Mohon tunggu...
N.P. KADIR
N.P. KADIR Mohon Tunggu... Insinyur - * Ph.D. Candidate * * Civil Engineer *

* Universiteit Twente * The Netherland *

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Landasan Filosofis Penghentian Konsesi Air Minum di Jakarta

16 Desember 2019   13:49 Diperbarui: 16 Desember 2019   14:35 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Penyediaan air minum adalah prasyarat sebuah kota yang layak di huni. Jakarta yang dilabeli sebagai smart city ternyata masih belum mampu menyediakan air perpipaan yang layak diminum ke rumah warganya sebagaimana janji dalam kontrak yang ditetapkan tahun 1997. Walaupun konsesi dengan PALYJA dan AETRA sudah berjalan 22 tahun. Kontrak  1997 bahkan "disesuaikan" setiap 5 tahunan agar konsesi terus berjalan. Sebaliknya PALYJA dan AETRA terus mencatatkan keuntungan.

Konsesi air minum perpipaan sebenarnya sudah melanggar Doctrine dalam UUD 1945. UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 menyebutkan bahwa "Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara". Frasa ini sebenernya menjelas bahwa Negara adalah "trustee". Sedangkan Pasal 33 ayat 3 "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".  Frasa ayat 3 menjelaskan bahwa Pemilik Air adalah adalah rakyat, artinya air adalah barang public yang dipercayakan kepada negara untuk dikelola, dan keuntungan terbesar harus dinikmati oleh rakyat. 

UUD 1945 Pasal 33 baik pasal 2 dan Pasal 3 menganut apa yang disebut sebagai "Public Trust Doctrine". Public Trust Doctrine menganut dua doktrin dasar yaitu air sebagai milik rakyat (Public) dan negara sebaga wali amanat (Trustee). Dengan demikian Perusahaan Daerah yang mengelola air minum didirikan sebagai operator public trustee atau Negara. Meskipun wali amanat memiliki tingkatan pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota namun definisi Public Trust Doctrine tidak berubah, manfaat kepemilikan harusnya untuk rakyat. Dari sisi akademik, pemilik suatu benda adalah yang memperoleh manfaat paling besar dari benda tersebut. Pemegang konsesi air minum di Jakarta (PALYJA dan AETRA) memperoleh keuntungan setiap tahun. Dengan demikian, properti air yang seharusnya barang publik berubah menjadi barang private karena PALYJA dan AETRA yang memperoleh manfaat paling besar .

Ostrom (2005, p. 23)  mengkategorikan sebagai sumber daya air sebagai Common-Pool Resources. Secara harfiah, Common Pools Resources di definisikan sebagai sumber daya dimiliki oleh banyak orang (publik). Air disebut sebagai sumber daya milik bersama karena dua hal : pertama, karena air bersifat non-excludable. Non-excludeable artinya adalah terlalu sulit (terlalu mahal) untuk membatasi akses ke sumber daya; kedua, karena air bersifat high subtractability/rivalries karena setiap meter kubik air yang digunakan oleh individu (use by one person) menghilangkan (precludes) kesempatan individu lain (others) untuk menggunakannya (to consume). Dengan demikian, secara filosofis kerjasama konsesi air minum dengan pemilik modal swasta adalah salah karena air adalah sumber daya milik bersama bukan barang Private.

Ketika air minum perpipaan dikerjasamakan dengan pihak swasta, maka sama saja mengkategorikan bahwa air minum perpipaan adalah barang private karena pihak yang mendapatkan keuntungan terbesar adalah atau pemilik modal (i.e., Suez, Moya) . Wolsink (2012, p. 16) membantah air minum perpipaan sebagai barang private karena jaringan distribusinya harus melewati property milik publik atau milik individu. Begitu juga dengan sumber air baku yang terbentuk secara alami, melewati berbagai wilayah administrasi, melewati properti milik publik dan individu. Mengutip definisi dari Ostrom (2005, p. 23) diatas maka piping drinking water supply bersifat non-excludable karena jaringan peripaannya harus ditanam dibawah tanah dan melewati tanah milik publik (jalan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten) dan melewati properti milik individu (halaman milik warga). Warga negara yang dilewati Jaringan perpipaan sebenarnya memiliki akses terhadap pipa air minum yang melewati lahan mereka. Namun akses tersebut dibatasi dengan menggunakan hukum (i.e., Pidana) oleh Negara (Public Trustee).

Sebenarnya, ketika jaringan Distribusi air minum perpipaan melewati tanah milik pribadi warga negara maka tidak "sulit" bagi warga yang berinisiatif untuk melakukan penyambungan terhadap pipa distribusi (Contoh: Koneksi Ilegal). Sama halnya dengan ketika ada orang yang memasuki properti milik pribadi. Selama ini, percobaan penyambungan (Illegal Connection) oleh warga terhadap pipa air minum yang melewati lahan mereka tidak terjadi karena aktivitas tersebut dikatakan sebagai aktivitas ilegal. Menyatakan suatu kegiatan sebagai kegiatan ilegal tidak dapat di lakukan oleh PDAM maupun oleh swasta penerima konsesi. PDAM maupun Pihak Swasta menggunakan kekuatan negara (Public Trustee) untuk mencegah warga mengambil air secara langsung dari pipa milik swasta yang melewati lahan publik atau lahan mereka.

Kishimoto, Lobina, and Petitjean (2015) menawarkan konsep "re-municipalization" untuk pelayanan air minum perpipaan. "re-municipalization" adalah antonim dari program kerjasama pemerintah swasta yang di kampanyekan sejak tahun 90-an oleh kementrian pekerjaan umum. "re-municipalization" menurut McDonald (2018, p. 1) sebenarnya bukanlah hal yang baru. "re-municipalization" sudah ada sejak manusia mulai membangun Kota dan perkampungan. Pada waktu peradaban mulai terbentuk kepemilikan sumur air adalah milik para baron dan tuan tanah dimana sumur tersebut berada. Baru sekitar pertengahan 1800-an  terjadi proses municipalization sistem penyediaan air minum karena Baron dan Tuan Tanah menolak memberikan air minum kepada rakyat miskin yang tidak mampu membayar sesuai harga yang ditetapkan oleh Mereka. 

Dengan demikian untuk menyimpulkan tulisan kali ini, landasan filosofis penghentian  kerjasama air minum sebagai berikut :

  • Terbukti tidak mencapai target kontraktual sebagaimana saat kontrak kerjasama di tanda tangani pada tahun 1997, minsalnya Air dapat diminum pada tahun 2005.
  • Undang Undang Dasar 1945 mewajibkan Public Trustee atau Wali Amanat yang menyediakan air minum bukan pihak swasta.
  • Dari sisi ilmiah, Air Minum perpipaan adalah Sumber Daya Milik Bersama (Common Pool Resources) karena sulit untuk membatasi akses ke air perpipaan  dan setiap meter kubik air yang digunakan oleh individu menghilangkan kesempatan individu lain untuk menggunakannya.
  • Sulitnya membatasi akses ke air minum perpipaan karena pipa distribusinya harus ditanam dibawah tanah yang melewati tanah milik publik dan melewati properti milik individu.
  • Ketika air minum perpipaan dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta, maka sama saja mengkategorikan bahwa air minum perpipaan adalah barang private. Disebut sebagai barang private karena pihak yang mendapatkan keuntungan terbesar adalah pemilik Modal. Bertentangan dengan prinsip Public Trust Doctrine yang dianut oleh Negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun