Mohon tunggu...
Nia Rahman
Nia Rahman Mohon Tunggu... Konsultan - In Communication We Trust

Work Hard, Travelling a Lot. Tell your story to the world!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Najwa Shihab dan Maudy Ayunda, antara Kodrat dan Stigma Masyarakat

29 Mei 2022   21:22 Diperbarui: 31 Mei 2022   12:30 2272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Momen saat Najwa Shihab dan Maudy Ayunda saling menyetujui pernyataan terkait senang dengan ujian. (sumber: HO/Catatan Najwa via tribunnews.com)

Perempuan-perempuan versi Najwa dan Maudy memang akan selalu lahir disetiap masanya. Namun tidak sedikit pula yang tetap memilih mengikuti arus, menjalani kehidupan sebagaimana yang "dikodratkan" terhadap perempuan.

Pembicaraan mengenai perempuan, secara global dan khususnya di Indonesia masih seputar kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Namun kerapkali, pembahasan ini hanya sebatas di ruang-ruang diskusi. 

Maka tak heran perempuan buruh pabrik atau pekerja di perkebunan, pedagang sayur di pasar, ibu rumah tangga, bahkan gadis muda calon pekerja kerah putih tak paham apa itu kesetaraan gender. Bicara pemberdayaan perempuan, biasanya berujung pada UMKM, atau hal-hal yang sifatnya dorongan financial dan ekonomi keluarga.

Sejatinya, ada gagasan yang lebih mendasar yang perlu dimiliki oleh perempuan, yaitu menjalani hidup dengan kesadaran akan pilihan hidupnya. 

Saat perempuan menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk menentukan "cara menjalani hidup" tanpa perlu khawatir stigma dari lingkungan sosial, sejatinya gender bukan jadi persoalan lagi.

Memilih mengejar pendidikan ketimbang menikah, memilih menjadi ibu rumah tangga atau perempuan bekerja, bahkan menikah atau tidak menikah, punya anak atau tidak punya anak dan pilihan-pilihan lainnya. 

Kita sudah terlalu lama menetapkan standar bagi kodrat seorang perempuan : pendidikan secukupnya, menikah sebelum usia 30, punya anak 2-4, keluarga Bahagia. 

Alhasil, saat seorang perempuan masih melajang di usia kepala 3, maka berbagai stigma melekat pada dirinya. Saat seorang perempuan masih belum hamil setelah menikah, maka berbagai pertanyaan ditujukan pada dirinya. 

Pada akhirnya, menikah dan mengurus anak "dikodratkan" menjadi tujuan hidup perempuan. Zaman memang telah berubah, teknologi dan digitalisasi, tapi tidak dengan perempuan. 

Sampai kapanpun perempuan tidak akan pernah menjalani hidup yang dipilih atas kesadaran sendiri tanpa khawatir menjadi liyan di tengah-tengah masyarakat.

Kabar gembira datang di awal tahun ini. Bahwa tahun ini, hingga  Desember 2022, Indonesia menjabat sebagai Presidensi G20. Kesetaraan gender pun menjadi salah satu isu prioritas yang akan diusung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun