"Mas," katanya akhirnya, pelan. "Aku nikah denganmu bukan karena harta atau jabatan tetapi kamu adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Aku ngerti susah cari kerjaan, tetapi bukan begini to caramu mencari uang."
Aku tertunduk. Aneka perasaan bergejolak dalam hatiku. Perasaan bersalah, malu, karena tak dapat menjadi imam yang baik buat isteri dan anak-anakku. Aku tak mampu memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang layak buat mereka.
"Dik Wul... Aku hanya ingin membuat kalian bahagia tetapi aku tidak berdaya..." Aku menahan tangis yang sebentar lagi akan membuncah.
Ia menggenggam tanganku. Hangat. Tulus.
"Mas, ayo kita pulang. Kita ngomong bareng. Kita pikirkan bareng di rumah. Apapun usaha yang akan kamu kerjakan, aku akan mendukungmu. Ini bukan dirimu. Ini bukan Mas Bowo yang aku kenal."
Aku mengangguk. Tangis tak bisa lagi kutahan. Wulan memelukku., memberikan kekuatan pada suaminya yang kini sedang rapuh.
Lampu jalanan berpendar sendu. Solo Baru tetap hidup, tetap tertawa. Tapi di sudut kota yang menyimpan gaun merah dan air mata, aku perlahan bangkit.
Wulan menggandengku melewati bundaran patung Pandawa. Air mancur masih menari. Namun kali ini, ada janji yang terukir bahwa tidak akan ada Yolanda seperti malam-malam sebelumnya di sini.
Cibadak, 11 April 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI