Mohon tunggu...
ni putu nabila sagitariani
ni putu nabila sagitariani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang Mahasiswa baru Universita Pendidikan Ganesha jurusan Biologi dan Perikanan Kelautan, Prodi Pendidikan Biologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Filosofi Brahma Widya : Menerpa Isu Miring Tentang Agama Hindu yang Disebut Sebagai Agama Politeisme

16 September 2025   22:01 Diperbarui: 16 September 2025   22:01 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Agama Hindu adalah salah satu agama tertua di dunia yang lahir dan berkembang di India, serta memiliki ajaran yang sangat kaya, mendalam, dan filosofis. Akan tetapi, di tengah kemuliaan ajarannya, Hindu sering kali menghadapi stigma dan isu miring yang menyebutnya sebagai agama politeisme, yakni agama yang memuja banyak dewa atau Tuhan. Pandangan ini muncul karena dalam praktik keagamaan Hindu memang terdapat pemujaan kepada banyak dewa seperti Brahmā, Wisnu, Siwa, Dewi Saraswati, Dewi Lakshmi, Dewi Parwati, Ganesha, dan lain sebagainya. Gambaran yang terlihat dari luar ini seringkali dipersepsikan secara keliru bahwa Hindu tidak mengenal satu Tuhan yang Esa. Padahal, dalam kenyataannya, Hindu justru memiliki ajaran filsafat yang sangat mendalam mengenai Tuhan, yang disebut sebagai Brahman, realitas mutlak yang menjadi sumber dan tujuan segala sesuatu. Salah satu cabang filsafat Hindu yang menjelaskan hal ini adalah Brahma Widya, yaitu ilmu pengetahuan tertinggi tentang Brahman. Artikel ini bertujuan untuk menerpa isu miring tentang Hindu yang disebut sebagai agama politeisme, dengan menelusuri konsep dasar politeisme itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan ajaran ketuhanan dalam Hindu, khususnya melalui pendekatan Brahma Widya. Dengan penjelasan yang sistematis, diharapkan masyarakat dapat memahami bahwa Hindu bukanlah sekadar pemuja banyak dewa, tetapi sebuah sistem spiritual yang menekankan kesatuan Tuhan dalam keragaman manifestasi.

Pengertian Politeisme dan Pandangan Umum

Secara etimologis, kata politeisme berasal dari bahasa Yunani, yakni “poly” yang berarti banyak, dan “theos” yang berarti Tuhan atau dewa. Politeisme kemudian didefinisikan sebagai suatu sistem kepercayaan atau agama yang mengakui dan menyembah banyak dewa secara terpisah, di mana masing-masing dewa dianggap memiliki kekuatan, otoritas, dan wilayah kekuasaan sendiri-sendiri. Dalam sejarah agama-agama dunia, konsep politeisme dapat ditemukan pada peradaban Yunani Kuno yang memuja Zeus, Hera, Athena, dan Apollo, atau pada bangsa Romawi yang menyembah Jupiter, Mars, Venus, dan lain-lain. Politeisme juga tampak dalam tradisi Mesir Kuno dengan Osiris, Isis, Horus, dan Ra. Dalam konteks ini, politeisme benar-benar memandang dewa-dewa tersebut sebagai entitas yang berdiri sendiri dan memiliki keilahian yang terpisah satu sama lain. Dari sudut pandang inilah kemudian agama Hindu seringkali disalah pahami. Banyaknya nama dan rupa dewa dalam tradisi Hindu dipersepsikan mirip dengan konsep politeisme Yunani atau Romawi. Akan tetapi, terdapat perbedaan fundamental yang sangat mendasar. Dalam Hindu, dewa-dewa bukanlah entitas yang terpisah, melainkan manifestasi dari satu sumber ilahi yang sama, yaitu Brahman. Dengan demikian, meskipun secara lahiriah tampak seperti politeisme, secara hakikat Hindu mengajarkan monoteisme yang sangat mendalam. Untuk memahami ini lebih lanjut, perlu melihat konsep Brahman dalam ajaran Brahma Widya.

Brahma Widya Pengetahuan tentang Realitas Tertinggi

Brahma Widya adalah cabang filsafat Hindu yang secara khusus membahas tentang Brahman, realitas mutlak yang kekal, tak terbatas, dan tak terjangkau oleh pikiran maupun kata-kata. Secara etimologis, kata Brahma Widya berasal dari dua kata Sanskerta, yaitu Brahman yang berarti realitas tertinggi, kebenaran absolut, prinsip universal dan Vidya artinya pengetahuan atau ilmu. Maka, Brahma Vidya berarti pengetahuan tentang Brahman. Menurut ajaran Upanishad, Brahma Vidya adalah pengetahuan yang membawa seseorang menuju pembebasan (moksha). Pengetahuan ini tidak hanya berupa teori, tetapi realisasi langsung melalui pengalaman spiritual. Oleh karena itu, Dalam kitab Mundaka Upanishad (1.1.4–5) juga dijelaskan bahwa terdapat dua jenis pengetahuan yaitu apara vidya (pengetahuan rendah) yang mencakup Weda, mantra, dan ritual serta para vidya (pengetahuan tinggi), yaitu pengetahuan tentang Brahman. Pengetahuan inilah yang menjadi inti Brahma Widya. Melalui Brahma Widya, manusia diarahkan untuk menyadari bahwa dirinya, yang disebut Atman, sejatinya tidak berbeda dengan Brahman. Hubungan Atman dan Brahman ini sering diungkapkan dalam mahavakya atau pernyataan agung dari Upanishad, seperti “Tat Tvam Asi” (Itu adalah engkau) dalam Chandogya Upanishad 6.8.7, yang menegaskan bahwa jiwa individu hakikatnya satu dengan jiwa universal. Dengan dasar inilah Hindu menegaskan bahwa ada satu realitas tertinggi. Semua dewa yang dipuja dalam berbagai bentuk ritual hanyalah jalan dan simbol untuk mendekatkan diri kepada realitas tunggal itu. Jadi, pemujaan terhadap dewa tidak berarti politeisme dalam arti yang sebenarnya, melainkan cara beragam manusia untuk menyembah Tuhan yang Esa sesuai dengan manifestasinya masing – masing.

Hubungan Saguna Brahman dan Nirguna Brahman dalam Ajaran Brahma Widya

Salah satu pembahasan paling penting dalam ajaran Brahma Widya adalah pembedaan antara Saguna Brahman dan Nirguna Brahman. Pembedaan ini tidak dimaksudkan untuk mengisyaratkan adanya dua Tuhan yang berbeda, melainkan untuk mempermudah manusia dalam memahami tingkat realitas dan aspek ketuhanan yang sangat kompleks. Brahman atau  Ida Sang Hyang Widhi pada hakikatnya adalah satu, tetapi karena keterbatasan pikiran manusia, maka Brahman dipahami dalam dua dimensi yaitu transenden (Nirguna) dan imanen (Saguna).Nirguna Brahman adalah Brahman dalam bentuknya yang paling murni, tanpa atribut (nir berarti tanpa, guna berarti sifat/atribut). Brahman ini melampaui segala bentuk, nama, ruang, dan waktu. Ia tidak bisa dipikirkan, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahkan tidak dapat dicapai melalui indra. Upanishad menyebutnya sebagai “neti, neti” bukan ini, bukan itu karena setiap upaya manusia untuk mendefinisikan Tuhan akan selalu gagal. Brahman dalam bentuk Nirguna adalah realitas absolut, tanpa perubahan, tanpa aktivitas, dan menjadi dasar eksistensi seluruh alam semesta. Inilah Tuhan yang bersifat transenden, tidak terjangkau oleh pengalaman empiris manusia.

Di sisi lain, Saguna Brahman adalah Brahman yang diwujudkan dengan atribut tertentu agar dapat dipahami oleh manusia. Saguna Brahman merupakan Brahman yang “turun” dalam bentuk yang dapat dijangkau pikiran, sehingga dipersonifikasikan sebagai dewa-dewi dengan nama dan rupa tertentu. Misalnya, ketika Brahman dipahami dalam fungsi pencipta, Ia disebut Brahma; dalam fungsi pemelihara, Ia disebut Wisnu; dan dalam fungsi pelebur, Ia disebut Siwa. Demikian pula, ketika kualitas pengetahuan ditonjolkan, maka Brahman dipersonifikasikan sebagai Dewi Saraswati, ketika kualitas kasih sayang dan kekuatan ibu ditekankan, maka Ia tampak dalam rupa Dewi Parwati. Dengan demikian, Saguna Brahman adalah aspek imanen dari Tuhan, yang hadir dalam kehidupan manusia sehari-hari dan dapat dipuja dalam wujud simbolik. Saguna Brahman adalah bentuk Tuhan yang “dekat” dengan umat-Nya, yang dapat dijalin hubungan personal melalui bhakti. Inilah sebabnya mengapa Hindu kaya dengan praktik bhakti, doa, nyanyian, arca, dan simbol-simbol sakral. Melalui wujud Saguna Brahman, manusia diarahkan untuk mengembangkan rasa cinta, bhakti, disiplin spiritual, serta kesadaran moral. Namun, tujuan akhir spiritualitas Hindu tidak berhenti pada Saguna Brahman. Dalam ajaran Brahma Widya, pemujaan terhadap dewa hanyalah jalan atau tahapan awal. Pada level yang lebih tinggi, umat diharapkan dapat menyadari Nirguna Brahman, yaitu Tuhan yang melampaui segala nama dan rupa. Hal ini ditegaskan dalam Bhagavad Gita (12.3–4) yang menyatakan bahwa mereka yang memuja Tuhan yang tak berwujud, yang tidak terbayangkan, yang kekal, sesungguhnya juga menempuh jalan spiritual yang sah, meskipun lebih sulit dibandingkan mereka yang memuja Tuhan dalam rupa. Artinya, baik melalui Saguna maupun Nirguna, keduanya tetap membawa manusia menuju Brahman yang sama. Pembedaan antara Saguna Brahman dan Nirguna Brahman juga menunjukkan fleksibilitas dan keluwesan ajaran Hindu. Bagi masyarakat awam yang sulit memahami Tuhan yang abstrak, Saguna Brahman memberikan jalan yang lebih konkret dan personal. Sementara itu, bagi para pencari kebenaran filosofis yang lebih dalam, Nirguna Brahman menawarkan realitas tertinggi yang bebas dari segala atribut. Kedua pendekatan ini bukanlah pertentangan, melainkan saling melengkapi. Saguna Brahman dapat dianggap sebagai pintu masuk, sedangkan Nirguna Brahman adalah tujuan akhir.

Dengan memahami konsep ini, jelaslah bahwa pemujaan banyak dewa dalam Hindu bukanlah politeisme murni sebagaimana dalam agama-agama kuno lain, melainkan ekspresi Saguna Brahman. Dewa-dewi hanyalah simbol, sarana, dan manifestasi dari satu realitas transendental. Seperti cahaya putih yang dipantulkan menjadi berbagai warna melalui prisma, demikianlah Brahman yang satu tampak dalam berbagai wujud dewa. Tetapi pada akhirnya, semua warna itu berasal dari cahaya tunggal. Oleh karena itu, Hindu menegaskan bahwa baik dalam bentuk Saguna maupun Nirguna, Tuhan tetaplah satu. Pemujaan banyak dewa hanyalah simbol dari keragaman manifestasi Tuhan yang satu, sementara tujuan tertinggi spiritualitas adalah menyadari keesaan Brahman, realitas mutlak yang melampaui segala bentuk dan nama.

Pemujaan Banyak Dewa dan Simbolisme Religius dalam Hindu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun