Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melukis Jejak Literasi

28 Februari 2022   07:18 Diperbarui: 28 Februari 2022   07:27 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 buku karya siswa. Sumber ;dok.pri

Langit masih menggantung jingga ketika Laras tiba di depan ruang kerjaku. Hujan yang mengguyur bumi kini telah berhenti berganti dengan bianglala yang menghias kaki langit. Suasana sekolah sudah mulai sepi, hanya beberapa anak OSIS yang masih bercakap-cakap dengan Pak Indra.

"Ada apa, Laras? Mengapa kamu menangis?" tanyaku saat melihat Laras sedang menahan tangisnya.

"Maaf, Bu Tia. Laras mengganggu," ujar Laras pelan.

"Tidak apa-apa. Ayo masuk! Kita berbicara di dalam," ajakku sambil menggamit lengan Laras.

Kami berdua duduk di bangku tamu. Aku memberikan tisue untuk menghapus air mata Laras.

"Laras mendengar jika ibu akan mengganti Laras. Apakah benar?" Laras bertanya kepadaku sambil memandang ke arahku.

"Kamu mendengar dari siapa? Itu hoaks," jawabku pendek.

"Laras mendengarnya sendiri kemarin dengan tidak sengaja. Saat itu Laras sedang mengambil buku di meja Miss Ayu. Ibu berbicara kepada bu Ani.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Laras. Aku ingat pembicaraan dengan bu Ani kemarin. Waktu itu aku menmberikan usul untuk mengganti pengurus komunitas literasi yang ada di sekolah ini. Para pengurus dan anggota yang kurang aktif akan diberikan penyegaran.

"Hai...kamu nguping ya," godaku sambil menepuk tangan Laras," Ibu tidak akan mengganti kamu. Ibu hanya akan mengganti pengurus yang kurang aktif. Begitu pula bagi anggota yang kurang aktif. Tidak perlu berlebihan sampai kamu menangis segala."

"Laras mengira berita itu benar. Maaf ya, Bu. Pasti ibu cemas melihat Laras menangis begini," sesalnya sambil mengusap air mata di kedua pipinya.

Setelah hatinya tenang, Laras permisi untuk pulang. Aku memandangi kepergian Laras sambil tersenyum. Laras memang berbeda dengan anak lainnya. Kegemarannya pada dunia membaca dan menulis sangat tinggi. Aku tidak sia-sia membimbingnya sejak kelas tujuh lalu. 

Bila dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, semangat Laras mengikuti kegiatan literasi sangat tinggi. Dia mau menghabiskan waktu istirahatnya untuk membaca buku di perpustakaan. Dia juga mau menghabiskan waktu di rumah untuk menulis. Dia juga tak segan meminta masukan dariku dan memintaku untuk menyunting tulisannya.

Prestasi Laras sudah membuktikan kesungguhannya untuk menjadi seorang penulis. Dia menjadi duta baca tingkat provinsi. Dia juga meraih juara 1 menulis cerpen dua tahun berturut- turut dalam lomba menulis cerpen Diarpusda Kabupaten. Ada satu buku kumpulan cerpen yang sudah diterbitkannya.

Aku masih ingat saat pertama kali aku mengajukan kegiatan ini sebagai salah satu kegiatan ekstrakulikuler di sekolah ini. Sebagai guru Bahasa Indonesia, aku merasa prihatin karena minat membaca dan kemampuan menulis para siswa jauh dari harapan. 

Setiap ada lomba di tingkat kabupaten, aku selalu mengalami kesulitan untuk mencari peserta lomba. Hal itulah yang mendasari aku untuk membentuk komunitas literasi ini.

"Bu Tia membuang- buang waktu dan tenaga saja," komentar Bu Silfi saat aku menceritakan maksudku saat itu," Lebih baik sisa waktu mengajar dimanfaatkan untuk mengurus keluarga."

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Bu Silfi. Dia memang paling tidak mau menghabiskan waktu untuk membina ekstrakulikuler. Setiap selesai mengajar, dia langsung permisi pulang.

Saat itu aku merasa seperti berjalan sendiri karena para rekan guru kurang mendukung. Minat anak- anak dalam kegiatan literasi ini pun sangat minim.

Setiap kami mengadakan lomba, peserta yang mengikuti hanya segelintir siswa saja. Namun, tekadku sudah bulat. Pembiasaan membaca dan menulis anak-anak harus terus dilakukan. Apa pun caranya, aku harus bisa menunjukkan bahwa kegiatan ini sangat bermanfaat.

"Gerakan literasi sekolah ini bukan milik saya. Kegiatan ini harus didukung oleh semua pihak, termasuk guru.Jika kita tidak kompak, maka tidak akan ada kemajuan di sekolah ini." ujarku tegas. Saat itu  kami sedang rapat di sekolah. Kepala Sekolah memberikan peluang kepada saya untuk terus membina kegiatan ini dan memerintahkan semua guru untuk membantu. Saya diminta untuk membuat tim literasi sekolah.

Saya membina anak-anak dengan tekad dan keinginan kuat meskipun anak-anak kurang berminat. Hal itu terbukti dengan prestasi yang diperoleh oleh anak-anak komunitas literasi. Aku tidak peduli apa yang dikatakan oleh teman-teman guru. Aku hanya ingin melakukan apa yang ku yakini baik dan bermanfaat untuk anak- anak . 

Aku memandang buku-buku yang berjejer di lemari. Ada beberapa buku yang kutulis sendiri, ada sepuluh buku yang kutulis bersama teman-teman komunitas literasi, dan tiga buku yang kutulis bersama anak- anak. Ada kepuasan tersendiri yang ada dalam hatiku.

Senja mulai merambah turun. Bias merah jingga sudah menghiasi kaki langit. Aku bergegas pulang sambil menguatkan tekad untuk tetap membina anak- anak yang memiliki kemampuan menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun