Pasar AS juga dibuka luas untuk produk-produk dari negara-negara bekas koloni dan negara-negara yang hancur karena perang. Jepang, Eropa Barat, Korea Selatan diberi kemudahan untuk memasukkan produk mereka ke AS. Keterbukaan pasar diberi tanpa tuntutan tindakan resiprokal. Baru pada pertengan tahun 1980-an, ketika deficit neraca perdagangan terjadi, AS mulai menuntut liberalisasi pasar negara lain bagi produk mereka. Bersamaan dengan itu, miliaran dolar bantuan pembangunan digelontorkan untuk mendukung proses modernisasi di dunia ketiga.
      AS menyediakan payung keamanan militer yang memungkinkan dunia stabil dan negara-negara lain dapat focus pada pembangunan ekonomi. Payung militer ini sebenarnya juga dinikmati Cina. Kawasan Asia yang stabil dengan ekonomi bertumbuh memberikan Cina kesempatan untuk melakukan reformasi ekonomi yang dimulai tahun 1983. Saat AS sibuk berperang (menjaga stabilitas dunia), Cina sibuk berdagang.
      Terakhir, kekuatan hegemonic dalam bidang ekonomi dan militer telah digunakan AS untuk mendorong universilisasi standar normative seperti Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Meskipun sering dikritik sebagai bentuk Amerikanisasi, HAM sebagai sebuah norma global berutang pada peran AS. Demikian juga perluasasan demokrasi seperti yang kita nikmati saat ini.
      Dalam aspek-aspek ini peran yang dimainkan oleh Cina masih perlu diuji. Cina mungkin dapat menjadi hegemon ekonomi, tetapi sangat predatori. Tipe ini menggunakan kekuatan modal, investasi, akses pasar dan bantuan pembangunan untuk mengendalikan aturan main pasar internasional demi  kemakmuran lebih besar bagi dirinya sendiri. Jebakan utang dan penguasaan Cina pada sumber daya Afrika dapat menjadi indikasi ke arah itu.
      Yuan dapat menjadi ‘hard currency’ dan digunakan sebagai alat pembayaran internasional menggantikan dolar. Ada syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai status ini. Semua mata uang keras berasal dari negara dengan volume perdagangan internasional yang besar. Karena negara itu berdagang dengan banyak negara, maka mata uangya dapat menjadi alat pembayaran. Rata-rata negara-negara ini memiliki system poltik demokratis dan stabil.
      Nilia mata uang sangat sensitive pada perubahan politik. Sistem politik Cina yang tertutup. Stabilitas dijaga dengan sentralisasi kekuasaan dan represi politik. Strategi ini sejauh ini masih efektif. Dalam jangka panjang menyimpan ledakan partisipasi ketika jumlah kelas menengah dan orang kaya makin besar akibat keberhasilan pembangunan ekonomi. Setiap goncangan akan menganggu stabilitas Yuan sebagai alat pembayaran internasional.
      Norma seperti HAM, demokrasi, kelestarian lingkungan telah menjadi dasar interaksi negara dan masyarakat internasional.  Norma-norma ini harus menjadi bagian politik domestic Cina jika ia ingin menjadi sebuah hegemon. Karena tugas tambahan sebuah negara hegemon adalah mendorong negara mengadopsi norma-norma ini sebagai dasar kebijakan domestic dan internasional. Cina memiliki PR besar dalam isu ini.
Terakhir, kekuatan militer. Dalam soal ini, negara-negara tetangga dekat sedang cemas mengamati perkembangan militer cina. Apakah kekuatan militer akan digunakan untuk menstabilkan kawasan atau mendestabilisasi kawasan. Klaim sepihak  atas kepulauan Spratly membuat negara-negara tidak percaya pada propaganda ‘peaceful rise’ yang didengungkan Cina.
Modernisasi militer lebih dilihat sebagai persiapan Cina untuk mewujudkan ambisi imperiumnya. Upaya penguasaan atas Laut Cina Selatan hanya merupakan strategi yang disebut Deng sebagai ‘crossing the stream while feeling ths stones’. Seberangi pelan-pelan arus sungai, sambal merasakan pijakan pada batu-batu. Jika pijakan kuat, teruslah menyeberang. Jika goyah mundur dulu, cari pijakan lain. Moderniasasi militer adalah bagian dari membangun batu pijakan itu. Kita tunggu.
     Â