3. Gangguan Berat (Severe) ciri-ciri yang dapat dilihat adalah gejala parah dan sangat mengganggu aktivitas hidup sehari-hari. Muncul  delusi, halusinasi, atau perilaku berbahaya bagi diri sendiri/ orang lain. Perlu pengobatan medis (psikiatri), dan kadang rawat inap. Contoh: Skizofrenia, Gangguan Bipolar, Depresi Mayor dengan episode psikotik, Gangguan Kepribadian Paranoid atau Antisosial.
4. Gangguan Jiwa Akut/Kritis (Psychotic Break / Mental Breakdown), dapat diketahui dari ciri-ciri: Terjadi disorientasi total terhadap realita. Individu tidak mampu merawat diri, berbicara atau bertindak rasional dan membutuh intervensi segera (emergency psychiatry). Contoh: Psikosis Akut, Gangguan Skizoafektif Akut, Katatonia.
Ahli waris dengan kondisi gangguan kejiwaan ringan (Mild) dan sedang (Moderate) masih dapat dibebani kewajiban menurut KHI karena mereka dianggap memiliki ahliyah al-ada (kemampuan hukum untuk bertindak). Kewajiban mereka terutama berkaitan dengan proses pemindahan warisan, yang masih dapat mereka laksanakan. Namun terkait pengelolaan harta waris, kewenangan diberikan apabila mereka mampu mengambil keputusan secara rasional, terutama dalam kasus gangguan kejiwaan episodik atau kambuhan dengan gejala yang tidak berlangsung terus-menerus.
Dalam kasus gangguan mental/ kejiwaan yang bersifat permanen, terus-menerus, dan tidak dapat disembuhkan, sebagaimana kategori gangguan Jiwa berat (severe) dan gangguan jiwa akut/ Kritis (Psychotic Break / Mental Breakdown),  ahli waris tersebut ditempatkan dalam sistem pengambilan keputusan yang didukung (supported decision-making system). Ahli waris dengan kondisi kejiwaan sering diasumsikan tidak mampu menjalankan kewajiban dan mengelola harta waris mereka sendiri. Ahli waris semacam ini sering disamakan dengan anak-anak atau individu dengan gangguan jiwa berat, yang umumnya bergantung pada bantuan keluarga. Untuk pembuktian dalam permohonan pengampuan terkait kondidi gangguan kejiwaan ahli waris  dapat dilakukan diagnostic resmi yaitu melalui DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition) -- dari American Psychiatric Association, atau dengan diagnostic  ICD-11 (International Classification of Diseases, 11th Revision).
Dalam hukum islam, ada tiga syarat utama agar seseorang dapat menjadi ahli waris yaitu kematian Pewaris artinya Pewaris harus sudah dipastikan wafat, baik secara nyata maupun secara hukum (misalnya dinyatakan wafat oleh pengadilan). Syarat kedua adalah Ahli waris masih hidup ketika pewaris wafat. Jika ahli waris meninggal lebih dulu dari pada Pewaris  maka hak waris gugur dan akan di gantikan oleh ahli waris dari keturunan/ nasabnya yang masih hidup. Syarat ketiga adalah tidak ada sebab penghalang waris (mawni' al-irth) yaitu berupa sebab perbudakan (al-riqq) artinya Budak tidak bisa mewarisi. Kemudian sebab pembunuhan: Seseorang yang membunuh pewaris tidak berhak mendapatkan warisan. Serta sebab perbedaan agama artinya Muslim tidak mewarisi non-Muslim, dan sebaliknya .
Imam Ahmad berkata: "Jika seseorang menjadi gila dan memiliki harta, maka yang menjadi walinya adalah ayahnya, jika tidak ada maka kakeknya, dan jika tidak ada juga maka hakim (negara) yang menunjuk seorang wali untuknya". (Al-Mughni -- Ibn Qudmah al-Maqdis (Mazhab Hanbali) Bab Wilayah 'ala al-Majnun , Bab Perwalian atas Orang Gila, Juz 6, hlm. 181)
Wali pengampu adalah orang yang diberi kuasa hukum untuk mewakili dan mengurus kepentingan seseorang yang tidak cakap hukum, seperti anak di bawah umur, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), atau orang yang secara hukum dinyatakan tidak mampu mengelola diri dan/atau hartanya. Dalam definisi islam wali pengampu adalah:
Â
Artinya:Â
"Wali adalah orang yang mengurus urusan orang yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri, baik karena masih kecil, gila, atau lemah akal (safh)"
Sedangkan KUHPerdata mendefinisikan Wali Pengampu adalah orang yang ditunjuk oleh pengadilan untuk mewakili dan mengurus kepentingan seseorang yang secara hukum berada dalam keadaan tidak cakap hukum, seperti orang gila, dungu, atau mata gelap.
Dalam ketentuan lainnya, berdasarkan PERMA No. 3 Tahun 2017 (Penyandang Disabilitas) Pasal 10 ayat (1) menyebutkan: "Hakim dalam memutus perkara yang melibatkan penyandang disabilitas wajib mempertimbangkan perlunya pendamping atau kuasa hukum yang mampu memahami kebutuhan khusus penyandang disabilitas".