Mohon tunggu...
Nikmat Jujur
Nikmat Jujur Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Hanya Selingan

Anak jalanan tak pernah ngecap Pendidikan.... masih belajar nulis.... sekalipun banyak Cercaan mungkinnya ... tapi aku pingin nulis selalu.... tanpa ragu.... Putera Timur Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

5 Hal Prinsip Penyebab Timbulnya Budaya KKN

21 Februari 2012   18:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:21 9935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5 Hal Prinsip Penyebab Timbulnya Budaya KKN

Saat ini sebagian pihak atau kelompok orang masih melihat korupsi dalam konteks dan konsep yang sederhana mungkinnya, tapi setidaknya kondisi yang berkembang saat ini, sudah mengejalakan bangsa dan negara dalam keadaan koma, perlu perawatan intensif, melalui pembenahan ke dalam dan ke luar, ke atas dan ke bawah. Sehingga mampu bangkit kembali dari keterpurukan, akibat maraknya KKN, dan bukan semata-mata akibat pandangan kita diarahkan pada, kubu Partai Demokrat yang lagi santer dan super hangat dipublikasikan, lantas kita berasumsi bahwa diakibatkan oleh partai politik. Jujur saja kita katakan ini merupakan, kesalahan yang sistemik. Dan yang lebih tidak dimengerti lagi semua komponen bangsa ini, pada mempersalahkan partai politik, mungkin saja karena ini yang terhitung besar dan ada dalam lingkup yang tidak seharusnya hal ini terjadi makanya menajdi emakin hangat, demikian patutlah dimaklumi. Namun sangat disayangkan jika saja koreksi dini untuk diri pribadi masing-masing saja belum, mari bersama berkata jujur untuk negera dan bangsa ini buat semua, kebobrokan bersama kita dalam menyikapi persoalan ini.

Saat ini memang membrantas KKN janganlah dengan sistem kita membunuh ular, lewat kepalanya atau pegang kepala yang lain ikut, bukan demikian lagi karena ini sudah kronis dan mengakar sampai ke bawah yang kelihatan memang yang besar, dan yang kecil masih tersembunyi dan tidak nampak gimana? Lantas mereka itu dibiarkan dan matikan dulu yang besar-besar atau perhatikan yang besar dulu? Tidaklah demikian sebab ini sudah membudaya, untuk membrantas budaya butuh perhitungan akurat dan valid sifatnya. Jika tidak maka akan mubasir atau sia-sia. Menghambur biaya untuk sebuah tinadak preventif yang tidak punya hasil memuaskan dan benar-benar tidak tercapai maksud dan tujuan yang ingin dicapai, janganlah!

Salanjutnya guna menjawab kompleksitaspermasalahan KKN di negara saat ini ada beberapa hal penting, yang jadi catatan pengamatan saya selama ini yang setidaknya dapat dipertimbangkan , yang jelas-jelas terjadi selama ini dan bukan mengada-ngada sifatnya dimana saja terutama di kalangan birokrat yang sarat dengan praktek KKNnya. Jika kita mau jujur dan transparan membeberkannya kepada Publik.

Adapun hal-hal tersebut antara lain :

1)Lemah peraturan pengatur mekanisme di tingkat lebih tinggi sebelum dilanjutkan ke yang ditingkat bawah:Menurut hemat saya kalau saja peraturan di tingkat atas agak mengikat dan betul-betul tak ada celah yang memungkinkan terjadinya penyimpangan,jelaslahdi bawahnya mau tidak mau harus ngikut, ketegasannya pun diselaraskan dengan sejauhmana kemungkinan penyimpangan atau dengan kata lain persentasi peluang terjadinya penyimpangan.

Patut dicatat peluang sekecil apapun berpeluang menanjak karena jika saja berlarut maka jadi suatu kebiasaan untuk senantiasa akan meningkat kadar keberanian melakukan penyimpangan. Sehingga yang di bawah merasa tergenjok dan dipacu untuk ekstra ketat dalam pemberlakuannya. Dibarengi sanksi yang benar-benar membuat ada rasa cemas dan hati-hati dalam melakukan penyimpangan yang lantas akan berubah menjadi tingginya tingkat kehati-hatian untuk melaksanakan sesuai peraturan yang lebih tinggi.

selanjutnya jika saja ingin menjadikan peraturan atau perundang-undangan tersebut sebagai sebuah bingkai secara global dalam negara ini, sesuai koridor  tersepakati bersama, maka sebelum peraturan di tingkat lebih tinggi tersebut akan diberlakukan perlu adanya koordinasi intensif antara pihak atas ke bawah guna memaksimalkan serta mematangkannya terlebih dahulu (merasionalisasikan), sehingga benar-benar merata dan jangan ada semacam mekanisme kontekstual dan pengecualian, karena konsep peraturan yang bernuansa kontekstual dan pengecualian ini yang betul-betul menjadi celah terbesar dalam mengahadirkan bentuk peluang baru terjadinya penyimpangan, dengan modus operandi baru pula.

2)Sistem birokrasi yang teramat berbelit-belit : hal ini sebenarnya cukup mengundang munculnya banyak penyimpangan yang tidak kita harapkan, semakin panjang semakin besar kecolongan dan kebablasannya. Saya mengedepankan hal ini atas dasar bahwa ketika birokrasi yang berbelit-belit ada kecenderungan, hal ini pula dijadikan dasar bagi para perangkat dibirokrat, untuk selalu menjadi dalih untuk berspekulasi menciptakan kondisi menyamankan penyimpangan, seperti “sudahlah gampang nanti mudah diatur segalanya, nda ada yang sulit kok, segalanya bisa diatur” sekalipun sulit prosedur yang harus dilewati tidakla demikian, akhir yang bersangkutan mulailah dengan aksi cari dana dalam bentuk isi tangannya. Lantas saja jika keseringan diisi tangannya, yang namanya manusia sering tidak puas, pingin yang lebih besar dan banyak, masuklah yang bersangkutan pada konteks yang lebih besar dan banyak isi tangan, sampai-sampai lupa akan apa yang sekiranya jadi hak dan kewajiba. Mulailah berlaku serakah, dan tidak sadar apa yang jadi tanggungjawab senjutnya kepada sesama dan kepada Sang Ilahi mungkinnya, sehingga setidaknya sistem dalam perbirokrasian di tanah air ini, disiasatilah seefektif dan seefisien mungkin sehingga tidak lagi muncul dampak langsung maupun tidak langsung yang dapat berakibat fatal terkait semakin membeludaknya KKN dalam berbagaimodus operandi.

3)Kekekurangkompetensian aparat dalam job terutama pada posisi strategis rawan terjadi penyimpangan. Kurang berpotensinya seseorang menduduki suatu jabatan, jelaslah ada banyak kelemahan didirinya dalam mengerjakan, menata, mengatur, mensiasati akan ketercapaian tujuan yang jadi sasaran pelaksanaan tugasnya. Saran saya tempatkanlah aparat yang punya kompetensi atas dasar kemampuan dan kelayakan dari berbagai aspek jangan karena kemampuan semata. Jangan atas dasar kualifikasi semata, sisi lainnya lantas tidak diperhatikan, seperti lemahnya kemampuan manajerialnya janganlah dipakai, kemampuan secara mentalitas juga pula jangan dipakai.

Saat ini pula jika dirasa perlu adanya reinventarisasi kompleksitas permasalahan terkait berbelitnya urusan birokrat baik di tingkat atas maupun di tingkat bawah lakukan sedapat mungkin, selanjutnya apa masih punya kemungkinan melirik dan mengadopsi sistem dan mekanisme yang lama yang dianggap relevan dengan konteks saat ini, semua ini terserah apa sih yang jadi kearifan pemerintahan saat ini. seperti perlu melalui proses screening atau litsus, Anjab, dll yang diversi barukan mungkinnya, sebelum seseorang menduduki satu jabatan boleh juga! tapi tanya lagi siapa dulu yang melakukan screening itu? pribadi yang independent atau terkontaminasi? ini juga perlu diwaspadai lihat lagi blue printnya. Sehingga kelayakan dalam jabatan bisa diperoleh.

Lantas jadi permasalahan baru lagi terkadang seperti masalah pangkat golongan, usia kerja, bisa jadi kendala utama, tapi dalam catatan saya selama ini pangkat golongan seseorang bisa saja naik begitu cepat, tanpa melalui proses kurang terpuji atau bisa diakal-akalin sedemikian rupa sehingga pangkat naik. Setelah pangkat terkadang terkejar cepat pangkat golongannya, maka terjadi penumpukan yang berpangkat atau golongan besar dan kalaulah berdaya guna dan berhasil guna manusianya ok-lah jika tidak ini permasalahan baru lagi.

Pada kenyataanya terkait dengan hal di atas tersebut, biasanya mereka-mereka ini juga sumber bencana, jika pangkat golongan sudah bagus lantas berpikir pangkat golongan identik dengan jabatan, maka mulailah cari peluang. Saya senang ngungkapinnya seperti demikian maaf saja bahwa. Spekulan-spekulan mulailah berhamburan di pasar jabatan, padahal tidak berpotensi tanpa punya bukti kinerja positif. Ini yang sering dijumpai, sekalipun saya muda tapi jujur, saya benci bangat ngelihatin pribadi andalkan kemampuan tanpa mental baik sekalipun Tua orangnya, atau juga ada pribadi yang kerja dengan imingannya macam-macam. Ini sungguh sikap-sikap pribadi jelek tidak terpuji, ini mungkin trend masa kini, memang sih semua manusia punya mimpi tapi jangan terlanjur membahayakan karena nafsu kuda tenaga semut mungkinnya, hal ini mungkinnya yang sementara membahana di seluruh Persada Nusantara, yang setidaknya patut diberantas dari pusat hingga ke daerah-daerah.

Lantas karena kenyataan yang di atas yang terjadi mungkinnya selama ini, maka muncullah kepada seluruh mental mereka yang bersangkutan jadi down, dan jika tak mampu bersaing secara jujur maka langkah lainlah yang ditempuh, alias segala cara dihalalkan. Apakah ini mental yang baik dan terpuji, padahal setidaknya untuk kemajuan bangsa ini, dalam bekerja hendaknya kita jujur dan setia pada tugas terus penuh tanggung jawab dan lain sebagainya yang adalah ciri dari pribadi yang berkompeten kapan dan dimana saja.

4)Lemahnya komitmen bangsa ini terhadap eksistensi sebuah produk Hukum dan perundang-undangan sehingga hukum tidak mampu memberikan berkontribusi positif dalam penerapannya:memang negara kita tak terpungkiri merupakan negara hukum akan tapi dalam pengamatan saya, dengan beberapa kali amandemen terhadap UUD 1945, ini sudah jelas menunjukkan, rendahnya komitmen negara kita pada keberadaan sebuah UU atau peraturan.

Hal ini lantas diikuti pula peraturan-peraturan yang sebenarnya jika dicermati baik, maka ada juga peraturan dan perundangan-undangan yang masih sebenarnya cukup relevan pemberlakuannya lantas sesuka hati diarifinya, langsung direvisi dan revisi itupun kadang lebih tidak tepat sasaran karena tidak sesuai konteks dan konsep yang diharapkan, sehingga yang muncul di sana-sini banyak terjadi ketimpangan secara global kedaerahan, lantas yang dipercayakan ngatur jadi repot dan kelabakan sendiri, belum lagi jika saja kurang arif bijaksana menyikapinya, maka semua menjadi semakin amburadul entah kemana.

Ujung-ujung dari semuanya yang diperlihatkan kenyataan seperti “mau kamu apa sih beres yach? bisa kita bereskan” yang bersangkutan berdiri ke depan dengan tangan terbuka di belakang tuk menadah kalau ditaruh batu yach ambil, uang ya ambil semua ambil, apa tidak repot dengan yang hal sedemikian.

5)Bentuk kesalahan sistemik yang berubah menjadi lingkaran setan penyebab presentasi penyimpangan meningkat. Saya punya dasar yang nyata bisa kita lihat berdasarkan pengalaman kapan dan dimana saja, sehingga saya berkesimpulan demikian mengapa tidak jika saja biaya pendidikan yang tinggi, cukup memberi peluang kepada yang bersangkutan untuk berpikiran saya sekolah bayarnya mahal, dan memang repot dan macam-macamlah penilaian terhadap masa pendidikannya. Bukan tidak mungkin akan terbawa konsep ini benak pikirnya sehingga jika saja berlanjut sampai konteks pekerjaan kemuadian hari akan jadi sesuatu yang negative sifatnya, boleh kata kemampuan ada tapi motivasi jadi jelek, diartikan sendirinlah.

Pemikiran yang menggerogotinya selalu mungkin seperti ini, saya ini untuk memperolehnya saja repot bangat, berarti jangan saya sia-siakan kesempatan ketika saya mempunyai/mendapat bekerja nanti. Lantas kalau saja kalimat “jangan saya sia-siakan kesempatan ketika saya mempunyai/mendapat bekerja nanti” diarahkannya untuk sesuatu yang lebih positif ya lumayan, tapi jika tidak gimana? kerepotan sudah membendung pribadi yang motivasi kerja jempol ke bawah ini, jempol ke bawah saya berikan karena, dalam kerja jempol ke atas tapi ketika mencermati mental dan motivasi kerjanya akan sangat mungkin jempol ke bawahlah yang kita berikan. Untuk demikian sudah dianggap penting untuk menjadi perhatian pemerintah secara khusus, agar supaya bagaimana pendidikan di tanah air ini, disiasati untuk dapat kembali kepada sistem pendidikan yang bernuansa ideal setidaknya untuk dunia kerja.  Jangan sampai terjadi lantaran pendidikan yang pernah membuatnya sempoyongan, kemudian bersangkutan harus berusaha memaksimalkan motivasi kerja untuk maksud yang jelek, sungguh fatal dan memprihatinkan bangat.

Satu contoh konkrit ketika salah satu orang tua mungkin menyekolahkan anaknya ada pesan yang terbawa oleh anaknya yang sempat terlontar dari bibir mulutnya sebagai akibat biaya sekolah atau kuliah yang tinggi, begini kalimatnya “nak biaya pendidikan sekarang ini seakan bapak tak punya kesanggupan, mana ada lagi adik kamu, yang masih kecil. Jadi sekolahnya baik yach nak, selesaikan sekolahmu carikan pekerjaan yang pantas dan hiduplah yang baik, ingat untuk sekolah saja bapak biayai mahal kan nak, lantas jangan kamu sia-siakan” apa yang tersimak dalam kalimat tersebut tolonglah kita dicerna dan cermati sebaik mungkin, yang pasti bunyi pada terakhir kalimatan nasihat seorang Bapak di atas, sangat-sangat membahayakan, si anak ke depan.

Kata jangan sia-siakan ini seperti apa sih lugasnya? Sia-siakan untuk sekolah, atau gimana ataukah dalam dunia kerja nantinya? ini masih tanda tanya yang perlu kita maknai dan sikapi dengan arif walau sederhana sekali. Mohon bersama kita maknai benar kalimat yang coba saya cuplik dari sebagian besar mulut orang tua pada anak yang kurang jelas anak juga akan mentransfernya kepada keadaan yang semakin tidak jelas. Yang bagus mungkin kalimat orang tua tepat, terkait jangan sia-siakan disambung terus begini “jangan sia-siakan dan jika suatu saat kamu sudah mendapat pekerjaan. Bekerjalah yang baik, jujur, dan pikirkan selalu hubungan kamu dengan sesama dan Sang Ilahi karena itulah kunci kesuksesan dalam berkarier dimana saja” ini mungkin yang paling efektif untuk menjadi nasehat Bapak peduli nasib bangsa saat ini, dimana saja dari pusat hingga ke daerah-daerah.

Demikian mungkinnya yang jadi catatan pengamatan pribadi saya selama ini, jika kurang silahkan dilengkapi dan jika tidak tepat silahkan dikoreksi guna menambah khasanah berpikir dan pengalaman saya secara pribadi.

“Indonesia Bisa….Bisa Brantas KKN”

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun