Mohon tunggu...
Niken Satyawati
Niken Satyawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ibu biasa

Ibu 4 anak, tinggal di Solo. Memimpikan SEMUA anak Indonesia mendapat pendidikan layak: bisa sekolah dan kuliah dengan murah. Berharap semua warga Indonesia mendapat penghidupan layak: jaminan sosial dan kesehatan. TANPA KECUALI. Karena begitulah amanat Undang Undang Dasar 1945.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ironi tentang Anak yang Terkulai di Setang Sepeda

17 Mei 2013   09:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:26 3647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13687573971578893288

[caption id="attachment_261777" align="aligncenter" width="523" caption="Pak Sapto dan Darmawan (3 th) yang terkulai di setang sepeda, ditutupi kresek hitam agar tak kehujanan. (foto by Warta Kota/Adhy Kelana)"][/caption] Saya tersentak ketika membuka  tautan berisi foto dan berita dari situs "Warta Kota" yang diunggah  seorang teman di timeline Facebook-nya, Kamis (16/5/2013) sore. Nurani saya memanggil-manggil begitu melihat isi tautan itu. Air mata pun meleleh tak tertahankan, melihat gambar seorang bapak tengah mengayuh sepeda ontelnya, sementara di dekat  setang sepeda,  ada sepasang kaki mungil yang terkulai. Badan dan wajahnya tak kelihatan karena tertutup plastik kresek hitam. Kebetulan caption untuk foto itu tidak detail, hanya berisi informasi bahwa anak itu sakit, tapi bapaknya tak punya uang.  Saya langsung terbayang anak-anak saya sendiri. Ketika  sakit, mereka sangat rewel, tidak mau ditinggal. Butuh kehangatan dan  perhatian lebih. Biasanya saya akan terus berada di sisi mereka, menawarkan mereka mau makan apa? Lha ini diletakkan begitu saja di setang sepeda. Welll... pada saat yang sama, di Kaskus berkembang thread tentang foto ini. Belakangan kabarnya, orang Kemensos sudah datang untuk "mengatasi masalah".  Saya pun lega. Pagi ini, foto yang sama muncul di Kompas.com. Keterangannya lebih detail. Diceritakan bahwa memang anak itu, Darmawan Santosa (3 tahun) memang sakit, tapi tidak parah. Anak itu sehari-hari ikut ayahnya, Sapto, yang bekerja menjual burung dan ikan hias keliling di sekitar tempat tinggalnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Bahkan dalam keadaan sakit sekalipun, Darmawan selalu dibawa serta oleh Pak Sapto. Ini harus dilakukan karena sehari tidak berjualan, maka tak akan mendapat penghasilan. Berarti tak bisa makan dan memenuhi kebutuhan lain. Sedangkan  istrinya, Yunita, juga bekerja menjadi penjual susu fermentasi keliling, yang lebih tak memungkinkan untuk membawa serta anaknya. Darmawan adalah anak terkecil dari 5 bersaudara. Anak terbesar Pak Sapto baru habis mengikuti Ujian Nasional jenjang SMK. Belakangan yang lebih membuat saya terkejut adalah pak Sapto ini asalnya dari Solo, kota di mana saya tinggal. Lebih terkejut lagi, dia adalah seorang sarjana. Dia lulus program S1 dari Jurusan Fakultas Pertanian Universitas Slamet Riyadi Solo. Di kampus ini suami saya mengajar sebagai dosen tamu untuk Jurusan Ilmu Komunikasi dan Hubungan Internasional. Sungguh kebetulan yang tidak menyenangkan. Lebih dari itu, ini adalah  ironi yang patut menjadi bahan kontemplasi kita bersama. Bayangkan, seorang sarjana pertanian, tak bisa hidup dengan memanfaatkan keahliannya di negara yang bertitel AGRARIS ini. Malah berjualan burung dan ikan hias kelilingan? Apa boleh dikata,  fenomena pengangguran terselubung seperti ini memang jamak ditemui di masyarakat kita. Makin menguatkan bukti bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Atau mungkin Pak Sapto adalah seorang yang kurang beruntung, atau barangkali malah dia sangat  idealis?Makanya dia tersingkir dari bursa lapangan kerja.  Atau tak punya modal untuk bisnis yang lebih layak? Sehingga alih-alih mendapat kerjaan yang layak, dia pilih berbisnis kecil-kecilan seperti itu, walau sebagai konsekuensinya dia harus hidup sangat pas-pasan. Sementara ketika di luar didengung-dengungkan bahwa ekonomi kita tumbuh sangat bagus, di atas 6%, itu hanya angka. Kenyataannya, kehidupan masyarakat kita makin sulit saja.  Karena tak ada anggaran untuk ke dokter, Pak Sapto dan keluarganya  pun lebih akrab bahkan sudah terbiasa dengan obat-obatan tradisional. Seperti ketika Darmawan sakit, dia hanya diberi sirih yang direbus dengan air hangat, lantas diminumkan. Ah, bagaimanapun, di mata saya Pak Sapto adalah orang yang hebat. Dia suami yang bertanggungjawab. Dia   berbagi tugas  dengan istrinya,  memilih membawa si kecil Darmawan kemana-mana. Dia  juga ayah yang sangat mulia, lembut dan penuh kasih sayang. Walau yang dilakukan hanya sebatas kemampuannya. Ketika tak ada mobil untuk melindungi si kecil dari hujan, dia menggantinya dengan  tas kresek yang lebar agar Darmawan tak kehujanan. Sungguh hidup yang terlalu keras untuk orang yang pernah lulus dari bangku perguruan tinggi. Semoga Tuhan melindungi setiap langkahmu, Pak Sapto...

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun