Mohon tunggu...
Niko Hukulima
Niko Hukulima Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta dan Aktivis Credit Union Pelita Sejahtera

Hidup terlalu singkat untuk disia-siakan. Berusaha untuk lebih baik hari demi hari.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pohon Mangga dan Legenda Para Alumni SDK Watuwawer

20 September 2021   10:55 Diperbarui: 20 September 2021   13:35 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iustrasi foto : facebook.com/Insidesembalun

Halaman sekolah SDK Watuwawer Selasa siang itu, belum lagi sepi. Sebagian anak-anak belum pulang rumah. Bergerombol, mereka bermain gundu. Halaman sekolah ini sebenarnya cukup luas. Hanya saja, di bagian tengah berdiri sebatang pohon mangga yang diameternya cukup besar, berusia puluhan, atau bahkan mungkin ratusan tahun, dikelilingi beberapa pohon pinang menjulang tinggi. Semakin sempit lagi karena pada bagian lain, tersusun rapih seonggok timbunan batu bata yang hendak dibakar untuk kerperluan membangun sekolah ini. Bangunan lama yang ditempati, merupakan bangunan darurat dengan bahan asal full dari kayu. Pada bagian dinding terdapat beberapa lubang, plus atap yang juga sudah bocor sana sini.

Pohon mangga ini selalu berbuah lebat pada setiap musimnya. Jenis mangga Ini tidak terlalu manis, namun juga tidak asam, mentah sekalipun. Orang kampung menyebutnya dengan nama Pau Bokol. Saya tidak pernah temukan ini di pulau Jawa.

Mangga ini menjadi buah favorot anak anak, selain karena tumbuh di halaman sekolah, juga karena mangga ini selalu berbuah lebat. Ketika pagi menjelang, pada udara dingin desa Watuwawer yang masih gelap, gerombolan anak-anak selalu datang, mencari buah mangga sisa makan kelelawar semalaman. 

Bekas gigitan kelelawar tidak masalah, toh akan dihabiskan juga. Ketika siang hari, sambil bermain dihalaman, anak-anak selalu berjaga-jaga, jangan-jangan ada buah yang jatuh, dan biasanya akan menjadi rebutan, walaupun nanti dimakan bersama-sama dengan cara mengigit (gako) secara bergiliran. 

Seperti biasa, setelah pulang sekolah, sekelompok anak-anak tidak langsung pulang. Mereka akan bermain apa saja terlebih dahulu, kadang sampai sore, bahkan hingga malam.

Siang itu cukup ramai anak-anak bermain gunduh/kelereng. Sambil bermain, sesekali mendongak keatas melihat buah mangga yang bergelantungan. Beberapa yang berada diujung ranting sudah menguning, tanda bahwa sudah ranum. 

Namun apa daya, pohon itu terlalu besar dan tinggi untuk dapat dipanjat anak-anak. Akan sangat berbahaya bila memanjat. Hanya bisa menikmati dari bawah.

Seorang anak rupanya mengamati juga dari kejauhan, buah mangga yang kuning tadi. Diam-diam dia panjat pohon mangga besar itu melalui pohon pinang yang kebetulan berdempetan. 

Tidak banyak yang memperhatikan karena semua sibuk bermain. Dia terus naik keatas, berpindah dari satu cabang ke cabang lain, dari satu ranting ke ranting lainnya demi buah mangga tadi.

Dia berusaha mendekati untuk memetik buah mangga tersebut. Bertumpuh pada sebuah ranting kering, dia berusaha meraih. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ranting itu patah. 

Tak pelak dia terjatuh. Bunyi patahan tadi menarik perhatian teman-teman yang sedang bermain dibawah. Serentak mendongak keatas. Sebuah bayangan hitam melayang jatuh dengan cepat, menjejak tanah padat di areal halaman sekolah dengan posisi kepala berada dibawah. 

Darah mengucur deras keluar dari seluruh badan, membasahi tanah sekitar. Anak-anak yang riang mendadak ketakutan dan lari ke segala arah meninggalkan korban sendirian. Sebagian menuju rumah masing-masing, sebagian lagi lari menuju bukit Kedang di utara desa Watuwawer, bersembunyi di kebun bapa Ago Kewole.

Gegerlah seisi kampung. Beberapa orang berlarian datang menghampiri. Mereka menyaksikan dari jauh, seseorang terkulai tidak bergerak, dengan darah menggenang disekitarnya. 

Menyaksikan keadaan ini, beberapa orang lari ke rumah bapak mantri Niko Noning memberitahu musibah ini dengan harapan segera datang memberi pertolongan. Tubuh kaku itupun diperiksa. Hasilnya sudah tidak ada napas. Mayat korban dibawah pulang kerumah untuk disemayamkan selanjutnya di kebumikan.

Keheboan lain terjadi. Mama Towe Baha Uran Lejap, menangis sepanjang jalan ke kebun mereka di Timwuhun sambil memberitakan kepada banyak orang bahwa Em Khebe (Rofinus Emi Lejap) jatuh dari pohon dan meninggal. 

Saat itu Em Khebe sendiri sedang kerja kebun. Rupa-rupanya celana pendek korban pada saat jatuh dan meninggal, sama dengan celana pendek Em Khebe hari itu, sama sama memakai celana Rider pendek dengan motif yang sama.

Menjelang malam, teman-teman korban yang tadi siang lari keatas bukit, mulai turun ke kampung dalam diam dengan perasaan was-was. Rasa takut menggelayut. Takut ditangkap polisi karena dituduh menjadi penyebab jatuhnya teman mereka.

Atas arahan orang tua masing-masing, dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, mereka semua diharuskan membawa potongan kain hitam, dimasukan kedalam peti mati teman mereka. Cara ini dipercaya agar mereka terhindar dari mara bahaya dikemudian hari.

Peristiwa ini kemudian menjadi legenda setiap angkatan. Semua mewarisi kisah tragis ini. Pohon besar ditengah halaman sekolah ini menjadi pengingat, bahwa darinyalah seorang anak menjadi korban. 

Dari pohon ini pula menyembul dan selalu memberi rasa takut jika anak-anak bermain sampai sore. Mereka selalu mengingat kejadian ini sehingga selalu pulang lebih awal. 

Jika ada yang membandel sampai sore, teriakan nama korban dari seorang teman mereka akan membuyarkan sekaligus membubarkan kerumuman yang sedang asik bermain. Apalagi, tidak berselang lama sejak kejadian itu, pohon Rita besar dekat rumah korbanpun tumbang. Kejadian ini menambah daya magis pada peristiwa tersebut.

Pada masanya, pohon ini akhirnya ditebang. Selain karena sudah ada korban darinya, juga karena dirasa cukup menghalangi segala aktifitas dalam berkegiatan di SDK Watuwawer. 

Cabang dan ranting yang rimbun memenuhi halaman sekolah. Ini menjadi cerita menarik lain bagi anak anak yang kedapatan melanggar aturan sekolah, terutama aturan berbahasa.

Di desa terpencil seperti Watuwawer, yang mahir berbahasa indonesia hanyalah para guru. Kebanyakan anak-anak tidak bisa. Mereka tidak punya pengalaman ketempat-tempat jauh yang memungkinkan mereka dapat belajar berbahasa indonesia dengan baik. 

Apalagi dalam mengajar, sering kali guru menggunakan bahasa indonesia campur bahasa daerah untuk mempermudah anak memahami materi yang dibahas. Ini semakin menyulitkan anak-anak dalam berbahasa.

SDK Watuwawer kala itu membuat aturan; setiap jam istirahat, anak-anak diwajibkan berbahasa indonesia. Peraturan ini cukup berat bagi anak-anak. Jika tiba hari itu, spontan suasana menjadi sepi, pada saat istirahat sekalipun.

Anak-anak menjadi sungkan berbicara. Yang periang menjadi redup, yang banyak bicara menjadi gugup, takut salah. Pokoknya suasana menjadi sepi. Jika terpaksa harus bicara, maka biasanya dilakukan secara berbisik-bisik, takut kedengaran. 

Nah, jika ketahuan berbahasa daerah, maka sangsinya adalah memotong dahan dan ranting pohon mangga yang meranggas kering di tengah halaman dengan parang yang sudah disiapkan. Semakin banyak salah, semakin banyak ranting yang dipotong. Lama kelamaan halaman sekolah makin bersih hasil dari sangsi berbahasa daerah.

Lalu siapa korban yang menjadi ledenda para alumni SDK Watuwawer kala itu? Dia adalah Bailake. Dia adalah adik dari bapak Theus Kenude Waleng dan kakak dari bapak John Waital Waleng. 

Sore hari dimana peristiwa itu terjadi, sebenarnya dia baru saja pulang dari Lewoleba. Jarak Lewoleba-Watuwawer kala itu hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki seharian penuh. 

Rumahnya tidak jauh dari sekolah. Keriuhan anak-anak yang sedang bermain dihalaman sekolah terdengar sampai kerumahnya. Rupanya menarik perhatian dia untuk ikut serta. Diapun datang kesana.

Buah mangga di ujung ranting tadi menarik perhatiannya untuk memanjat pohon itu diam-diam. Sebenarnya dia terkenal karena keterampilannya memanjat pohon. 

Namun, nampaknya kelelahan fisik karena baru saja menempuh perjalanan jauh membuat dia tidak bisa berkonsentrasi dengan baik ketika memanjat. Peristiwa tragis itupun tidak terelakan.

Kini, pohon mangga tersebut sudah tidak ada. Hanya dikenang melaui cerita-cerita para alumni, terutama berkaitan dengan peristiwa tragis tersebut.

Terima kasih para Alumni teman seangkatan korban yang menceritakan ini kembali.

N.Hukulima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun