Mohon tunggu...
Ni'ma Nurmagfirah K
Ni'ma Nurmagfirah K Mohon Tunggu... -

A graduate from Pharmacy Program of Alauddin State Islamic University, who continue her journey to Apothecary Profession Program in Hasanuddin University.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sedatif; Antara Tertidur dan Tidur Selamanya

17 April 2016   10:30 Diperbarui: 5 Desember 2016   01:25 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Medscape drug interaction checker, dari riwayat pengobatan ditemukan beberapa interaksi obat pada Weiland yang memicu ataupun mengakibatkan kematiaanya. Interaksi tersebut meliputi;

1.      Alprazolam (Xanax) + MDMA (Ekstasi)

Alprazolam merupakan psikotropika golongan IV menurut UU. No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Merupakan turunan benzodiazepine atau disebut juga Minor Transquillizer dimana golongan ini merupakan obat yang paling umum digunakan sebagai anti ansietas (anti kecemasan), yang efektif digunakan untuk mengurangi rangsangan abnormal pada otak, menghambat neurotransmitter asam gama-aminobutirat (GABA) dalam otak sehingga menyebabkan efek penenang atau sedasi. Alprazolam diabsorbsi dengan baik di dalam saluran pencernaan dan bekerja cepat dalam mengatasi gejala ansietas pada minggu pertama pemakaian. Alprazolam memiliki efek sedasi (mengantuk) lebih pendek dibanding benzodiazepine lainnya.

Sedangkan Ekstasi merupakan derivat amfetamin yang dikenal sebagai 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA) yang termasuk dalam Narkotika golongan I menurut UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, setelah sebelumnya dikelompokkan dalam Psikotropika golongan II pada UU. No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Penambahan ekstasi ke dalam Narkotika golongan I dikarenakan paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba.

MDMA memiliki efek utama di otak pada neuron yang menggunakan bahan kimia (atau neurotransmitter) serotonin untuk berkomunikasi dengan neuron lainnya. Sistem serotonin berperan penting dalam mengatur suasana hati, agresi, aktivitas seksual, tidur, dan kepekaan terhadap rasa sakit. MDMA mengikat transporter serotonin, yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan serotonin dari sinaps (atau ruang antara neuron yang berdekatan) untuk menghentikan sinyal antara neuron, sehingga MDMA memperpanjang sinyal serotonin. MDMA memiliki efek yang serupa pada neurotransmitter lain, epinephrine, yang dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. MDMA juga melepaskan dopamin, tetapi dalam tingkat yang jauh lebih rendah. MDMA dapat menghasilkan kebingungan, depresi, masalah tidur, keinginan obat, dan kecemasan yang parah.

Alprazolam meningkatkan efek sedasi untuk menurunkan ansietas (kecemasan) tetapi MDMA menurunkan sedasi sehingga berakibat pada ansietas. Efek interaksi tidak jelas, potensi untuk interaksi, perlu monitoring.

2.      Buprenorphine + MDMA (Ekstasi)

Buprenorphine merupakan psikotropika golongan III menurut UU. No. 5 Tahun 1997 tentang Narkotika, adalah suatu turunan semisintetik dari morfin alkaloid, thebaine yang merupakan agonis opioida parsial pada reseptor opioida μ dalam sistem saraf, dan juga antagonis reseptor opioida k (kappa). Aktivitas agonis intrinsiknya rendah, hanya mengaktifkan sebagian reseptor opioida μ (terlibat dalam analgesia, depresi pernafasan, sembelit dan ketergantungan obat). Buprenorphine memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor opioida μ, berikatan dengan reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorphine juga memiliki afinitas tinggi dan memiliki sifat antagonis pada reseptor k (terlibat dalam analgesia, diuresis dan sedasi), sehingga pada keadaan tertentu buprenorphine dosis tinggi dapat menimbulkan sindrom putus obat opioida (opioida withdrawal syndrome). Buprenorphine dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 3A4.

Buprenorphine bekerja pada reseptor k (kappa) yang terlibat dalam proses sedasi, sehingga meningkatkan efek sedasi, sedangkan MDMA menurunkan efek sedasi. Efek interaksi tidak jelas, potensi untuk interaksi, perlu monitoring.

3.       Ziprasidone + MDMA (Ekstasi)

 Ziprasidone merupakan antipsikosis atipikal yang belum terdapat di Indonesia. Jadi, ia belum mendapatkan kelas penggolongan menurut UU yang berlaku di Indonesia. Namun, menurut UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, jenis antipsikosis (seperti; klorpromazin dan derivat fenotiazin) termasuk dalam psikotropika golongan I.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun