Mohon tunggu...
Nindira Aryudhani
Nindira Aryudhani Mohon Tunggu... Full time mom and housewife -

Full Time Mom and Housewife

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Si Kaya, Calon Penguasa

20 Agustus 2018   07:39 Diperbarui: 20 Agustus 2018   08:58 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah menjadi sebuah langkah standar, adanya pemeriksaan kekayaan bagi para calon pemimpin menjelang ajang pemilihannya. Sebagaimana diberitakan di media, jumlah kekayaan terakhir para calon presiden dan wakil presiden adalah sebagai berikut. 

Dilansir dari dokumen yang diunduh dari situs elhkpn.kpk.go.id, Senin (15/8/2018), Jokowi memiliki total kekayaan mencapai Rp 50.248.349.788. Sementara cawapres pasangan Jokowi, KH Ma'ruf Amin, memiliki total kekayaan mencapai Rp 11.645.550.894. 

Kemudian dari kubu Prabowo, pada tahun 2014 lalu, Prabowo tercatat memiliki total harta kekayaan sebesar Rp 1.670.392.580.402 dan USD 7.503.134. Dan untuk cawapresnya, Sandiaga Uno memiliki total kekayaan mencapai Rp 5.099.960.524.965 (Rp 5 Triliun).

Data kekayaan ini agaknya berbanding terbalik dengan data BPS beberapa waktu lalu, ketika BPS merilis data penurunan kemiskinan. Data BPS ini berdasarkan nominal pendapatan bulanan individu sebagai standar garis kemiskinan. 

Pada Maret 2018, BPS menggunakan standar garis kemiskinan Rp 401.220 per bulan atau naik 3,63 persen dibanding pada September 2017 sebesar Rp 387.160. 

Adapun setahun sebelumnya, yakni pada Maret 2017, standar garis kemiskinan yang digunakan adalah sebesar Rp 374.478 per bulan. BPS mencatat inflasi umum pada periode September 2017 -- Maret 2018 sebesar 1,92 persen.

Bukanlah sebuah kewajiban, memiliki pemimpin yang kaya raya. Meski pada kondisi-kondisi tertentu, hal itu dapat menjadi faktor keutamaan keterpilihannya. Hakikat sosok pemimpin semata sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Auf bin Malik, bahwa Rasulullah pernah bersabda: "Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian serta yang senantiasa kalian doakan dan mereka pun selalu mendoakan kalian." (HR Muslim).

Demikian sabda Rasulullah yang patut kita renungkan hari ini. Di mana kian hari kian banyak penguasa yang masa bodoh terhadap pengelolaan rakyatnya. Yakni ketika kekuasaan menjadi profesi demi mengumpulkan pundi-pundi. Sebaliknya dalam Islam, kekuasaan adalah amanah. Di mana tak sembarang orang layak menempati suatu jabatan. Dan ketika sudah mengembannya, sang pemimpin sadar benar akan tanggung jawabnya selaku penguasa. Semata dalam rangka mengurusi urusan warga masyarakatnya.

Kisah ini berawal ketika Umar tertikam, kaum Muslim memintanya untuk menunjuk penggantinya, namun Umar menolaknya. Setelah mereka terus mendesak, beliau menunjuk enam orang, yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum Muslim. 

Kemudian beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah beliau calonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari, sebagaimana yang telah beliau tentukan bagi mereka. 

Beliau berkata kepada Suhaib, ".... Jika lima orang telah bersepakat dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), sementara yang menolak satu orang, maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang....".

Demikianlah, itu terjadi sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Trkh ath-Thabari, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku Al-Immah wa as-Siysah---yang lebih dikenal dengan sebutan Trkh al-Khulaf', dan oleh Ibn Saad dalam Thabaqt al-Kubr. 

Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang lainnya untuk mengawal mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan. Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin Auf berkata, "Siapa di antara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?" Semuanya diam. Abdurrahman bin Auf berkata lagi, "Aku mengundurkan diri." Ya, Abdurrahman bin Auf pernah menjadi salah satu calon khalifah pengganti Umar bin Khaththab.

Lalu dari kelima orang yang tersisa, Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu per satu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak. Akhirnya, jawabannya mengerucut pada dua orang, Ali dan Utsman. 

Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum Muslim dengan menanyai mereka siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. 

Beliau menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin Auf melakukannya bukan hanya pada siang hari, tetapi juga pada malam hari. Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, "Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata, 'Aku melihat engkau tidur. Demi Allah, janganlah engkau menghabiskan tiga hari ini---yakni tiga malam---dengan banyak tidur.'" Akhirnya, suara masyarakat menetapkan Utsman sebagai khalifah. Dan ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah pembaiatan Utsman.

Sebagaimana diketahui, Abdurrahman bin Auf adalah salah seorang dari delapan orang yang paling dahulu masuk Islam. Beliau adalah seorang saudagar yang berhasil, dengan keberhasilan yang paling besar dan sempurna. 

Beliau pulalah orang yang kaya raya, dengan kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah. Beliau juga seorang mukmin yang bijaksana, tak sudi harta benda kekayaannya menjadi sebab baginya untuk meninggalkan kafilah iman dan pahala surga. Tak heran, jika selanjutnya Nabi mengabarkannya bahwa beliau termasuk salah satu dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga.

Perniagaan bagi seorang Abdurrahman bin Auf bukan berarti rakus. Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan riya'. Kekayaan baginya adalah suatu ladang amal sholih dalam rangka menambah dekatnya jiwa kepada Allah dan berkorban di jalan-Nya. 

Barang apa saja yang beliau kelola dan dijadikan pokok perniagaan, pasti menguntungkannya. Ini semata karena beliau selalu bermodal dan berniaga dengan barang yang halal. 

Beliau juga menjauhkan diri dari perbuatan haram dan syubhat. Semua usahanya semata ditujukan untuk meraih ridho Allah. Inilah yang semakin menambah kekayaannya.

Ibnu Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya. Buktinya, beliau tak hendak celaka dengan mengumpulkannya dan tidak pula dengan menyimpannya. Kekayaannya pun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur pada dirinya. Padahal menurut sifat dasar manusia, sudah menjadi tabiat bahwa harta mengandung kekuasaan.

 Orang-orang kaya biasanya gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan melipatgandakannya. Bahkan ketika menjelang wafatnya Umar, Ibnu Auf telah ditegaskan oleh para shahabat bahwa beliaulah orang yang lebih berhak menjadi khalifah dibandingkan lima calon yang lain. 

Namun ujarnya, "Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lalu taruh ke atas leherku." Sikap zuhudnya terhadap jabatan ini justru menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima tokoh terkemuka itu. Hingga Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi."

Demikianlah hakikat seorang laki-laki kaya raya dalam Islam. Dirinya telah ditempa dengan iman yang sempurna, Islam yang kaffah. Suatu sosok yang detik ini justru seringkali dilekatkan dengan Islam ekstrim. Padahal, ketika harta kekayaan memang dibingkai dengan iman, maka pemiliknya tiada ragu untuk berniaga di jalan Allah. Semata demi meraih cinta-Nya.

Sosok seperti Abdurrahman bin Auf ini tak bisa diteladani sekedar sebagai pribadi muslim. Namun ianya terlahir dalam ranah kehidupan yang kondusif dengan masyarakat yang Islami dan suasana hidup di bawah penerapan peraturan Islam. Karenanya, keimanannya subur. Iman yang layak menuntun, bahwa ketika dirinya dicalonkan menjadi penguasa, hal itu tak menjadikannya haus kekuasaan.

Tidaklah selayaknya visi-misi seorang pemimpin yang meski dirinya kaya, justru semakin memperlebar jurang kesenjangan dengan rakyatnya yang miskin. 

Hendaklah seorang pemimpin tidak menjadikan amanah kepemimpinannya sebagai profesi alias ajang mencari nafkah, apalagi sampai untuk memperkaya diri sendiri. Keberkahan harta sejatinya bukan karena bertambah jumlahnya. Melainkan karena ia merasa semakin cukup meski hartanya berkurang banyak setelah diperniagakan di jalan Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun