Mohon tunggu...
Ni'ma Nurmagfirah K
Ni'ma Nurmagfirah K Mohon Tunggu... -

A graduate from Pharmacy Program of Alauddin State Islamic University, who continue her journey to Apothecary Profession Program in Hasanuddin University.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sedatif; Antara Tertidur dan Tidur Selamanya

17 April 2016   10:30 Diperbarui: 5 Desember 2016   01:25 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Obat-obatan sedatif dapat menyebabkan tertidur selamanya."][/caption]

Kasus kematian karena ketergantungan obat-obatan dan atau alkohol ini memang sudah menjadi hal yang tak asing bagi dunia hiburan, khususnya industri hiburan barat. Dua diantaranya yang terpopuler yakni kasus kematian Michael Jackson (The King of Pop) karena penggunaan obat penenang, propofol, lorazapam dan midazolam) dan kasus dari Whitney Houston yang tenggelam dalam bak mandi akibat dampak penyakit jantung atherosclerotic dan penggunaan kokain.

Meskipun pekerja seni hiburan tanah air banyak pula yang tersandung kasus ketergantungan obat-obatan ataupun alkohol tetapi tak sampai berakhir dengan kehilangan nyawa, beruntungnya mereka segera mendapatkan rehabilitasi. Namun tak dapat dipungkiri, tingginya jumlah pengguna narkoba di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.

Menurut laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) jumlah pengguna narkoba di Indonesia akan terus meningkat. Tahun 2015 lalu, pengguna narkoba telah mencapai 5,1 juta orang. Angka kematian akibat penyalahgunaan narkoba mencapai 104.000 orang yang berumur 15 tahun dan 263.000 orang yang berumur 64 tahun. Mereka meninggal akibat mengalami overdosis obat-obatan yang merupakan golongan narkotika-psikotropika dan tak sedikit pula karena penyalahgunaan obat-obatan yang menimbulkan efek sedasi yang dibarengi dengan miras oplosan.  

Hal yang paling berbahaya jika mereka mengoplos ataupun mengkonsumsi alkohol dengan obat-obatan narkotika, psikotropika dan obat dengan efek sedasi lainnya yang dapat menimbulkan efek interaksi obat yang tak dapat ditolerir.

Di Indonesia, tahun 1970 menjadi awal mula penyalahgunaan narkotika melanda, kemudian kasus kematian karena interaksi alkohol dan narkotika kian marak di tahun 2009 hingga saat ini. Oleh karenanya sangat penting untuk mengetahui potensi interaksi yang dapat terjadi pada obat-obatan golongan narkotika-psikotropika, untuk meminimalisir penggunasalahan obat (drug misuse) ataupun penyalahgunaan obat (drug abuse).

Karena di Indonesia sangat jarang didapatkan bahkan hampir tak pernah ditemui kasus yang mencakup drug misuse dandrug abuse dalam satu kasus sekaligus, kami mencoba mengulik kasus kematian seorang musisi barat yang kiranya dapat mewakili keduanya, untuk kemudian kami jabarkan interaksi-interaksi yang terjadi dari obat golongan narkotika-psikotropika yang sengaja dikonsumsinya karena tujuan medis ataupun tanpa tujuan medis.

Kematian mantan vokalis band Stone Temple Pilots dan Velvet Revolver, Scott Weiland kembali menambah deretan musisi barat yang mengakhiri usianya karena ketergantungan obat-obatan dan alkohol.

Dilansir dari CNN Indonesia(20/21), Weiland dinyatakan tewas pada 3 Desember 2015 lalu dikarenakan mengonsumsi kokain, alkohol dan ekstasi yang mengakibatkan nyawanya melayang di atas bus tur dalam kondisi sedang tidur di tengah perjalanan menuju Minneapolis bersama rekan bandnya.

Tidak hanya ketiga zat tersebut rupanya yang menyebabkan kematiannya, pihak kepolisian ternyata menemukan obat penghilang rasa sakit (Xanax), obat untuk proses rehabilitasi pasien kecanduan narkotik (Buprenorphine), obat impotensi (Viagra), dan obat untuk bipolar dan skizofrenia (Ziprasidone) yang dideritanya.

Orang-orang yang memiliki diagnosis penyakit mental seperti skizofrenia mengatakan bahwa mereka yang dengan sering mengkonsumsi obat atau alkohol untuk membantu mengatasi beberapa gejala penyakit, atau melawan beberapa efek samping dari obat. Namun kebenarannya, bahkan sejumlah kecil obat dan alkohol dapat membuat gejala psikosis semakin buruk, dan membuat pengobatan kurang efektif.

Menurut Medscape drug interaction checker, dari riwayat pengobatan ditemukan beberapa interaksi obat pada Weiland yang memicu ataupun mengakibatkan kematiaanya. Interaksi tersebut meliputi;

1.      Alprazolam (Xanax) + MDMA (Ekstasi)

Alprazolam merupakan psikotropika golongan IV menurut UU. No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Merupakan turunan benzodiazepine atau disebut juga Minor Transquillizer dimana golongan ini merupakan obat yang paling umum digunakan sebagai anti ansietas (anti kecemasan), yang efektif digunakan untuk mengurangi rangsangan abnormal pada otak, menghambat neurotransmitter asam gama-aminobutirat (GABA) dalam otak sehingga menyebabkan efek penenang atau sedasi. Alprazolam diabsorbsi dengan baik di dalam saluran pencernaan dan bekerja cepat dalam mengatasi gejala ansietas pada minggu pertama pemakaian. Alprazolam memiliki efek sedasi (mengantuk) lebih pendek dibanding benzodiazepine lainnya.

Sedangkan Ekstasi merupakan derivat amfetamin yang dikenal sebagai 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA) yang termasuk dalam Narkotika golongan I menurut UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, setelah sebelumnya dikelompokkan dalam Psikotropika golongan II pada UU. No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Penambahan ekstasi ke dalam Narkotika golongan I dikarenakan paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba.

MDMA memiliki efek utama di otak pada neuron yang menggunakan bahan kimia (atau neurotransmitter) serotonin untuk berkomunikasi dengan neuron lainnya. Sistem serotonin berperan penting dalam mengatur suasana hati, agresi, aktivitas seksual, tidur, dan kepekaan terhadap rasa sakit. MDMA mengikat transporter serotonin, yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan serotonin dari sinaps (atau ruang antara neuron yang berdekatan) untuk menghentikan sinyal antara neuron, sehingga MDMA memperpanjang sinyal serotonin. MDMA memiliki efek yang serupa pada neurotransmitter lain, epinephrine, yang dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. MDMA juga melepaskan dopamin, tetapi dalam tingkat yang jauh lebih rendah. MDMA dapat menghasilkan kebingungan, depresi, masalah tidur, keinginan obat, dan kecemasan yang parah.

Alprazolam meningkatkan efek sedasi untuk menurunkan ansietas (kecemasan) tetapi MDMA menurunkan sedasi sehingga berakibat pada ansietas. Efek interaksi tidak jelas, potensi untuk interaksi, perlu monitoring.

2.      Buprenorphine + MDMA (Ekstasi)

Buprenorphine merupakan psikotropika golongan III menurut UU. No. 5 Tahun 1997 tentang Narkotika, adalah suatu turunan semisintetik dari morfin alkaloid, thebaine yang merupakan agonis opioida parsial pada reseptor opioida μ dalam sistem saraf, dan juga antagonis reseptor opioida k (kappa). Aktivitas agonis intrinsiknya rendah, hanya mengaktifkan sebagian reseptor opioida μ (terlibat dalam analgesia, depresi pernafasan, sembelit dan ketergantungan obat). Buprenorphine memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor opioida μ, berikatan dengan reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorphine juga memiliki afinitas tinggi dan memiliki sifat antagonis pada reseptor k (terlibat dalam analgesia, diuresis dan sedasi), sehingga pada keadaan tertentu buprenorphine dosis tinggi dapat menimbulkan sindrom putus obat opioida (opioida withdrawal syndrome). Buprenorphine dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 3A4.

Buprenorphine bekerja pada reseptor k (kappa) yang terlibat dalam proses sedasi, sehingga meningkatkan efek sedasi, sedangkan MDMA menurunkan efek sedasi. Efek interaksi tidak jelas, potensi untuk interaksi, perlu monitoring.

3.       Ziprasidone + MDMA (Ekstasi)

 Ziprasidone merupakan antipsikosis atipikal yang belum terdapat di Indonesia. Jadi, ia belum mendapatkan kelas penggolongan menurut UU yang berlaku di Indonesia. Namun, menurut UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, jenis antipsikosis (seperti; klorpromazin dan derivat fenotiazin) termasuk dalam psikotropika golongan I.

Ziprasidone memblokir reseptor D2 serta subtipe spesifik reseptor serotonin yang dikenali dengan nama reseptor 5HT2A. Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada skizofrenia. Antipsikosis memiliki efek samping antara lain adalah memblokir reseptor D2 yang menyebabkan mencakup tremor, akathisia (sensasi kegelisahan), kejang otot, disfungsi seksual, dan dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan diskinesia tardif, suatu kelainan yang menyebabkan gerakan berulang, involunter dan tanpa tujuan.

Ziprasidone bekerja mengontrol halusinasi dan delusi sehingga meningkatkan efek sedasi, bersama dengan MDMA yang bekerja menurunkan efek sedasi dapat memicu peningkatan sensasi kegelisahan akibat efek samping yang ditimbulkan dari ziprasone. Potensi untuk interaksi, perlu monitoring.

4.      Alprazolam (Xanax) + Buprenorphine

Berdasarkan mekanismenya, alprazolam dan buprenorphine keduanya meningkatkan sedasi. Sehingga berpotensi untuk overdosis yang mengakibatkan penurunan kesadaran menurun (koma), depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, tekanan darah pada awalnya baik, dapat menjadi hipotensi apabila pernafasan memburuk dan terjadi syok hingga suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin.

5.      Alprazolam (Xanax) + Ziprasidone

Berdasarkan mekanismenya, alprazolam dan ziprasidone keduanya meningkatkan efek sedasi yang menyebabkan hilangnya koordinasi otot dan kesadaran mental. Sehingga dapat terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasan yang menyebabkan koma hingga kematian dengan tanda-tanda serupa peningkatan efek sedasi pada kombinasi dengan agonis opioida.

6.      Buprenorphine + Ziprasidone

Dengan mekanisme kerja yang memberi efek sedasi, kombinasi keduanya akan meningkatkan efek sedasi serupa dengan tanda-tanda yang ditunjukkan untuk kombinasi burprenorphine dengan benzodiazepin.

7.      Interaksi dengan Alkohol

Alkohol merupakan zat depresan atau penenang yang dapat menumpulkan sistem saraf pusat, yang mengindikasikan penurunan kerasionalan hingga pelemahan kontrol diri. Efek jangka pendek dari konsumsi alkohol antara lain; menurunnya kemampuan koordinasi motorik hingga kecanduan. Sedang efek jangka panjang dapat menyebabkan kondisi ringanwithdrawal yang berupa sakit kepala hingga kondisi hilang kesadaran. Alkohol menghambat berbagai reseptor glutamate yang dapat menimbulkan efek kognitif intoksikasi (keracunan) alkohol. Selain itu secara umum alkohol diyakini mampu meningkatkan aktivitas seksual, efek sebaliknya juga sangat mungkin. Banyak penyalahgunaan alkohol memberikan efek awal berupa penurunan libido, yang memicu konsumsi obat seperti sildenafil.

Ketiga zat yang diberikan kepada Weiland dengan tujuan pengobatan dan penghilangan ketergantungan (xanaxataualprazolam, ziprasidonedanbuprenorphine) memiliki interaksi denganalkohol (dimana, diketahui bahwa Weilan adalah seorang alkoholik) yang ketiganya memiliki efek sinergis dalam meningkatkan efek sedasi, sesuai dengan pembahasan diatas untuk tiap mekanisme kerja dari ketiganya, dapat menyebabkan penurunan kesadaran hingga menjadi faktor pemicu kematian. Sedangkan interaksi antara ziprasidonedenganalkohol termasuk interaksi minor yang mungkin terjadi, dimana alkohol dapat meningkatkan efek toksisitas ziprasidone dengan memblokir kanal K+ pada membran sel, sehingga tidak terjadi arus keluar K+ dari intrasel ke ekstrasel sehingga dapat memperpanjang potensial aksi yang berakibat pada penundaan repolarisasi sel-sel miokard hingga berakhir kepada bradikardia.

Kemudian kokain yang dikonsumsinya sendiri tidak berinteraksi dengan obat lainnya ataupun dengan alkohol namun dapat memberi efek simpatomemetik sentral dan perifer daya kerja stimulasinya terhadap SSP (cortex) dan menimbulkan beberapa gejala seperti gelisah, ketegangan, konfulasi, eufori, dan meningkatkan kapasitas dan tenaga sehingga tahan lama untuk bekerja karena kehilagan perasaan lelah.

Kokain atau benzolimetilekgoni didapatkan dari daunErythroxylon coca dan spesies erythroxylon lain, yaitu pohon yang tumbuh di Peru dan Bolovia. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik golongan I dalam UU. No. 35 Tahun 2009. Efek Kokain pada tingkah laku merupakan akibat dari rangsangan kuat pada korteks dan sambungan otak. Kokain meningkatkan kesadaran mental dan memberikan perasaan sehat, dan euforia yang serupa dengan yang disebabkan oleh amfetamin. Seperti amfetamin, kokain dapat menimbulkan halusinasi, delusi, dan paranoid. Kokain memacu aktivitas motorik dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan tremor dan bangkitan kejang yang diikuti depresi pernapasan dan vasomotor. Dan menjadi faktor pemicu kematian Weiland.

Sedangkan viagra yang mengandung sildenafil bukan merupakan narkotika, sildenafil termasuk dalam golongan obat phosphodiesterase inhibitor. Sildenafil bukan merupakan zat perangsang dan juga tidak meningkatkan nafsu seksual, tetapi hanya bekerja bila ada stimulasi seksual/rangsangan erotik dengan demikian ia dapat disebut sebagai oral erotic agent. Dugaan konsumsi obat ini dikarenakan efek yang ditimbulkan dari penyalahgunaan Weiland terhadap kokain dan MDMA (ekstasi).

Terakhir, ada dua faktor drug misuse pada kasus ini. Pertama, seharusnya Weiland tidak diberikan lagi Xanax atau alprazolam untuk menghilangkan rasa sakit yang dideritanya akibat gangguan bipolar dan skizofrenia karena telah diberikan ziprasidone yang dapat memberi efek sedasi sehingga perlahan mampu menghilangkan nyeri. Kedua, tidak seharusnya Weiland menggunakan Viagra atau sildenafil atas kemauannya sendiri akibat efek kokain, MDMA (ekstasi) dan alkohol yang dengan sengaja dikonsumsinya. Sedangkan drug abuse dalam kasus ini tentu saja penyalahgunaan obat-obatan narkotika dan psikotropika yang dilakukan oleh Weiland. 

Daftar Pustaka

Badan Narkotika Nasional, 2009. UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta; BNN.

Badan Narkotika Nasional, 1997. UU. No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Jakarta; BNN.

Badan POM RI, 2007. Info POM Vol 8(1). Jakarta; BPOM RI.

Catalina Lionte, Cristina Bologa and Laurentiu Sorodoc, 2012.Toxic and Drug-Induced Changes of the Electrocardiogram. Romania; University of Medicine and Pharmacy.

Coyle & Prince, 2005, Erectile Disfunction, in Dipiro J.T., et al, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 6th. Stamford; Apleton & Lange.

Institute of Psychiatry, Physchology and Neuroscience of King's College London. http://www.mentalhealthcare.org.uk, diakses 17 april 2016.

Maslim, R., 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: PT. Nuh Jaya.

Menkes RI, 2014. PMK No. 13 Tahun 2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Jakarta; Menkes RI.

Mycek, J. Mary. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Wydia Medika.

Multi Drug Interaction Checker.http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker,diakses 16 april 2016

Ricaurte GA and McCann UD, 2001. Experimental studies on 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA, “ecstasy”) and its potential to damage brain serotonin neurons. Neurotox Res 3(1):85–99.

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun