Mohon tunggu...
Abdul Majid
Abdul Majid Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Sosial Ekonomi Maritim

Penikmat Sunset Pantai

Selanjutnya

Tutup

Hukum

PERADIN Kirim Rekomendasi Legal Policy Kepada Presiden Joko Widodo

31 Agustus 2021   19:21 Diperbarui: 1 September 2021   14:54 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta (31/08), Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) menyoroti perkembangan penanganan penindakan hukum terhadap kasus korupsi di Indonesia. Mengingat banyak kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang belum memberikan efek jera terhadap koruptor. Sehingga apabila penegakan hukum tidak dilakukan secara tegas dan adil, maka akan menimbulkan bahaya laten dari korupsi itu sendiri.

Sebagaimana kita ketahui saat ini pemerintah sedang gencar melakukan pemanggilan hukum dan penyitaan asset di dalam negeri terhadap para obligor yang terlibat kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Melalui Satuan Tugas (Satgas) BLBI bentukan Presiden Joko Widodo, negara sedang berusaha untuk memproses penegakan hukum kasus BLBI.

Menurut Frans Hendra Winarta, selaku Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional periode 2000 sd 2015 menyatakan perspektif dalam kasus BLBI ini harus dilihat apakah ada pelanggaran Undang-Undang Keuangan Negara atau Undang-Undang Perbankan Bank Indonesia tidak? Misal ada berarti itu bisa dipidanakan. Sehingga upaya hukum bisa ditempuh oleh negara melalui pidana dan perdata juga. Sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Satgas BLBI sudah sah secara hukum dengan adanya pemanggilan hukum dan penyitaan asset dari koruptor BLBI yang berada di dalam negeri tersebut.

Pada tahun 2002 saya menjadi Anggota Penanganan BLBI, saat itu ada sekitar 30 Obligor dengan sejumlah potensi asset dan uang senilai Rp 50 Trilyun. Dimana disitu ada sebuah pelanggaran hukum pidana terutama terkait UU Perbankan BI, misalnya aset dijaminkan beberapa kali. Adapun saat itu juga sudah ada rekomendasi penanganan terhadap para obligor BLBI yang itu sudah diterima dan dipegang oleh Kementerian Keuangan.  

Yang mana hasilnya ada beberapa Obligor yang memenuhi putusan negara (compliance) namun ada pula yang masih membandel dengan tidak memenuhi (uncompliance) putusan tersebut. Sehingga saya kira dengan bukti yang sudah cukup, maka negara sudah semestinya melakukan penegakan hukum secara tegas dan adil demi menyelamatkan aset dan kas negara serta memberikan efek jera terhadap para Obligor BLBI yang uncompliance tersebut.

Catatannya adalah bagi yang sudah compliance, maka tidak bisa dilakukan hal serupa karena mereka sudah memenuhi putusan, sehingga kita bersikap adil, itulah namanya penegakan hukum, terang Frans Hendra Winarta yang saat ini menjadi Ketua Dewan Penasehat PERADIN.

Rekomendasi dari PERADIN selain penegakan hukum oleh negara baik secara perdata maupun pidana, melalui pemanggilan hukum dan penyitaan asset Obligor BLBI di dalam negeri, sudah semestinya Pemerintah Indonesia menggunakan Legal Assistance dari negara yang sama-sama anggota UNCAC PBB (United Nation Convention Against Corruption) untuk bekerjasama bilateral maupun multilateral guna melakukan penyitaan aset para Obligor BLBI yang berada di luar negeri demi penyelamatan kas dan aset negara. Aset -aset yang berada di luar negeri tersebut terutama aset yang merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang (money laundering), atau dapat juga diusut dari unsur suap yang merupakan bagian dari tindak pidana korupsi, pungkas Frans Hendra Winata.

Sementara menurut Firman Wijaya, selaku Ketua Umum PERADIN periode 2018-2022 menambahkan bahwa penegakan hukum di Indonesia khususnya terkait tindak pidana korupsi sudah tepat apabila dilakukan dengan adanya instrumen pembekuan aset koruptor. Hal tersebut untuk mengamankan potensi aset negara yang hilang akibat adanya tindak pidana korupsi tersebut. 

Rekomendasi yang ingin kami sampaikan yaitu sebaiknya kita (Indonesia, red) tidak perlu lagi menggunakan langkah - langkah adjudikasi (proses peradilan baik perdata maupun pidana) dalam kasus tipikor, tetapi bisa kita mulai dengan menggunakan upaya "freizure " yaitu pembekuan aset rekening di beberapa negara. Sehingga lebih cepat dalam mengantisipasi dan mengamankan aliran dana hasil dari tipikor tersebut. Tentunya hal tersebut dapat menjadikan aset koruptor sebagai sitaan negara untuk kemudian menjadi sebagai pemasukan kas negara. Pendekatan upaya "freizure " ini sangat mungkin diterapkan terlebih dalam pandemi ini sebagai "extra ordinary condition" sehingga harus cepat kita membutuhkan dana untuk kas negara yang kemudian dapat dialokasikan dalam APBN guna pemulihan kesehatan dan ekonomi bagi masyarakat kecil, jelas Firman Wijaya yang mendapat amanat sebagai Ass Staf Khusus Wakil Presiden RI 2019-2024 untuk Bidang Hukum.

Argumentasi kami ini menegaskan bahwa kami merasa kurang sependapat dengan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, yang menggunakan pendekatan instrumen perdata dalam kasus Korupsi BLBI. Pertimbangannya apabila masih menggunakan pendekatan instrumen perdata, maka jejak kejahatan kemungkinan akan lenyap, kemudian asset tracing dan aset recovery juga akan menjadi terhambat. Terlebih kasus Korupsi BLBI ini sudah berjalan lebih dari 20 tahun, maka kita harus tegas menegakan hukum, jangan sampai membuat masyarakat kehilangan harapan dan kepercayaan terhadap hukum di Indonesia, terang Firman Wijaya.


Ditambahkan pula oleh Hendrik E. Purnomo selaku Ketua Wilayah PERADIN DKI Jakarta, menyatakan bahwa ada kekhawatiran kita semua terhadap berangsur lamanya penanganan dan penegakan hukum terhadap kasus Korupsi BLBI ini, maka ada kemungkinan dokumen bukti-bukti sudah banyak yang hilang, rusak atau bahkan kadaluarsa. Sehingga akan menambah kesulitan dalam menuntaskan kasus Korupsi BLBI tersebut. Dengan tidak adanya kepastian hukum dan keadilan serta menurunnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum (recht handhaving), maka semua aspek kehidupan masyarakat akan terkena imbasnya pula. Artinya secara lugas, hukum sudah saatnya dikembalikan pada akar moralitas, kultural, dan religiusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun