“Bu, memangnya komposisi fungsi itu dipakai buat apa sih di dunia nyata?” Pertanyaan sederhana dari salah satu siswa saya itu sempat membuat kelas hening. Awalnya, para siswa memandang materi komposisi fungsi sebagai persoalan simbolis yang melibatkan dua fungsi, misalnya fungsi f(x) dan fungsi g(x), kemudian digabung menjadi f(g(x)), atau sebaliknya menjadi g(f(x)) yang tidak ada penerapannya di kehidupan mereka. Saat itu, saya hanya tersenyum dan menjawab, “Nanti kalian akan tahu sendiri.”
Kesempatan itu muncul seminggu kemudian lewat kegiatan bazar sekolah. Seperti biasa, sekolah kami, yaitu MAN Kota Palangka Raya mengadakan bazar untuk meramaikan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Alih-alih hanya berjualan, saya mengajak siswa menjadikan bazar sebagai laboratorium nyata untuk belajar matematika khususnya materi komposisi fungsi.
Mula-mula, mereka mencatat modal dan menambahkan margin keuntungan. Dari situlah lahir harga jual dasar, atau dalam bahasa matematika kita sebut variabel x. Selanjutnya, saya meminta siswa untuk memikirkan strategi penjualan agar bisa menarik pembeli dan mereka memutuskan untuk memberi potongan harga sebesar 20% untuk dua puluh pembeli pertama. Saya minta mereka menganggap ini sebagai fungsi pertama, yaitu f(x).
Salah satu produk yang dijual siswa saya adalah bingsoo (es serut khas Korea). Penambahan topping, seperti potongan buah, cokelat, atau boba, dikenai biaya tambahan. Misalnya, untuk topping boba dikenai harga tambahan Rp2.000,00. Ini menjadi fungsi kedua, yaitu g(x). Jika digabung dengan fungsi pertama f(x), akan terbentuk komposisi g(f(x)) yang bisa digunakan untuk menentukan harga jual khusus dua puluh pembeli pertama. Komposisi fungsi kini bukan sekadar rumus, tetapi strategi bisnis nyata di lapak siswa.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek, 2024), hanya sekitar 40% sekolah di Indonesia yang sudah mengintegrasikan literasi digital secara optimal dalam proses pembelajaran. Meski literasi digital masih menjadi tantangan, siswa kami mampu menerapkannya secara kreatif dalam promosi bazar. Jauh hari sebelum bazar dimulai, para siswa sudah sibuk membuat desain promosi lewat Canva. Ada yang membuat poster digital, ada juga yang membuat video iklan kekinian ala Gen Z untuk diunggah ke Instagram dan TikTok. Inilah bentuk literasi digital yang nyata : bukan sekadar bisa memakai gawai untuk bermain media sosial, tetapi mampu menggunakannya secara kreatif untuk tujuan produktif.
Saat hari pelaksanaan bazar tiba, saya melihat ada sesuatu yang berbeda. Siswa yang biasanya diam di kelas tampak penuh energi. Ada yang sigap melayani pembeli, ada yang berperan mengatur keuangan, ada pula yang percaya diri mempromosikan produk. Mereka bekerja sama, berkomunikasi, bahkan berdebat sehat untuk menentukan strategi. Persis keterampilan 4 C yang sering kita dengar untuk siap menghadapi tantangan di abad ke-21, yaitu berpikir kritis (critical thinking), kreativitas (creativity), kolaborasi (collaboration), dan komunikasi (communication).
Pendekatan ini sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika menurut National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000), salah satu organisasi pendidikan matematika paling berpengaruh di Amerika Serikat, yaitu untuk memecahkan masalah, menalar, berkomunikasi, dan menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan nyata.
Hari itu saya melihat mereka kewalahan melayani banyak pembeli. Meski tampak lelah, senyum merekah di wajah mereka. Tidak disangka-sangka, produk mereka laku keras, bahkan berhasil meraup keuntungan lebih dari Rp500.000,00. Saya menyarankan keuntungan itu disimpan sebagai tabungan kelas untuk persiapan kelulusan. Bukan hanya ilmu yang mereka bawa pulang, tetapi juga rasa syukur dan pengalaman berharga.
Dari pengalaman sederhana ini, saya semakin yakin bahwa pendidikan bermutu hadir ketika siswa bisa menemukan makna dari apa yang dipelajari, menghubungkan teori dengan praktik, dan menyadari bahwa matematika bisa terintegrasi dalam aktivitas sehari-hari.
Ketika matematika diterapkan di bazar sekolah, pemanfaatan aplikasi Canva dan TikTok, lahirlah pembelajaran yang menyenangkan sekaligus relevan dengan kehidupan siswa. Inilah bekal penting bagi generasi muda agar siap menghadapi tantangan abad ke-21 : bukan hanya pintar berhitung, tetapi juga cerdas berkreasi, mampu bekerja sama dengan orang lain, serta beradaptasi dengan dunia digital.
Saya percaya, di tangan guru yang kreatif, matematika tidak lagi menjadi pelajaran yang menakutkan dan membosankan di kelas. Ia bisa menjadi jembatan menuju pendidikan bermutu sekaligus menyiapkan siswa kita menjadi generasi yang tangguh, kritis, dan inspiratif. Kini saatnya menjadikan setiap pengalaman belajar lebih bermakna : bukan lagi sekadar hafalan, tetapi kesempatan untuk mengasah kreativitas dan literasi digital siswa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI