Mohon tunggu...
Niko Simamora
Niko Simamora Mohon Tunggu... Pengajar - Menulis

@nikomamora~\r\nnikosimamora.wordpress.com~\r\nniko_smora@live.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bakar Sampah dan Budaya Pengelolaan Sampah

30 Juni 2023   19:20 Diperbarui: 30 Juni 2023   19:24 3453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membakar sampah seolah jadi budaya. (sumber: kompas.com)

"Bang, tolong tutup pintu depan," ucap sang istri ketika aroma asap sudah semerbak tercium dari pintu depan.

Tanpa ragu, saya langsung menutup pintu rumah dan memastikan jendela-jendela juga sudah tertutup rapat.

Bukan sesekali kami harus melakukan hal itu. Setiap hari, biasanya setelah makan malam, tetangga saya akan nongkrong di depan rumah, sambil membakar sampah, katanya sih kertas-kertas, terutama rak telur (egg tray). Alasannya untuk mengusir nyamuk dan mencegah penularan penyakit, terutama demam berdarah, yang memang mulai muncul di daerah kami.

Setelah asap dari bakaran sampah tersebut, kemudian akan muncul asap dari bakaran selanjutnya. Rokok. Alamak! Betapa senangnya tetangga saya berbagi, terutama berbagi asap. Dan sebagai tetangga yang baik, saya hanya sesekali bercanda mengingatkan kalau membakar-bakar, baik berupa sampah kertas maupun tembakau, ada baiknya tanpa asap. Kalaupun berasap, tak perlulah berbagi.

Begitulah kebiasaan yang kerap muncul di lingkungan kita. Dalam skala kecil, misalnya hidup bertetangga, kebiasaan tersebut dianggap lumrah. Bahkan seringkali, bila ada kerja bakti di kampung, secara bersama-sama, semua yang ikut serta sepakat untuk membakar sampah hasil kerja bakti. Ah, seolah-olah jadi budaya.

Maka, ketika kita sudah diperkenalkan dengan kebiasaan membakar sampah, seringkali kebiasaan itu akan terbawa secara tidak sadar. Misalnya, ketika kita beres-beres rumah dan memproduksi sampah berupa plastik, kertas, buku, koran, dan sebagainya, kita cenderung akan membakar sampah. Dan tetangga pun kita harapkan maklum dengan aksi bakar-membakar sampah tersebut.

Dari saat ini, semoga tulisan ini bisa mengingatkan bahwa membakar sampah jangan dijadikan budaya. Mengapa? Karena ternyata membakar sampah bisa memberikan dampak yang buruk bagi pernafasan. Ini harus menjadi concern kita dalam kehidupan bertetangga.

Seorang sahabat yang memiliki tiga anak, anak paling bungsu memiliki sedikit kelainan dalam pernafasan. Sebelumnya, mereka tinggal di kompleks yang padat penduduk, sehingga jarang terpapar asap pembakaran sampah. Ketika pandemi, mereka memilih pulang kampung.

Sejak pulang kampung, si bungsu mereka sudah acapkali tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Alasan utamanya adalah terganggunya pernafasan yang disebabkan oleh asap pembakaran sampah. Biasanya, bila tetangga mereka sudah mulai membakar sampah, si bungsu akan langsung dievakuasi. 

Namun, seringkali tetap terpapar. Dan setiap kali terkena, bisa 2-3 hari dirawat di rumah sakit dan selanjutnya harus istirahat di rumah untuk masa pemulihan.Dan lebih parah lagi, si bungsu mereka harus dirujuk ke luar negeri untuk pemeriksaan lebih lanjut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun