kurang transparasi dalam pengelolaan APBD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun