Mohon tunggu...
Nino Zulfikar
Nino Zulfikar Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Berpikir itu seksi. Seni, puncaknya. Kawan2 bisa langsung ke sarang saya: http://ninozulfikar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Ada Mimpi yang Terlalu Tinggi

30 Juli 2015   14:03 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:36 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita patut memperjuangkan pada apa yang kita yakini sebagai kebaikan. meski kadang itu mendobrak tradisi turun temurun, meski berseberangan dengan ideologi orang tua, walaupun masih belum pernah dilakukan seorang manusia sebelumnya, dan lain sebagainya. Apalagi jika hal itu terngiang-ngiang terus seperti berusaha mendobrak keluar dari kepala dan menimbulkan perasaan yakin yang aneh.

Semua manusia pasti mempunyai mimpi. Bercita-cita indah untuk masa depannya. Membayangkan mimpi itu saja sudah membuat bergairah. Artinya, tubuh merespon mimpi kita dengan positif, bahkan mungkin walupun itu sebuah rencana jahat. Memang diawal pencetusannya, mimpi tidaklah berbeda seperti teori baru di zaman Renaissance: orang-orang akan cenderung skeptis dengan kemajuan yang akan kita kerjakan. Sekalipun setuju, mereka akan menyangsikan kemampuan kita mewujudkan itu semua. Tapi kitalah sang pemilik mimpi yang memilih: menjadi pemenang atau pecundang.

Saya hanya ingin bercerita tentang sebuah lomba mewarnai yang digelar bekerjasama dengan sebuah perusahaan majalah anak-anak ternama ibu kota belasan tahun lalu. Lomba itu adalah lomba yang dibuka secara nasional berbatas waktu yang telah ditentukan panitia. Dan dalam apel pagi itu ibu guru menyampaikan tentang lomba tersebut yang akan difasilitasi oleh TK kami untuk membuat karya serentak dan disetor bersama lalu dikirim ke Jakarta melalui pos. Hadiahnya: jalan-jalan gratis ke Jakarta. Sepulang sekolah, saya langsung menghujani ibu dengan pertanyaan mengenai Jakarta: apa itu, bagaimana keadaan di sana, siapa yang ada di sana, dll. Jawaban-jawaban ibu waktu itu membuatku sangat jatuh cinta pada kota itu. Cinta yang bahkan belum melakukan pandangan pertamanya. Lagi pula itujarak yang sangat jauh bagi anak TK untuk bepergian, terbentang jarak sekitar 2.000 km antara Sulawesi Tenggara dan Jakarta.

Hari membuat karya serentak datang juga akhirnya. Saya mempersiapkan hari itu dengan sebaik-baiknya, dengan gugup, sangat berharap memenangkan lomba itu dan mendapatkan hadiahnya. Karya kami selesai, hasilnyapun dikirim ke panitia dalam satu paket. Ibu guru menyampaikan bahwa pengumuman lomba itu akan bertepatan dengan hari pembagian raport sekaligus acara penamatan dan pelantikan kami sebagai alumnus TK Tunas Makarti. Namun berminggu-minggu setelah menerima raport, tidak pernah ku dengar kabar berita tentang lomba itu lagi.

Diam-diam saya memendam perasaan itu hingga ke jenjang-jenjang pendidikan setelahnya. Satu hal: saya ingin ke Jakarta. Itulah cita-cita saya, bukan menjadi dokter atau pilot. Dengan sendirinya, di SD saya menjadi murid yang sangat antusias dalam pelajaran, terutama matematika, Bahasa Inggris, dan IPA. Saya tidak pernah dengan sengaja merencanakan menyukai itu semua. Sayapun tidak paham bagaimana awalnya bisa berselera dengan bahasa asing dan angka-angka itu. Tapi saya tahu, di tiap tahunnya, selalu diadakan lomba cerdas cermat mata pelajaran oleh pemerintah hingga ke tingkat nasional. Artinya, jika cukup mapan persiapan dan beruntung, bisa saja saya menjadi salah satu siswa tim perwakilan Sulawesi Tenggara untuk salah satu mata pelajaran. Tapi untuk sampai ke situ memanglah sebuah pertempuran sengit nan berdarah-darah harus dilampaui. Sejak kelas 3 SD, saya mulai diutus sekolah untuk mempertaruhkan mimpiku sekaligus mengangkat nama baik sekolah. Bertahun-tahun setelahnya, saya hanya bisa mencium aroma tiket terbang ke Jakarta di babak final tingkat provinsi, dan harus berlapang dada karena tidak pernah sekalipun berhasil mendapatkan juara 1. Yang paling kikis adalah juara 2 dengan perolehan nilai sangat tipis dengan regu peraih medali emas.

Saat SMA, peluangku mewujudkan mimpi terbuka lebih lebar, karena di masa ini terbuka kesempatan untuk ke Jakarta dengan level yang jauh lebih terhormat: Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Karena kenyataan kemampuan akademikku kalah canggih dengan kawan-kawan baru di kelas. Maka banting setirlah saya, berganti merek: dari akademisi menjadi aktivis ambisius. Seluruh masa SMA kubaktikan kepada baris-berbaris dan Bendera Merah Putih. Di kepalaku hanya ada Jakarta. Status belum pernah pacaranpun tidak pernah mengusik perhatianku hingga kelas 3 SMA. Dan benar-benar pahit kenyataan bahwa Tuhan belum mengizinkan saya bertemu mimpiku. Dua belas tahun menanggung mimpi dan terus berlapang dada menahan kegagalan di tiap tahunnya, membuat saya mulai meragukan diri sendiri. Kenyataan varises yang timbul di betis atas –persis berseberangan dengan lutut– akibat latihan keras baris-berbaris justru mengurungkan kesempatan ku yang tak lagi banyak.

Di sepanjang masa SMA itu pula, saya tidak sengaja berkenalan dengan kesusastraan. Saya menjadi akrab dengan sajak dan sebangsanya. Permainan gitar klasik yang kulatih sejak SMP, perlahan tapi pasti menunjukkan kemajuan ke tingkat “sudah bisa dipertontonkan”. Singkat istilah, kemampuanku dibidang lain telah berbunga: seni. Kesempatanku makin besar. Tapi gunung belum dapat memeluk bulan. Tim musikalisasi puisiku harus puas di urutan ke dua dalam perlombaan tingkat nasional di tahun terakhir masa SMAku. Itu kesempatan terkahir, dan tidak juga berhasil. Saya seperti ingin protes kepada Tuhan. Ingin marah-marah hingga puas –sampai lupa kalau Dia itu Tuhan–. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang demikian adanya, saya tidak mungkin merengek memaksa orang tua tua membelikan tiket pewat bolak-balik Jakarta. Buat sekolahku saja kadang susah, belum lagi adikku yang lima jumlahnya waktu itu. Pola pikir anak sulung dengan sendirinya membawaku pada kesimpulan: jika tidak dengan biaya dari pemerintah atau orang lain, saya tidak akan bisa mewujudkan cita-cita itu, seumur hidup. Maka saya setuju jika ada orang yang menyatakan: jika kau cukup tahu diri dengan kemiskinanmu, maka bangun masa depanmu melalui pendidikan dan prestasi. Senada dengan peribahasa ibuku, “kalau miskin harus pintar, boleh nakal asal pintar.” Kecerdasan intelegensi memang adalah sebuah solusi dalam hidupku. Tapi semua pintu sudah tertutup. Kesempatannya berakhir.

Menjelang UN, ada info dari teman, bahwa akan diadakan sebuah seleksi untuk menentukan wakil Sulawesi Tenggara yang akan termasuk dalam perwakilan Indonesia dalam program pertukaran pelajar ke luar negeri. Instingku memberitahu bahwa ini adalah kesempatan yang sekali lagi diberikan Tuhan. Tapi kepercayaan diriku sudah tumpul. Tapi mimpiku belum padam. Berhubung waktu itu adalah momen yang pas karena bertepatan dengan jam pelajaran Biologi yang notabene gurunya killer abis, maka bolos halal ini tidaklah sama sekali merugikanku. Toh siapa tahu rejeki. Waktu itu saya juga dipaksa dengan teman yang duduk disebelah bangkuku. Jadi apa boleh buat?

Seleksi ini sama sekali tidak menjadi beban bagiku. Tidak ada terget, hanya mengukur sejauh mana kemampuan akademikku tertinggal oleh yang lain. Dan sama sekali tidak bisa dibilang kebetulan, saya melakukan analisis –semacam memetakan peperangan– bahwa tidak hanya kemampuan akademik yang menjadi senjata di sini, tapi juga kepercayaan diri –yang tiap hari jadi pesan ibuku–, kemampuan berbahasa asing –yang asal bisa–, kepemimpinan –yang kudapat dari pendidikan baris-beraris­–, dan kemampuan seni budaya –yang tak sengaja kudapatkan–. Logika matematikaku berkesimpulan, jika analisisku benar, inilah Final Destinationku. Ratusan orang mendaftar dari seantero Sulawesi Tenggara tanpa terasa satu persatu kulewati. Mereka berguguran seperti daun pohon kapuk di musim kering. Tapi baru babak semi-final, sayapun ikut gugur bersama seluruh impian dan harga diri yang kupertaruhkan belasan tahun. Ketika dinyatakan gugur, hampir pecah air mataku. Itulah darah dari hati yang gagal selama belasan tahun. Diruangan yang seharusnya tidak dingin itu, saya berusaha menyembunyikan kekecewan terhadap diri sendiri sambil berteriak ke langit, “apakah ini balasan untuk perjuangan sekeras-kerasnya!?” Saya hanya tertunduk memegangi gitar pinjaman dari kawan yang kupakai membawakan musikalisasi puisi di babak Pementasan, sebelumnya. Remuk redam hatiku. Badanku panas dingin tak karuan.

Tiba-tiba dibabak final, MC mengumumkan wild card. Akan ada perserta yang telah gugur diberi kesempatan kedua untuk melanjutkan kompetisi: babak final. Peristiwa itu tidak pernah terjadi sebelumnya, mengingat pertimbangan juri yang katanya peserta yang beruntung ini hanya terpaut beberapa poin dengan finalis lain dan memiliki poin tersendiri yang tidak bisa diabaikan.

MC memecah kehiningan,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun