Mohon tunggu...
Travel Story Artikel Utama

Kambira Baby Grave: Seram! Pohon Jadi Makam Bayi

16 Mei 2015   05:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:57 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayi yang belum tumbuh gigi dianggap sebagai manusia yang masih suci bagi masyarakat Toraja. Jika bayi tersebut kemudian meninggalmaka prosesi pemakamannya pun berbeda dengan orang-orang yang sudah tumbuh giginya. Bayi-bayi tersebut ditanamkan didalam sebuah batang pohon tanpa dibungkus kain kafan dan peti dan dalam posisi berdiri!

[caption id="attachment_416344" align="aligncenter" width="300" caption="Di pohon Tarra"][/caption]

Adalah pohon Tarra yang digunakan sebagai media pemakaman bagi bayi yang belum tumbuh gigi. Dalam prosesinya, pohon yang berdiameter besar tersebut akan dilubangi dengan ukuran 50x50 cm. Kemudian bayi tersebut akan ditaruh didalam lubang pohon tersebut dalam posisi berdiri tanpa dibungkus kain kafan ataupun peti. Lalu lubang makam di pohon tersebut akan ditutup dengan anyaman ijuk.

Dalam sejarahnya, masyarakat desa Kambira percaya bahwa getah pohon Tarra’ yang berwarna putih sebagai simbolisasi air susu ibu. Sehingga dipercaya bahwa bayi-bayi tersebut tidak akan kelaparan atau haus manakala dimakamkan di pohon tersebut.

Tau-tau, boneka kayu yang menjadi simbolisasi dari orang yang meninggal lazim ditempatkan di pintu makam. Tapi lagi lagi berbeda dengan makam bayi Kambira. Tidak ada Tau-tau yang ditempatkan di Kambira. Setidaknya sampai seorang ibu yang anaknya dimakamkan di pohon tersebut mendapatkan mimpi bahwa anaknya yang meninggal menangis dalam mimpi tidurnya.

Setelah mendapatkan mimpi tersebut keesokannya ditempatkanlah dua buah Tau-tau kecil di bawah pohon tersebut. Tapi fungsi Tau-tau di Kambira bukan sebagai simbolisasi bayi yang dimakamkan. Melainkan sebagai mainan bagi arwah bayi-bayi tersebut.

Berbeda dengan pemakaman masyarakat Tana Toraja lainnya yang sampai saat ini masih mengikuti tradisi pemakaman di tebing atau goa. Tradisi memakamkan bayi yang belum tumbuh gigi di batang pohon sudah tidak dilakukan lagi. Sudah lebih dari ratusan tahun yang lalu sejak bayi terakhir yang dimakamkan di batang pohon ini. Atau sejak masyarakat Tana Toraja belum mengenal agama apapun dan masih meyakini kepercayaan Aluk Todolo.

Selain bisa melihat pohon makam bersejarah desa Kambira yang tersembunyi di tengah rumpunan bambu, di desa ini kita juga sedikit belajar tentang rumah Tongkonan. Saya beruntung karena bisa masuk ke dalam rumah salah satu warga untuk mengenal tentang interior, arti warna dan ukiran yang menghiasi dinding rumah Tongkonan.

[caption id="attachment_416346" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Tongkonan di desa Kambira yang digunakan untuk menyimpan hasil panen. Tepat diseberangnya terdapat rumah Tongkonan yang dipakai sebagai tempat tinggal."]

1431192186708639892
1431192186708639892
[/caption]

Sedianya rumah Tongkonan terdiri dari 3 lantai. Lantai dasar digunakan sebagai kandang kerbau. Lantai 2 yang terdiri dari 3 ruangan digunakan sebagai hunian. Rumah Tongkonan bagaikan penunjuk arah selalu didirikan dengan menghadap arah Utara-Selatan. Ruangan pertama yang menghadap Utara digunakan sebagai kamar orang tua. Ruang kedua yang terletak di tengah sebagai tempat untuk menerima tamu. Sedangkan ruangan ketiga yang berada di selatan digunakan sebagai kamar anak.

[caption id="attachment_416347" align="aligncenter" width="300" caption="Ruang kamar tidur orang tua di Rumah Tongkonan yang berada di utara"]

14311922681504025706
14311922681504025706
[/caption]

Dalam atap ruangan anak terdapat sebuah lubang menuju ke lantai 3 yang digunakan sebagai akses menuju ruang penyimpanan hasil panen. Untuk menjaga agar hasil panen tidak dimakan oleh tikus maka biasanya masyarakat Tana Toraja menaruh kucing di lantai tersebut.

Kucing tersebut akan hidup selamanya di lantai tersebut. Termasuk makan, buang air hingga buang kotoran. Mungkin itu sebabnya di Tana Toraja hampir tidak ada kucing yang bebas berkeliaran.Karena semua kucingnya dipingit. Karena kucing-kucing tersebut hidup di atap rumah maka tak heran di rumah-rumah Tongkonan yang usianya sudah tua akan tercium bau kotoran kucing.

Ukiran dan warna di dinding rumah Tongkonan kaya akan makna-makna. Satu yang tidak bisa lepas tentunya adalah simbol Tedong atau Kerbau. Kemudian juga ada ayam, matahari, jangkar, dll. Ayam disimbolkan sebagai hewan yang akan mengantar arwah menuju surga. Jangkar dimaknai sebagai pengingat akan sesama.

[caption id="attachment_416348" align="aligncenter" width="300" caption="Beragam ukiran penuh makna di dinding rumah Tongkonan. Salah satunya adalah ukiran kepala Tedong atau Kerbau berada di pintu masuk."]

14311923791442620935
14311923791442620935
[/caption]

Dan seperti yang hampir semua orang ketahui, rumah Tongkonan tidak akan lepas dari tanduk kerbau yang diletakkan di tiang depan rumah. Banyaknya jumlah tanduk kerbau secara tidak langsung dapat menandakan kemampuan finansial si pemilik rumah. Tanduk tersebut adalah sisa dari kerbau yang dipotong saat prosesi pemakaman pemilik rumah Tongkonan tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun