Filsafat Hidup dari Pulau Dewata
Tri Hita Karana adalah salah satu konsep kearifan lokal yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat Bali. Secara etimologis, "Tri" berarti tiga, "Hita" berarti kebahagiaan atau kesejahteraan, dan "Karana" berarti penyebab. Jadi, Tri Hita Karana berarti "tiga penyebab kebahagiaan" tiga sumber harmoni hidup yang saling terkait: hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama (Pawongan), dan dengan alam (Palemahan).
Ini adalah filsafat hidup praktis yang menuntun perilaku manusia sehari hari. Dalam Parahyangan, masyarakat Bali menjaga hubungan spiritual dengan Tuhan lewat upacara, sembahyang, dan yadnya tanda bakti sekaligus bentuk keseimbangan batin.
Dalam Pawongan, masyarakat menekankan pentingnya hubungan sosial yang harmonis. Sikap gotong royong, rasa hormat, dan solidaritas menjadi nilai yang terus dijaga di tengah arus individualisme modern.
Sementara itu, Palemahan menegaskan bahwa manusia bukan penguasa tunggal alam, melainkan bagian dari ekosistem yang wajib dijaga. Kesadaran ekologis masyarakat Bali tercermin dalam berbagai tindakan pelestarian alam mulai dari pengelolaan sampah berbasis desa adat hingga sistem pertanian yang ramah lingkungan.
Tri Hita Karana sebagai Cermin Kearifan Lokal
Lebih dari sekadar ajaran spiritual, Tri Hita Karana adalah manifestasi kearifan lokal masyarakat Bali. Nilai nilainya lahir dari interaksi panjang antara manusia, budaya, dan lingkungan yang diwariskan turun-temurun.
Kearifan lokal ini bersifat dinamis, mampu menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan esensi. Ia mengajarkan keseimbangan, keselarasan, dan tanggung jawab moral nilai universal yang tetap relevan meski dunia terus berubah.
Penelitian menunjukkan bahwa Tri Hita Karana bukan hanya panduan hidup personal, tetapi juga dasar moral bagi kehidupan sosial dan kebijakan publik. Misalnya, prinsip ini dijadikan landasan pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Bali agar pembangunan ekonomi tidak merusak budaya dan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, nilai-nilai Tri Hita Karana diintegrasikan ke dalam pembelajaran untuk membentuk karakter siswa yang religius, peduli, dan beretika.
Subak: Wujud Nyata Harmoni Tiga Dimensi
Filosofi Tri Hita Karana hidup dalam praktik sehari-hari masyarakat Bali, salah satunya dalam sistem Subak, yakni sistem irigasi tradisional yang tidak hanya mengatur air, tetapi juga menjaga hubungan spiritual, sosial, dan ekologis.
- Parahyangan (teologis): Setiap Subak memiliki Pura Ulun Suwi atau Pura Bedugul sebagai tempat persembahyangan, tempat para petani memohon kesuburan tanah dan kelancaran air.
- Pawongan (sosial): Petani membentuk organisasi yang demokratis dan saling bekerja sama mengatur jadwal tanam, pembagian air, serta menyelesaikan masalah secara musyawarah.
- Palemahan (ekologis): Sistem irigasi dibangun mengikuti bentuk alam, tidak memaksa aliran air, dan lahan dibuat bertingkat (terasering) untuk mencegah erosi. Penanaman serempak juga membantu menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi penggunaan bahan kimia.
Subak menjadi contoh konkret bagaimana Tri Hita Karana bukan sekadar konsep, tetapi gaya hidup berkelanjutan yang memadukan spiritualitas, sosialitas, dan ekologi secara harmonis.
Relevansi Tri Hita Karana di Era Modern
Di tengah tantangan global seperti krisis lingkungan dan degradasi moral, ajaran Tri Hita Karana semakin terasa penting. Dunia yang serba cepat sering membuat manusia lupa akan keseimbangan dan hanya mengejar kemajuan tanpa memikirkan harmoni.