Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

COVID-19 DAN SUPERPOWER BARU- KEBANGKITAN CINA? (2)

8 Desember 2021   08:22 Diperbarui: 8 Desember 2021   19:34 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pax Sinica?

Apakah covid akan mempercepat kemunduran posisi global AS? Apakah Pak Americana akan diganti oleh Pax Sinica?. Istilah kedua merujuk pada dunia yang damai dan stabil karena Cima bersedia menjadi hegemon yang memikul beban sebagai penjaga perdamaian.   Beberapa analis memperkirakan bahwa Cina akan segera tampil sebagai kekuatan global yang menggantikan posisi AS. Proyeksi ini didasarkan pada tiga hal. Pertama, perkembangan ekonomi yang luar biasa pesat. Laporan IMF 2019 menempatkan Cina sebagai ekonomi nomor 2 setelah AS. Nilai nominal GDP Cina sebesar US$14.14 Triliun, sedangkan AS $21,44 Triliun (https://worldpopulationreview.com). Antara tahun 1989-2019, ekonomi Cina tumbuh sebesar 9.52 %. Efek pandemic terhadap ekonomi Cina diperkirakan tidak seburuk negara lain. Keberhasilan mengendalikan pandemi membuat ekonomi Cina tetap berekspansi. Perbaikan kualitas produk, biaya produksi rendah, harga bersaing membuat Made in China  makin mengglobal.

Kedua, politik luar negeri yang  agresif. Sebelum 2010, Cina menggunakan strategic hedging (Tessman, 2011). Politik luar negeri yang ditandai dengan (1) upaya membangun hubungan dengan banyak pihak, seraya (2) menghindari konflik terbuka dengan kekuatan utama dalam hal ini AS; (3) diam-diam membangun kekuatan militer untuk mengantisipasi konflik internasional. Dalam pola ini, politik luar negeri Cina cenderung low profile.

Sesudah tahun 2010, Presiden Jinping mengubah strategi politik luar negeri menjadi lebih asertif. Yang dimusuhi AS, menjadi kawan Cina. Negara ini mendekati negara-negara Timur Tengah kaya minyak, Iran, Afrika dan Amerika Latin. Melalui bantuan pembangunan Cina menanamkan pengaruh kuat di Afrika. Perusahaan-perusahaan Cina, yang didukung negara, menjadi garda depan ekpansi Cina ke bergai kawasan. Sikap Cina yang mengabaikan pelanggaran HAM, sifat rezim otoriter dan tidak begitu peduli dengan isu lingkungan, membuat bisnis Cina lebih diterima di Afrika dibandingkan perusahaan-perusahaan Eropa dan AS.

Ketiga, politik asertif didukung oleh kebangkitan kekuatan militer. Modernisasi People Liberation Army  terus dilakukan. Angkatan Laut diproyeksikan sebagai Blue Water Navy dengan kemampuan operasi menjangkau samudera Hindia. Untuk mendukung kebijakan ini, Cina terus membangun kapal perang baru dan kapal Induk. Liaoning dan Shandong adalah dua kapal induk yang sudah beroperasi. Yang ketiga dalam proses kontruksi.

Bersamaan itu sebuah extended security sphere (lingkungan keamanan diperluas) dikembangkan, dengan membeli, atau menyewa jaringan pelabuhan. Dimulai  dari Afrika, Timur Tengah, Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Thailand dan menghubungkannya dengan Cina bagian Selatan. Strategi ini disebut string of pearls (untaian mutiara) di mana Cina dapat menggunakan pelabuhan-pelabuhan itu demi kepentingan impor energi dan operasi militer.

Di udara, pesawat tempur multi peran J-16 terus ditingkatkan kemampuannya. Sedangkan J-20 didesain sebagai penempur siluman, meski dianggap belum mampu mengimbangi F-35 dan F-22 Raptor AS. Modernisasi militer ditopang besarnya anggaran pertahanan. Tahun 2020, belanja pertahanan Cina mencapai  $ 252 Miliar. Nomor dua di bawah AS yang membelanjakan $ 778 Miliar di tahun yang sama.

Terlalu Dini

            COvid-19 menimbulkan krisis kesehatan dan ekonomi di banyak negara, termasuk AS. Meskipun demikian, masih terlalu dini menyimpulkan dampaknya bagi tata dunia. Sebabnya adalah sifat krisis yang ditimbulkan tidak sedalam seperti dampak PD II. Negara-negara besar Eropa mengalami kehancuran ekonomi dan militer akibat PD II. Pemerintah sipil tidak berjalan efektif kecuali di Inggris, seluruh ekonomi disusun sebagai ekonomi perang, sejumlah besar angkatan kerja cerdas menjadi korban perang.  Di Jerman basis industri berat terutama besi dan baja hancur akibat pemboman. Dalam situasi ini, daratan AS yang relative terinsolasi dari perang mampu berpoduksi optimum mengisi kekosongan pasca perang.

Situasi saat ini jauh berbeda. Ekonomi AS masih berjalan, kekuatan militer masih berfunsgi efektif, mampu dikerahkan ke belahan dunia mana pun saat terjadi krisis. Inisiatif aliansi baru seperti Aukus (Australia, United Kingdom dan USA) menggeser sebagian beban menjaga stabilitas dunia dari AS ke aliansi. Pada bersamaan, kerjasama militer dapat mengimbangi kekuatan militer Cina.

Cina belum siap menjadi hegemon. Sebuah negara hegemon harus mengambil peran sebagai pemikul beban bagi perkembangan ekonomi dunia. Selama periode 1950-1980-an, AS mengambil peran ini dengan menjadi benevolent hegemon (negara hegemonic yang baik hati). Negara ini menyediakan mata uang sebagai alat pembayaran internasional yang stabil. Untuk itu, AS menjadi mata uang dollar dengan emas. Stabilitas nilai tukar memungkinkan perdagangan internasional bertumbuh pesat.

Pasar AS juga dibuka luas untuk produk-produk dari negara-negara bekas koloni dan negara-negara yang hancur karena perang. Jepang, Eropa Barat, Korea Selatan diberi kemudahan untuk memasukkan produk mereka ke AS. Keterbukaan pasar diberi tanpa tuntutan tindakan resiprokal. Baru pada pertengan tahun 1980-an, ketika deficit neraca perdagangan terjadi, AS mulai menuntut liberalisasi pasar negara lain bagi produk mereka. Bersamaan dengan itu, miliaran dolar bantuan pembangunan digelontorkan untuk mendukung proses modernisasi di dunia ketiga.

            AS menyediakan payung keamanan militer yang memungkinkan dunia stabil dan negara-negara lain dapat focus pada pembangunan ekonomi. Payung militer ini sebenarnya juga dinikmati Cina. Kawasan Asia yang stabil dengan ekonomi bertumbuh memberikan Cina kesempatan untuk melakukan reformasi ekonomi yang dimulai tahun 1983. Saat AS sibuk berperang (menjaga stabilitas dunia), Cina sibuk berdagang.

            Terakhir, kekuatan hegemonic dalam bidang ekonomi dan militer telah digunakan AS untuk mendorong universilisasi standar normative seperti Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Meskipun sering dikritik sebagai bentuk Amerikanisasi, HAM sebagai sebuah norma global berutang pada peran AS. Demikian juga perluasasan demokrasi seperti yang kita nikmati saat ini.

            Dalam aspek-aspek ini peran yang dimainkan oleh Cina masih perlu diuji. Cina mungkin dapat menjadi hegemon ekonomi, tetapi sangat predatori. Tipe ini menggunakan kekuatan modal, investasi, akses pasar dan bantuan pembangunan untuk mengendalikan aturan main pasar internasional demi  kemakmuran lebih besar bagi dirinya sendiri. Jebakan utang dan penguasaan Cina pada sumber daya Afrika dapat menjadi indikasi ke arah itu.

            Yuan dapat menjadi ‘hard currency’ dan digunakan sebagai alat pembayaran internasional menggantikan dolar. Ada syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai status ini. Semua mata uang keras berasal dari negara dengan volume perdagangan internasional yang besar. Karena negara itu berdagang dengan banyak negara, maka mata uangya dapat menjadi alat pembayaran. Rata-rata negara-negara ini memiliki system poltik demokratis dan stabil.

            Nilia mata uang sangat sensitive pada perubahan politik. Sistem politik Cina yang tertutup. Stabilitas dijaga dengan sentralisasi kekuasaan dan represi politik. Strategi ini sejauh ini masih efektif. Dalam jangka panjang menyimpan ledakan partisipasi ketika jumlah kelas menengah dan orang kaya makin besar akibat keberhasilan pembangunan ekonomi. Setiap goncangan akan menganggu stabilitas Yuan sebagai alat pembayaran internasional.

            Norma seperti HAM, demokrasi, kelestarian lingkungan telah menjadi dasar interaksi negara dan masyarakat internasional.   Norma-norma ini harus menjadi bagian politik domestic Cina jika ia ingin menjadi sebuah hegemon. Karena tugas tambahan sebuah negara hegemon adalah mendorong negara mengadopsi norma-norma ini sebagai dasar kebijakan domestic dan internasional. Cina memiliki PR besar dalam isu ini.

Terakhir, kekuatan militer. Dalam soal ini, negara-negara tetangga dekat sedang cemas mengamati perkembangan militer cina. Apakah kekuatan militer akan digunakan untuk menstabilkan kawasan atau mendestabilisasi kawasan. Klaim sepihak  atas kepulauan Spratly membuat negara-negara tidak percaya pada propaganda ‘peaceful rise’ yang didengungkan Cina.

Modernisasi militer lebih dilihat sebagai persiapan Cina untuk mewujudkan ambisi imperiumnya. Upaya penguasaan atas Laut Cina Selatan hanya merupakan strategi yang disebut Deng sebagai ‘crossing the stream while feeling ths stones’. Seberangi pelan-pelan arus sungai, sambal merasakan pijakan pada batu-batu. Jika pijakan kuat, teruslah menyeberang. Jika goyah mundur dulu, cari pijakan lain. Moderniasasi militer adalah bagian dari membangun batu pijakan itu. Kita tunggu.

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun