Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Hari di Bulan Agustus

10 Agustus 2023   23:35 Diperbarui: 11 Agustus 2023   08:26 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/2Km6I16

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya." 

Setiap tanggal 17 Agustus lagu Kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di angkasa bumi pertiwi. Lagu ini mampu menggetarkan hati seluruh bangsa Indonesia, tak terkecuali Aki Hamdan.

Setiap kali Aki Hamdan mendengar lagu ini, ada bulir air bening mengalir dari kedua matanya. Kesedihan tergurat di wajahnya. Entah apa yang dirasakan.

Baca juga: Cerpen "Pulang"

Pagi itu para penghuni griya lansia "Pelita Kasih" baru saja selesai melakukan penghormatan bendera merah putih dipimpin oleh Aki Hamdan. Aki Hamdan adalah penghuni griya lansia ini sejak sepuluh tahun lalu. Beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan. 

Ada kebiasaan dari Aki Hamdan setiap bulan Agustus. Dia mengajak para penghuni griya lansia ini melakukan upacara kecil dan menghormat bendera merah putih Kini mereka sedang menyaksikan peringatan HUT ke-78 RI ini dari layar besar yang sengaja disiapkan Arina dan pengurus griya lainnya.


Beberapa jenis makanan tradisional dan sehat pun disajikan di meja makan. Para pengurus memiliki komitmen untuk mengadakan acara buat para penghuni yang sebagian besar sudah berusia di atas enam puluh tahun. Pada hari itu juga, banyak keluarga penghuni yang datang menengok. Mereka biasanya anak dan cucu mereka. Mereka membawa berbagai souvenir untuk orang tua mereka dan penghuni griya lainnya.

Hanya Aki Hamdan yang tidak mendapatkan kunjungan. Dia sendiri dan sedang asyik menonton televisi di ruang tengah.

Sudah menjadi kebiasaan di griya ini, jika peringatan hari kemerdekaan RI ini dirayakan dengan berbagai kegiatan hiburan, seperti penampilan orkes keroncong, karokean lagu- lagu kenangan dan nonton film perjuangan.

Baca juga: Cerpen 'Kehilangan'

" Aki terkenang saat perjuangan dulu ya?" tanya Arina seraya memandang Aki Hamdan yang tak berkedip saat Presiden sedang memimpin upacara pengibaran bendera merah putih.

"Ya, Neng. Sekarang HUT yang ke berapa, ya?" Aki Hamdan mencoba menghitung dengan kedua tangannya.

Arina tersenyum saat melihat apa yang dilakukan Aki Hamdan. Setiap bulan Agustus Aki Hamdan melakukan hal sama. Dia menghitung hari kemerdekaan itu dan usianya sekarang.

"Usiaku sekarang sudah 95 tahun ya, Neng?" tanya Aki Hamdan yang dijawab dengan anggukan kepala Arina.

Arina sering mendengar kisah hidup Aki Hamdan. Konon saat pembacaan proklamasi, Aki Hamdan berusia tujuh belas tahun dan sudah ikut berjuang di garis depan bersama para pemuda yang tergabung di dalam PETA yang berubah menjadi TKR sekitar bulan Oktober 1945. Aki Hamdan yang tergabung dalam TNI Angkatan darat itu ikut mengusir para tentara Belanda yang datang kembali paska pembacaan teks proklamasi di Pegangsaan Timur.

Aki Hamdan ikut juga menghadang tentara Gurka yang membonceng tentara sekutu ke Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu di daerah Bojongkokosan Sukabumi. Kakinya pernah tertembak saat penghadangan itu. Banyak kawan- kawan seperjuangan yang gugur pada penghadangan itu. Ia juga mengikuti long march ketika ibu kota Jakarta berpindah ke Yogyakarta dan ikut perang gerilya bersama pasukan Siliwangi.

Buat Arina, Aki Hamdan adalah sosok pejuang yang patut diteladani oleh semua orang khususnya generasi muda. Namun, ada yang janggal di mata Arina tentang keberadaan Aki Hamdan di griya lansia ini.

"Aki tidak punya anak?" tanya Arina saat dirinya pertama kali bertugas di panti ini. Arina heran setiap hari Sabtu dan Minggu, Aki Hamdan tak pernah terlihat menerima tamu.

"Ada, Neng. Cuma mereka sibuk semua. Yang ke satu kerja di Amerika dan jarang pulang ke Indonesia. Anak kedua ada di Surabaya, dan yang bungsu kerja di Yogyakarta. Aki sudah punya sepuluh cucu, Neng. Mungkin mereka sudah besar- besar sekarang. Sejak sepuluh tahun lalu, Aki tak pernah bertemu mereka lagi," jawab Aki Hamdan sambil menunduk. Ada air mata yang mengalir di kedua pelupuk matanya yang keriput. Terlihat sekali ada kesedihan dan kerinduan di wajahnya.

"Aki rindu pada mereka, ya?" tanya Arina lagi. Aki Hamdan hanya tersenyum tipis dan tak menjawab. Matanya memandang foto keluarga yang tersimpan di bufet kamarnya.

"Aki tidak usah sedih, ya. Arina mau kok menjadi cucu Aki. Arina juga mau merawat Aki. Kalau Aki butuh apa- apa, tinggal kasih tahu Arina," hibur Arina sambil memegang tangan Aki Hamdan.

"Benar, Neng?" tanya Aki Hamdan sambil tersenyum. Kemudian Aki Hamdan memegang bahu Arina," Terima kasih, Neng."

Sejak saat itu Arina menjadi teman setia Aki Hamdan. Setiap hari Arina selalu mengajak Aki Hamdan dan beberapa penghuni lainnya untuk berjalan- jalan pagi atau senam lansia. Arina juga menjadi pendengar bagi kisah- kisah perjuangan Aki Hamdan. Arina hafal bagaimana Aki Hamdan melakukan penyergapan para tentara Belanda di daerahnya. Arina melihat semangat Aki Hamdan sangat tinggi meski usianya sudah tidak muda lagi. Dia selalu memotivasi para lansia lainnya untuk tetap semangat dan mau bergerak. 

Arina tidak mengerti mengapa anak- anak Aki Hamdan tak pernah menengoknya. Seharusnya anak itu berbakti kepada orang tuanya, merawatnya saat mereka sudah sepuh dan renta. Arina melihat kerinduan yang kerap terpancar di matanya. Arina pernah mencoba untuk menghubungi anak- anaknya, tetapi nomor telepon yang diberikan ke panti tidak aktif.

"Aku kasihan pada Aki Hamdan, Bu. Dia sangat merindukan anak- anaknya. Aku melihat Aki sering murung akhir- akhir ini," jelasku pada Bu Fatimah, pimpinan panti," Bagaimana car a kita menghubungi anak- anak Aki ya, Bu?"

"Kita sudah tidak punya data lain selain yang diberikan saat mereka mengantar Aki Hamdan. Setelah itu mereka tak pernah datang," jelas Bu Fatimah.

"Kok anak- anak Aki Hamdan tega ya, Bu menelantarkannya di sini. Padahal Aki sudah berjuang membesarkan anak- anaknya hingga mereka sukses seperti sekarang ini," kataku sambil menunduk," Bu, izinkan aku membuat tulisan tentang Aki Hamdan ya. Aku akan membagikan di media sosial. Siapa tahu anak-anak atau cucu Aki Hamdan membaca dan terketuk hatinya."

"Boleh! Silakan, Arina. Semoga ini menjadi ikhtiar yang menghasilkan." Bu Fatimah memuji rencana Arina.

Setelah percakapan itu, Arina menulis kisah tentang Aki Hamdan dan kerinduannya kepada anak cucunya serta kisah- kisah penghuni griya lansia itu di situs yang dia buat. Arina berharap usaha itu akan membuahkan hasil. Sudah enam bulan lalu, beberapa tulisan di media sosial hadir.

Banyak tanggapan tentang tulisan perjuangan Aki Hamdan dan kisah- kisah tentang penghuni griya lansia "Pelita Asih" ini. Beberapa orang ada yang datang dan menghibur Aki Hamdan dan para penghuni lainnya. Namun, dari para pengunjung itu tak satupun anak- anak Aki Hamdan datang. Arina tak mengerti terbuat dari apa hati anak-anak dan cucu Aki Hamdan.

Setelah menonton upacara penurunan bendera di Istana Merdeka, Aki Hamdan masuk ke kamar. Hingga azan Isa terdengar Aki Hamdan tak terlihat keluar kamar. Biasanya dia tak pernah tertinggal untuk salat berjamaah di musola griya.

"Handi, Aki Hamdan tak terlihat keluar kamar. Coba tolong cek di kamarnya, ya," ujar Arina kepada rekannya. Setelah itu Arina melanjutkan untuk menyiapkan makan malam.

Tak lama kemudian Handi datang sambil tergesa- gesa," Teh, Aki Hamdan ...."

"Ada apa dengan Aki Hamdan?" tanya Arina menghentikan pekerjaan kemudian berlari ke kamar Aki. Handi dan beberapa pengurus lainnya mengikutinya.

Setelah tiba di kamar, Arina melihat Aki Hamdan sedang memeluk foto anak- anaknya. Arina mendekati Aki Hamdan dan memegang nadinya. Kemudian, Arina mendekatkan jarinya ke hidung Aki Hamdan.

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun ...," ucap Arina sambil memeluk tubuh Aki Hamdan.

Bagi Arina, Aki Hamdan bukan hanya menjadi tanggung jawab pekerjaannya. Aki Hamdan adalah sosok yang selalu memberikan inspirasi buatnya. Dia sudah benar- benar menjadi aki buat Arina.

"Selamat jalan Aki. Semoga kau tenang menghadap Allah Swt." Arina menahan kesedihannya. Semua penghuni griya menangisi kepergian Aki Hamdan dengan tangisan.

Malam itu semesta kehilangan seorang pejuang yang sangat berjasa bagi bangsa. Dia harus kembali keharibaan-Nya dalam kesunyian dan bongkahan kerinduan yang mengkristal di dada.

Cibadak, 10 Agustus 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun