Mohon tunggu...
Nia Kartini
Nia Kartini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Kita Akan Bertindak yang Sama?

7 Januari 2016   15:44 Diperbarui: 7 Januari 2016   15:44 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengalaman yang kelam dan menyakitkan akan berujung pada sesuatu yang biasa kita sebut dengan trauma. Menurut pandangan Psikologi, semakin sakit luka yang dirasakan, maka semakin sukar disembuhkan luka tersebut.

Tidakkah kita bertanya-tanya, mengapa seorang ibu tidak mengalami trauma pasca melahirkan? Dilihat dari pendekatan Biologi, ''Tubuh seorang manusia hanya dapat menahan 45 del (unit) dari rasa sakit. Ketika melahirkan, seorang wanita merasakan sekitar 57 del (unit) dari rasa sakit. Hal ini serupa dengan sekitar 20 tulang retak di waktu yang sama'' Juga mengingat, ia telah lelah mengandung paling tidak selama tujuh bulan.

Anehnya, tidak sedikit ibu yang ingin melahirkan lagi dan lagi hingga dokter memberitahukan bahwa tubuhnya tidak sanggup lagi untuk menahan beban mengandung dan melahirkan. Kekuatan magis apa yang menyebabkan rasa sakit tersebut seolah hilang sebenarnya? Bukan, itu bukan kekuatan magis. Kekuatan magis saja tidak mampu menjadi obat rasa letih walau hanya untuk satu hari dalam masa mengandung.

Tubuh manusia mempunyai berbagai macam kurir kimia yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar endokrin, kurir-kurir kimia tersebut dinamakan dengan hormon. Hormon memiliki tugas khusus dan dapat mempengaruhi emosi dan perasaan seorang individu. Di antara banyak hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis yang terletak pada dasar otak besar adalah hormon oksitosin. Kata oksitosin berasal dari bahasa Yunani, berarti kelahiran cepat. Oksitosin berfungsi merangsang kontraksi yang kuat pada dinding rahim sehingga mempermudah proses kelahiran. Oksitosin juga merupakan faktor dalam pengalaman orangtua yang merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan bayi mereka (Febo, dkk, 2005; Numan, 2006). Ya, hormon inilah yang diduga kuat perangsang utama rasa cinta ibu terhadap bayinya.

Akan tetapi, apakah kita yakin hanya karena fungsi hormon tersebutlah ibu kita dapat mengasuh, mengajar, mendidik, dan membesarkan kita dengan rasa kasih dan sayang tiada tara? Saya pribadi meyakini bahwa rasa sayang ibu terhadap anaknya adalah anugerah kodrati yang dimiliki setiap wanita. Psikiater Inggris, John Bowlby (1969, 1989) berteori bahwa bayi dan ibunya secara naluriah menjalin kelekatan.

Tahukah Anda, bahwa satu-satunya tempat manusia terbebas dari kuman dan bakteri adalah di rahim seorang ibu? (Veli Karabuga, Mata Air; 2014) Sejak detik pertama manusia dilahirkan, ia mulai dihantui oleh ancaman beribu bakteri dan kuman. Maha suci Tuhan, yang telah menyediakan suatu asupan makanan yang tidak hanya mengenyangkan tetapi juga berfungsi sebagai pelindung kekebalan tubuh untuk seorang bayi mungil. Makanan tersebut adalah Air Susu Ibu (ASI). Walaupun berjuta-juta Rupiah digunakan untuk meracik suatu makanan yang bernilai gizi paling tidak sama seperti ASI, hasilnya akan nihil. Karena Makrofag dan limfosit yang terdapat pada air susu seorang ibu bersifat hidup maka tidak ada suatu cairan makanan pun yang dapat menggantikannya. (WHO -1993, UNICEF, 1993- Bagian Pangan H-1 OF)

Di sini saya tidak hanya akan berbicara mengenai ibu, tetapi juga ayah. Di balik cinta ibu yang kita rasakan dan sangat mudah terlihat secara kasat mata, terdapat cinta seorang ayah yang berlimpah. Keduanya telah mengasihi kita dengan sepenuh hati mereka di saat kita kecil. Mereka adalah guru pertama bagi kita, dua malaikat yang Tuhan kirimkan untuk merawat kita semenjak kita masih sangat lemah, mereka membimbing kita hingga kita cukup kuat untuk menyikapi dunia. Namun, apakah kita akan bertindak yang sama seperti di saat mereka mengasihi kita di waktu kecil? Terlebih, di saat mereka mulai lemah memasuki masa lanjut usia. Akankah kita?

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘’Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mengasihi dan medidikku waktu kecil’’ (QS 17:24)

 

 Penulis: Nia Kartini

 Referensi:
 A. King, Laura. Psikologi Umum. Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
 Al-Quran
 Dorea GJ. (2000). Iron and Copper in Human milk. Nutrition 16. p: 209-220
 https://www.facebook.com/261529087373837/videos/389300934596651/
 Majalah Mata Air, edisi: Januari-Maret 2014 VOL.1 NO.1

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun