Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksivitas Terhadap Pengalaman Menggunakan Media Sosial

23 Maret 2019   22:37 Diperbarui: 23 Juni 2019   23:41 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kegaduhan berita di media sosial akibat perbedaan pandangan politik, pandangan agama, insting dalam mempercayai berita hoax, dan sebagainya membuat saya merasa gaduh dan tidak nyaman ketika berada di dalam ruang media sosial. 

Bukan suatu kewajiban juga bagi orang lain untuk membuat saya merasa nyaman dalam paparan informasi yang beragam, tetapi saya memiliki tanggung jawab untuk membuat diri sendiri merasa aman dan nyaman. 

Ada salah seorang teman yang merasa blak-blakan marah kepada saya, karena saya mengunfollow akun media sosialnya, tapi apalah daya yang bisa saya lakukan?

 Sebab di era sekarang, tuturan  langsung malah membuat orang lain semakin terbawa perasaan, menyindir di media sosialnya, lalu menjadi bual-bualan di dalam ruang pernyinyiran. Ujung-ujungnya bila tidak memiliki pertahanan diri dan mental yang tangguh, batin dapat ikut terganggu, padahal di usia seperempat abad ini, saya merasa penting sekali untuk menjaga kesehatan diri, baik secara fisik maupun secara batin. 

Ada banyak anak muda dalam populasi yang menyebar, lalu mengalami sakit mental, beruntungnya pemulihan dan berbincang dengan psikiater sudah tidak banyak dilabeli stigma-stigma buruk. 

Media sosial juga dapat menjadi jembatan seseorang mengalami gangguan jiwa lho. Untuk alasan itulah, saya perlu membekali diri sendiri, dengan memilah-milah asupan informasi yang ingin saya konsumsi, sesederhana itu. 

Berdasarkan seminar menangkal hoax yang pernah saya ikuti yang diselenggarakan oleh Kominfo dan Suara Muhammadiyah, diketahui bahwa setiap orang di era teknologi ini berada dalam derajah kecanduan gawai tingkat akut dimana ada penelitian yang menyebutkan bahwa kita tidak bisa merasa jauh dari handphone hanya dalam batas waktu hanya tujuh menit, ya sesingkat itu, setelahnya kita akan merasa sangat panik ketika berada jauh dari gawai atau media sosial, melebihi rasa ingin menemui diri sendiri. 

Ini juga yang menjadi alasan kenapa minat membaca buku penduduk Indonesia masih sangat rendah. Lompatan budaya dari membaca buku secara manual ke dalam budaya literasi digital terjadi secara cepat, tanpa memberikan kesempatan kepada kita untuk berproses untuk membaca buku secara utuh, menangkap makna, mendalami, hingga memaknai. 

Lompatan ini membawa kita pada percepatan dan semakin kompetitif dalam membaca, tetapi lupa substansi makna bacaan, budaya like atau mendahului komen tanpa membaca konten. 

Fakta sosiologis ini sangat mengerikan dan menafikan relasi kemanusiaan, sehingga kita yaaaa lebih gemar banyak komentar, nyinyir, dibandingkan memberikan sanjungan, saling belajar dan merekleksikan informasi, atau bahkan berpikir kritis. 

Etika yang digunakan dalam media sosial tentu tidak berlaku linier dengan adab dalam kehidupan nyata, dimana nilai-nilai dalam media sosial dapat ditentukan sendiri menurut selera, sementara dalam kehidupan nyata ada semacam konsensus yang membuat kita untuk tetap patuh dalam ikatan bersama, tidak bisa selepas ketika berada di media sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun