Mohon tunggu...
Nindira Aryudhani
Nindira Aryudhani Mohon Tunggu... Full time mom and housewife -

Full Time Mom and Housewife

Selanjutnya

Tutup

Money

Krisis Petani di Negeri Agraris (1)

20 Oktober 2016   00:52 Diperbarui: 20 Oktober 2016   00:58 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tanggal 16 Oktober tahun ini, Boyolali Jawa Tengah terpilih menjadi lokasi penyelenggaraan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-36. Keanekaragaman pangan yang tumbuh di wilayah Boyolali menjadi pertimbangan terpilihnya Boyolali sebagai tuan rumah di HPS 2016, sehingga menjadi bukti adanya diversifikasi pangan yang bisa dikembangkan untuk menopang kedaulatan pangan [1].

Kementerian Pertanian (Kementan) merupakan koordinator pelaksanaan HPS sebagai focal point Food and Agriculture Organization (FAO). Kementerian pelaksana HPS lainnya di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tema HPS Internasional adalah Climate is Changing, Food Agriculture Must Too.Sementara tema HPS Nasional adalah Membangun Kedaulatan Pangan Berkelanjutan Mengantisipasi Era Perubahan Iklim. Maksud berdaulat pangan yakni tidak hanya dari beras atau nasi namun juga dari sumber karbohidrat lainnya yang khas nusantara bercita rasa tinggi [1].

Belum lama berselang, juga diperingati Hari Tani Nasional (HTN), 24 September lalu. Namun ironis diketahui, di sejumlah daerah, seperti Sulawesi Selatan [3], Sumatra Barat [4] dan Jawa Barat [5], berkembang semacam fenomena bahwa petani dan lahan pertanian mulai berkurang. Ditambah, adanya cara pandang dari kaum muda yang enggan jadi petani, dengan alasan malu [5, 6]. Tak ayal, banyak pihak yang menyayangkan hal ini. Diantara yang gundah adalah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Ganjar, yang juga politisi PDIP ini, mengaku prihatin karena pada zaman sekarang hanya sedikit generasi muda yang berkeinginan menjadi petani. Sebagian besar mereka, terutama para pelajar dan mahasiswa, justru banyak yang ingin menjadi pengusaha [2].

Serupa dengan Ganjar, ketua Gerakan Kebangkitan Petani (Gerbang Tani) Sulawesi Selatan (Sulsel), Mujahid Akmal dalam diskusi peringatan Hari Tani 2016 bersama sejumlah petani dan aktivis pertanian berbagai daerah, mengutarakan dalam 10 tahun terakhir, terjadi penyusutan jumlah petani dan lahan sebanyak 15-20 persen di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Data yang dimiliki Gerbang Tani Sulsel, jumlah petani di Sulsel sebanyak 1,2 juta pada tahun 2003 namun kini di tahun 2016 sebanyak 900.000 petani saja. Itu pun didominasi oleh petani usia lanjut, yakni petani yang telah berusia lanjut, usia 50 tahun-70 tahun. Belum lagi lahan produktif pertanian semisal areal sawah, berubah menjadi kawasan perumahan [3].

Jadi, bagaimana mensinergikan momen HPS dan HTN dengan status negeri kita sebagai negeri agraris? Menilik misinya, peringatan HPS dan HTN tentu berekspektasi besar untuk tetap menjaga Indonesia agar tidak terjerumus menjadi negeri darurat impor. Namun apa daya, masyarakat petani tengah mengalami krisis identitas. Petani, juga nelayan, selama ini masih menjadi golongan masyarakat bawah. Yang lebih miris, para pemuda di abad milenium ini banyak yang malu berprofesi sebagai petani. Ini pun menjadi urgen untuk menguatkan peran strategis sektor pertanian yang mencakup petani sebagai pelaku lapang sektor pertanian. Agar profesi petani bukan sebatas gengsi atau tidak gengsi. Inilah saatnya berubaha. Bahwa pertanian dan petani berperan vital dalam mengiringi visi futuristik kemandirian pangan suatu negeri agraris.

Pertanian, Sumber Ekonomi Primer

Berdasarkan konsep politik ekonomi dan kesejahteraan sebuah negara, pertanian dipandang sebagai salah satu sumber ekonomi primer, disamping perindustrian, perdagangan dan tenaga manusia (jasa) [7]. Pada RPJMN tahap ketiga (2015-2019), sektor pertanian masih menjadi sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional.  Peran strategis sektor pertanian tersebut digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam penyedia bahan pangan dan bahan baku industri, penyumbang PDB, penghasil devisa negara, penyerap tenaga kerja, sumber utama pendapatan rumah tangga perdesaan, penyedia bahan pakan dan bioenergi, serta berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca [8].

Dalam lima tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional semakin nyata.  Selama periode 2010-2014, rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mencapai 10,26% dengan pertumbuhan sekitar 3,90%.  Sub-sektor perkebunan merupakan kontributor terbesar terhadap PDB sektor pertanian. Pada periode yang sama, sektor pertanian menyerap angkatan kerja terbesar walaupun ada kecenderungan menurun. Pada  tahun 2014 sektor pertanian menyerap sekitar 35,76 juta atau sekitar 30,2% dari total tenaga kerja [8].

Investasi di sektor pertanian primer baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 4,2% dan 18,6% per tahun. Rasio ekspor-impor pertanian Indonesia sekitar 10 berbanding 4, dengan laju pertumbuhan ekspor mencapai 7,4 % dan pertumbuhan impor 13,1% per tahun. Neraca perdagangan tumbuh positif dengan laju 4,2% per tahun. Nilai Tukar Petani (NTP) meningkat sangat pesat. Walaupun sempat menurun pada tahun 2013, namun NTP melonjak dari sebesar 101,78 pada tahun 2010 menjadi 106,52 pada tahun 2014 [8].

Tingkat pendapatan petani untuk pertanian dalam arti luas maupun pertanian sempit menunjukkan peningkatan yang diindikasikan oleh pertumbuhan yang positif masing-masing sebesar 5,64 dan 6,20%/tahun selama kurun waktu 2010–2014. Pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin di perdesaan yang sebagian besar bergerak di sektor pertanian menurun dengan laju sebesar -3,69%/tahun atau menurun dari sekitar 19,93 juta pada tahun 2010 menjadi 17,14 juta pada tahun 2014 [8].

Sejalan dengan Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2015-2045, pembangunan sektor pertanian dalam lima tahun ke depan (2015-2019) akan mengacu pada Paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for Development) yang memposisikan sektor pertanian sebagai penggerak transformasi pembangunan yang berimbang dan menyeluruh mencakup transformasi demografi, ekonomi, intersektoral, spasial, institusional, dan tatakelola pembangunan. Paradigma tersebut memberikan arah bahwa sektor pertanian mencakup berbagai kepentingan yang tidak saja untuk memenuhi kepentingan penyediaan pangan bagi masyarakat tetapi juga kepentingan yang luas dan multifungsi. Selain sebagai sektor utama yang menjadi tumpuan ketahanan pangan, sektor pertanian memiliki fungsi strategis lainnya termasuk untuk menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan dan sosial (kemiskinan, keadilan dan lain-lain) serta fungsinya sebagai penyedia sarana wisata (agrowisata). Memposisikan sektor pertanian dalam pembangunan nasional merupakan kunci utama keberhasilan dalam mewujudkan Indonesia yang Bermartabat, Mandiri, Maju, Adil dan Makmur [8].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun