Ketika Listrik PadamÂ
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Ahhh ... bangun tidur sekitar pukul tiga malam semua gelap gulita. Bingung. Kalau takut sih tidak.Â
Walaupun dulu rumahku dihuni gendruwo, bersyukur sejak pengusiran makhluk itu tidak pernah muncul lagi.Â
Sambil meraba-raba, tertatih-tatih aku keluar dari kamar pribadiku menuju ke ruang tamu. Kamar suamiku memang berada di depan, sementara aku tidur di kamar belakang. Kamar kerjaku sebenarnya.Â
Aku bukan takut gelap, melainkan sedih saja.
Bayangkan, aku tidak punya dandang, alat menanak nasi tradisional itu. Yang  kupunya hanya rice cooker.  Sebagaimana orang moderen yang lain, hampir semua peralatan menggunakan listrik. blender,  juicer, hair dryer, mesin cuci, vacuum cleaner, dan lain-lain. Semua serba electric. Nah, kalau listrik padam celaka dua belas beneran. Apalagi tidak memiliki genset.Â
Nah, saat adikku masih menjabat sebagai Kepala PLN di kotaku, aku pasti akan berteriak-teriak kepadanya agar anak buahnya segera bergerilya mencari sumber masalah.
Selama generator tidak mati, pasti agak cepat perbaikannya. Namun, kini adikku sudah pensiun sehingga tidak bisa membantu soal PLN lagi.
Duuuhh .... Sedihnya! Â Kalau tidak bisa menanak nasi, alamat penghuni rumah kelaparan. Belum lagi dua ekor anjing dan seekor kucing. Pasti akan ramai mereka. Menyalak, menggonggong, dan mengeong seperti perang dunia saja.
Lampu mati? Alamaaakkk ... gelap nian. Ditambah lampu emergency sudah lama wafat dan belum sempat membeli pengganti. Laptop untuk bekerja pun tidak bisa kunyalakan. Gawai apalagi. Jika lupa mengisi power bank, makin runyam.Â
Dini hari lampu mati itu, aku beranjak menuju kamar suami  yang berada di bagian rumah depan.Â
Tiba-tiba aku mendengar dengus napas seseorang. Dengus napas orang yang sedang ... ahhh ... aku mengendap-endap menuju kamar suamiku. Suara itu makin jelas.
Masak sih aku harus curiga? Selama ini suamiku baik-baik saja ... Â
Kemarin malam sepupu wanita suamiku memang datang ke rumah ... sebelum dia pamit pulang, aku memang izin tidur duluan karena sangat mengantuk. Aku tidak tahu apakah sepupu pulang atau menginap di rumahku.Â
Di rumah bagian depan ada dua kamar. Yang satu kamar suamiku, sedang satunya untuk kamar tamu.Â
"Ah, masak sih?" pertanyaan yang menggoda itu menggelora.
Maka, pelan-pelan kubuka kamar suamiku. Dalam gelap kulihat suamiku sedang ... ya Allah ...Â
Aku makin gemetar melihatnya di dalam gelap. Gerakannya naik turun, napasnya terengah-engah diÂ
lantai yang biasa digunakannya untuk bersembahyang. Ya, Allah ... aku bergumam sambil gemetaran seluruh badan.Â
Dia sedang  push up di lantai. Napasnya tersengal-sengal ...Â
"Nggak bisa tidur," katanya sambil masih terengah-engah ..., "rasanya masuk angin, makanya aku  push up," lanjutnya.Â
Tiba-tiba listrik pun menyala.Â
"Aahhh ... pikiran iblis manalah yang telah merasukiku?" batinku sambil tersenyum kecut plus kaget setengah hidup.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H