Mohon tunggu...
Nikodemus Niko
Nikodemus Niko Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Saya hanya seorang penulis lepas, hidup di jalanan berbatu dan mati di atas rindu yang berserak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kujual Diri Untuk Kesembuhan Ibuku

15 Mei 2019   00:32 Diperbarui: 15 Mei 2019   01:08 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas tengah malam. Suasana di jalan Sungai Jawi sudah lengang. Jalan ini adalah salah satu jalanan yang cukup sepi di Pontianak jika sudah larut malam. Suara lagu ‘Sakitnya tuh disini’, mengalun merdu di sebuah warung kopi pangku pinggiran jalan. Warung yang hanya diterangi lampu 5 watt, kerlap kerlip hiasan ratusan lampu hias. Terlihat puluhan waria, mengenakan tang top, beserta rok pendek, asyik menggoyangkan tubuhnya, tanpa malu, mereka bebas mengekspresikan diri. 

 “sakit, sakit, sakitnya tuh disini” sesekali mereka mengikuti lirik dalam lagu itu.

Perlahan aku mendekati warung kopi pangku itu, disana aku bertemu dengan empat orang pria bertubuh atletis. Mereka adalah pengguna jasa para waria untuk memuaskan nafsu. Seorang diantara mereka asyik menikmati liukan tubuh para waria yang sedang menari. Sedangkan tiga orang lainnya sedang asyik mengobrol sambil menikmati kopi pancong khas Pontianak.

 “Maaf, mbak. Saya pesan teh susu satu dong.” Aku memesan pada seorang pelayan yang juga adalah seorang waria.

 “Mas ini orang baru ya? Kok panggil eyke mbak, sih!” dia sedikit marah.

 “Oh, maaf. Lalu saya harus panggil apa?”

 “Panggil aja eyke, Suz.”

 “Oh, iya. Sekali lagi saya minta maaf, Suz”

Tidak lama menunggu, teh susu pesananku sudah terhidangkan. Saat itu pula datang seorang pria memakai kacamata rayban dengan bidang luar seperti orang yang berada di depannya dapat melihat wajah mereka sendiri. Rambutnya botak. Kumisnya tampak mulai disisipi uban di beberapa bagian. Badannya agak gendut dan berjalan tampak masih gagah. Saat ia menghampiri empat pria tadi, mereka langsung bersalaman. Dia juga cukup disambut hangat oleh waria-waria itu, sepertinya mereka sudah kenal betul dengan pria itu.

 “Om, yuck om. Linda lagi kosong malam ini,” ujar seorang waria menawarkan dirinya.

Tetiba aku yang baru saja meneguk minumanku, terbatuk. Aku berusaha pelan, agar mereka tidak tersinggung. Tidak lama mereka pergi meninggalkan warung remang-remang itu, tentunya dengan masing-masing membawa satu waria.

 “Eh, yeei. Ngapain malam-malam datang di tempat beginian? Yeei mau mau main? Tuh, teman-teman eyke banyak yang kosong” ujar Suz padaku.

 “Oh, eh. Tidak kok, tidak” aku menjawab dengan gugup, aku tidak tahu harus berkata apa. Memang orientasi seksual aku adalah homoseksual, tetapi aku baru pertama kali ini menjajakan diri di tempat tak terpuji seperti ini. Kucing, begitu mereka menyebutkan seorang (laki-laki) yang menawarkan jasa bagi laki-laki pula. Dan status ku malam ini adalah seorang kucing. Iya, kucing berbulu putih yang belum terbercak noda. Aku tertunduk, merenung yang akan terjadi malam ini.

 “Suz, kopi susu dong satu” terdengar suara seorang laki-laki memesan minuman. Aku masih belum berani mendongakkan kepala, apalagi menatap ke arahnya.

 “Hei, boleh aku duduk disini?” dia tiba-tiba sudah berada di belakang tempat dudukku.

 “Oh, eh. Iya, silakan, duduk saja” aku menjawab gugup, saat aku menatap lelaki bertubuh agak kurus itu, namun berotot dan memiliki dada bidang. Hal itu terlihat karena dia mengenakan kemeja coklat dengan kancing bagian dadanya sengaja di buka.

 “Eh, iya. Kenalin, aku Rian.” Dia sembari menyodorkan tangannya, mengajakku bersalaman.

 “Aku Dion” aku hanya menjawab singkat. Terang saja, aku tidak mengenalnya.

 “Kamu ngapain malam-malam ke sini?” dia kemudian bertanya dengan nada santai. Aku tak langsung menjawab, seketika aku kikuk didepan lelaki yang memiliki kumis tipis itu. Ah, sorotan matanya begitu tajam menatap ke arahku. Sesekali aku mengintip lewat ekor mataku, matanya sungguh bening. Degup jantungku tidak karuan.

 “Hmm, gak kok. Aku hanya santai aja”

 “Oh, gitu.” Dia sambil menyeruput segelas kopi susu panas yang terhidang di depannya.

 “Kamu sendiri ngapain disini? Apa ingin salah satu dari mereka?” aku menunjuk ke arah para waria yang terlihat asyik ngerumpi. Entahlah, apa yang mereka bicarakan.

Rian semakin erat menatap ke arahku. Sehingga membuatku tidak sediktipun berani mengintip untuk menatap wajahnya.

 “Tidak” dia hanya menjawab sepatah kata itu.

 

***

 

Hampir sepuluh menit kami tidak saling bicara. Aku tahu, dia adalah salah satu pelanggan waria yang ada disini. Ada kata yang sangat ingin aku katakan padanya, tapi aku tidak berani mengunggkapkannya. Ah, sia-sia malam ini jika aku tidak bicara pada Rian.

 “Rian, apa kamu kesepian?” aku mencoba membuka pembicaraan lagi. “Aku siap kok menemani kamu.”

Dia tak langsung menjawab, justru dia selalu menatapku lekat. “Kamu mau, ayok ikut aku.”

Rian langsung membawaku pergi dengan motor kawasaki ninja warna hijau miliknya. Motor itu melaju pelan, melewati jalan raya yang hampir tidak terlihat lagi orang berlalu lalang. Menuju jalan protokol Ahmad Yani, baru lah terlihat ramai kendaraan yang masih mondar mandir di malam buta seperti ini.

Mau dibawa kemana aku ini? Batinku bertanya tak keruan. Berbelok ke jalan Sutoyo menuju jalan Purnama. Tiada sepatah kata pun terdengar sepanjang perjalanan. Memasuki komplek perumahan Bali Agung, kami singgah tepat di depan rumah mewah tiga lantai itu.

 “Ayo masuk” dia mempersilakan aku masuk, sembari tangannya masih menggenggam gagang pintu.

 “Ini rumah siapa?” tanyaku aku ingin tahu. “Aku kira kau akan membawaku ke sebuah hotel atau penginapan” ujarku.

 “Aku tinggal sendirian disini, orang tuaku tinggal di Jakarta” ucapnya simple.

Setelah dipersilakan masuk ke dalam kamar yang tidak kalah dari tata hotel bintang dua itu, aku hanya berani duduk di sofa. Sementara Rian mulai membuka kancing demi kancing kemeja yang dikenakannya. Oh, God, lindungi aku. Aku takut, ucapku dalam hati.

 “Aku mau mandi dulu. Kalau mau tidur, di ranjang aja” tuturnya bijaksana.

 “Iya” jawabku, yang tidak sanggup untuk menatap Rian yang sudah telanjang dada.

Tidak sampai lima menit, dia sudah kembali lagi dengan wajah yang sangat segar dan tampan. Ya Tuhan, Rian semakin menawan setelah habis mandi.

 “Kenapa kamu belum tidur?” tanyanya.

 “Aku menunggumu selesai mandi”

Aku sembari bangkit dan mendekati Rian. Perlahan aku membuka baju, kemudian celanaku, hingga yang tersisa hanya celana dalamku. Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Rian yang sedari tadi membelakangiku, menghadap lemari. Setelah mendapatkan baju yang akan dipakainya, dia kemudian berbalik ke arahku. Dan menemukan aku yang hanya bercelana dalam saja.

 “Lakukanlah.” Pintaku padanya.

 “Lakukan apa?” katanya heran. 

 “Kamu tahu kan, aku duduk di warung remang-remang pinggir jalan itu untuk menjajakan diri? Kamu tahu itu kan?” ujarku padanya.

 “Dion. Aku tahu hal itu. Oleh sebab itu aku bawa kau ke rumahku”

 “Lalu apa maksudmu membawaku kesini? Kalau bukan untuk memuaskan nafsumu!” ujarku.

 “Hey. Aku memang Gay, tapi aku bukan mencari pemuas nafsu di tempat-tempat hiburan. Lagian kau ngapain mau merusak diri sendiri?” tuturnya tegas.

 “Aku butuh uang untuk makan, untuk membeli obat ibuku yang sedang sakit” jawabku. “Aku mohon lakukan lah, setelah itu kau beri aku uang dan aku akan pergi dari sini” ujarku sambil membaringkan tubuhku di ranjang empuk itu.

Perlahan Rian naik ke atas ranjang dan mendekatiku. Perlahan aku pejamkan mata, menetes butiran bening itu, tanpa kusadari. Aku sungguh hina, dan benar-benar hina. Maafkan aku ibu, aku telah membohongimu. Aku tahu kau pasti kelaparan. Aku pamit untuk membeli makan, padahal aku tidak punya sepeser uang pun. Aku terpaksa lakukan semua ini, aku janji akan pulang membawa nasi bungkus untukmu.

 “Kau pikir aku akan menikmati tubuhmu?” ujar Rian berbisik di telingaku. “Aku tahu kau adalah anak baik-baik, aku tahu kau terpaksa melakukan ini” Rian kemudian turun dari atas ranjang. “Beruntung aku menemukanmu, kalau tidak....” Rian menghentikan ucapannya.

 “Kalau tidak, kenapa?”

 “Ah, tidak. Tidak apa-apa. Kenakan lah pakaianmu, aku akan mengantarmu pulang” Rian sambil memasang kaos oblong yang sudah dipilihnya. Setelah aku selesai memakaikan pakaiannya, kemudian dia memberiku lembaran uang seratus ribu. Banyak, mungkin ada 50 lembar jumlahnya. “Ambil lah, untuk biaya hidup kau dan ibumu” ucapnya.

Aku hanya tertunduk diam. Aku malu pada Rian, aku malu pada diriku sendiri. “Untuk apa? Aku tidak melakukan apapun untukmu” ujarku.

 “Kau telah menemaniku malam ini” ucapnya yang tepat berdiri di hadapanku. Aku langsung memeluknya, menghamburkan tangis di pundaknya. Ah, aku merasa nyaman berada di pundak itu. Apakah ini boleh dinamakan cinta? Mungkin saja. Tapi, tidak mungkin. Rian tidak mungkin jatuh cinta pada seorang kucing jalang sepertiku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun