Mohon tunggu...
Anisa Amal
Anisa Amal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilihan Presiden 2014 dan Hiruk-pikuk yang Terjadi di Dalamnya

4 Desember 2017   00:07 Diperbarui: 4 Desember 2017   00:52 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hiruk pikuk pemilihan presiden 2014 sudah kita lewati. Namun, masih segar di ingatan kita tentang terbelahnya media massa kita, baik cetak maupun elektronik, kedalam dua kubu yang berseberangan. Satu kubu mendukung Jokowi, sementara kubu lainnya mendukung Prabowo.

Pemberitaan hingga talkshow politik di kedua media massa tersebut pun dibingkai untuk mendukung salah satu capres (calon presiden) pada saat itu. Bahkan keterbelahan media massa menjadi kubu pro dan anti capres waktu itu juga tercermin dalam pembagian kue iklan dalam kampanye. Temuan Yayasan SatuDunia dalam pemantauan iklan capres mengungkapkan bahwa media massa, utamanya televisi, yang mendukung capres tertentu akan memberikan porsi iklan yang lebih banyak terhadap capres yang didukungnya.

Konvergensi media pun akhirnya menularkan keterbelahan itu ke ranah sosial media. Pengguna sosial media, baik facebook dan twitter pun terbelah menjadi pendukung atau anti terhadap salah satu capres. Jejak keterbelahan dua kubu itu di sosial media masih bisa kita temukan jejaknya hingga sekarang.

Kenapa keterbelahan media dalam pilpres 2014 dapat terjadi? Penyebabnya, para pemilik media itu memiliki kedekatan khusus dengan partai-partai politik yang mendukung salah satu capres. Media massa yang harusnya menjadi corong untuk menyuarakan kepentingan publik, dengan sengaja dibelokan menjadi corong kepentingan politik para pemiliknya.

Waktu berlalu. Dinamika politik pun terus berkembang. Kini peta politik telah berubah. Tokoh-tokoh politik yang dulu berseberangan karena mendukung salah satu capres kini sudah bisa tertawa bersama. Bahkan diantara mereka ada yang berbelok menjadi pendukung pemerintah.

Mengikuti jejak para polah para politisi, jika pada 2014 kita melihat dan merasakan keterbelahan media menjadi dua kubu yang pro dan kontra capres, bukan tidak mungkin media-media yang dulu bersebrangan itu kini justru bersatu mendukung salah satu figur di ajang pemilu. Nampaknya hal itu bukan tidak mungkin terjadi di saat pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang.

Seperti santer diberitakan di berbagai media massa bahwa tiga partai politik besar yaitu, Partai Golkar, Nasdem dan Hanura menjadi pendukung resmi Basuki Tjahaya Purnama atau akrab dipanggil Ahok dalam pilkada DKI Jakarta. Dan sudah menjadi rahasia umum dua dari tiga partai politik itu dekat dengan dua media massa besar di Indonesia.

Dua media massa itu adalah Media Group dan Visi Media Asia. Media Group dekat dengan Surya Paloh, petinggi Partai Nasdem dan Visi Media Asia dekat dengan Aburizal Bakrie yang elite di Partai Golkar. Media Group memiliki jaringan media cetak, televisi dan portal berita online. Sementara Visi Media Asia memiliki jaringan dua televisi dan satu portal berita online.

Jika kedua media massa itu benar-benar digunakan untuk corong kepentingan politik para elite pemilik media, maka dapat dibayangkan wajah pemberitaan media pada pilkada DKI Jakarta mendatang. Bila pada pilpres 2014, media massa terbelah untuk mendukung dan anti terhadap salah satu capres maka, pada pilgub DKI Jakarta mendatang bukan tidak mungkin pemberitaan media massa akan dibingkai untuk mendukung Ahok kembali menduduki kursi DKI 1.

Jika itu yang terjadi maka bahayanya tidak kalah dibandingkan ketika media massa terbelah seperti pada pilpres 2014. Jika dua media massa besar bersatu untuk mendukung salah satu kandidat Gubernur Jakarta maka hampir dapat dipastikan wajah bopeng Ibukota meskipun itu menyangkut hajat hidup warga kota akan disembunyikan. Dan yang muncul di media hanyalah wajah-wajah palsu Ibukota. Persoalan-persoalan krisis air bersih, polusi udara, sampah, penggusuran dan penguasaan lahan oleh segelintir orang kaya di Ibukota akan disembunyikan. Padahal persoalan-persoalan itu yang justru secara nyata dirasakan oleh warga kota, utamanya kelas menengah bawah.

Pemimpin Ibukota yang diharapkan mampu merubah model pembangunan penyebab terjadinya krisis justru tidak muncul. Kenapa demikian? Karena persoalan-persoalan pokok yang menjadi wajah bopeng Ibukota justru disembunyikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun