Temaram senyum bulan melukis bayang seorang lelaki yang tengah menyendiri, bertapak di antara tiang beton yang menjuntai tinggi, di halaman sebuah bangunan elok nan menawan. Butir cahaya sekitar gemerlapan, turut mengindahkan petang. Ponsel digenggamnya erat, hinggap di telinga dingin yang diterpa hembusan malam. Telah beberapa kali sosok penjaga menawarkan diri, menjinjing tas koper sembari menyambut penuh hangat. Lelaki itu menyuguhkan senyum saja, tangannya berseru tak usah khawatir.
"Tidurlah, karena besok kau harus menjemputku pagi-pagi", tukasnya pada seseorang di seberang.
Wiryo singgah di sebuah penginapan yang jauhnya tak seberapa dari bandara, dimana salah satu maskapai akan menerbangkannya ke kampung halaman pukul tujuh esok hari. Wiryo mengadu nasib di luar pulau jauh dari kampung. Surga dengan hamparan lahan yang subur, udara bersih masih alami, dan toleransi masih menjadi tradisi. Itulah perkebunan sawit milik tiga sosok petinggi yang hanya salah seorang darinya dia kenali.
Tak hanya kebaikan alam yang didapati, namun kemurahan hati salah seorang petinggi itu membuatnya merasa tersanjung. Bagaimana tidak, segalanya telah dipenuhi. Tempat tinggal, bahan makanan, dan segala tetek-bengek keperluan hidup lainnya, hingga dia betah berlama-lama menghabiskan waktu menemani pertumbuhan para sawit. Di samping itu, harga penjualan sedang tinggi-tingginya. Harapannya, dengan kegigihan yang diembannya, Wiryo bisa pulang membawa segebok uang untuk anak dan istri, juga menebus hutang selama ini. Di setiap pertemuan yang terjadi dari balik layar ponsel, bertatap dengan anak istri, Wiryo sering mengumbar janji. Mungkin akhir bulan, atau minggu depan, atau bulan selanjutnya dia akan kembali, namun jarang sekali dipenuhi.
Berbulan-bulan lamanya Wiryo menunda kepulangan, terakhir sembilan bulan lalu. Lantas Wiryo mendapat uang saku yang terhitung tinggi. Wajar saja, jika ingin keluar dari area perkebunan yang dirawatnya, dia kudu melintasi sebuah selat selama kurang lebih dua jam, dengan kapal boat berukuran sedang yang berisikan lima hingga sepuluh orang, untuk mencapai daratan di seberang. Selanjutnya, perjalanan darat delapan jam lamanya untuk sampai di bandara kota itu. Tapi tak semudah itu, dalam bulan-bulan lalu, berkali-kali perjalanannya dihadang permasalahan, ombak perairan terlalu ganas untuk diarungi. Hal lain turut membayangi, harga tiket pesawat ada kalanya melambung terlalu tinggi, di sekitaran hari besar dan hari penting lain yang tercantum di kalender masehi, hingga Wiryo tak mampu membeli. Sehingga Wiryo memutuskan untuk menunda dan pikir-pikir lagi. Pernah juga, meski telah piawai membaca cuaca, waktu, dan kondisi ombak yang tak menentu, Wiryo tak jarang mengurungkan niatnya, kembali ke persinggahan di tengah belantara, karena jika dilanjutkan, nyawa jadi taruhannya.
Para pendahulunya, sering menceritakan peristiwa-peristiwa pilu tentang kepulangan yang tak menghiraukan pertanda bahaya, yang berakhir tragis ditelan ganasnya segara. Kebijakan perusahaan hanya menyumbang dana sebagai wujud belasungkawa, bukan obat pelipur lara keluarga di rumah. Wiryo lebih baik menunda kepulangannya, ketimbang pulang menghadap sang Pencipta. Bekal yang dibawa hanya sekedar bungkusan makanan ringan dan beberapa potong pakaian, bukan sebendel catatan amal kebajikan.
"Kita sangat menghargaimu. Tapi, tak seharusnya kau mengesampingkan keluargamu".
"Saya tahu, Pak. Tapi percayalah, saya tidak keberatan". Serunya dengan sesekali mengangguk.
"Bukan itu. Maksud saya, kami menanggung hidup kalian, kesehatan pun juga. Tapi bukan jaminan kerinduan anak istrimu".
Wiryo tercekat, nasehat itu seakan menghanyutkannya. Dia mengingat kembali berapa lama mereka tak jumpa. Rumah sederhana dengan kehangatan tiada tara. Namun, Wiryo pun sadar. Awalnya, dia mengasingkan diri untuk upah yang lebih tinggi, lambat laun bagai pengabdi, lalu lupa diri.
"Setiap bulan kau pulang saja, seperti yang lain. Terkadang, ombak takhluk dengan doa dan cinta keluarga", ujar petinggi sawit itu.