Mohon tunggu...
DPC APSI Kediri
DPC APSI Kediri Mohon Tunggu... Advokat dan Konsultan hukum

Dewan Pengurus Cabang (DPC) Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) adalah Organisasi Advokat yang mewadahi sarjana Hukum dan Syariah sesuai kode etik profesi Advokat dan UU No.18 Tahun 2003

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Orang dengan gangguan jiwa apakah berhak atas warisan?

4 Mei 2025   16:40 Diperbarui: 4 Mei 2025   17:03 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fatmah, S.HI., S.Sy., MH, Indah Elyza, S.H., MPdI., C.I.A., MH,  Feby Mulyanita., S.A.B., S.H., M.Kn Mahasiswa Doktoral UNTAG Surabaya

ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA APAKAH BERHAK ATAS WARISAN?, MELIHAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA RI

Pewarisan adalah kejadian hukum perpindahan harta benda / kekayaan dari pewaris (orang yang meninggal dunia) kepada ahli warisnya karena adanya hubungan nasab/ keturunan (seorang anak atau cucu mewarisi harta orang tua/ kakeknya pun sebaliknya), ataupun karena sebab pernikahan (seorang istri mewarisi harta suami pun sebaliknya). Anak yang lahir dari sebuah pernikahan yang sah menurut hukum adalah ahli waris utama dari orang tuanya baik itu anak yang terlahir normal maupun terlahir dalam keadaaan cacat fisik atau mental.

Hak Waris bagi ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) atau Penyandang disabilitas mental tetap diakui dan dilindungi dalam sistem hukum di Indonesia, baik dalam hukum waris Islam maupun hukum waris perdata (KUHPerdata). Dalam hukum waris Islam, tidak ada larangan atau penghalang bagi ODGJ untuk menerima warisan. Selama orang tersebut memiliki hubungan nasab (keturunan), perkawinan, atau wala' yang sah, maka hak waris tetap ada. Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11, ayat 12, dan ayat 176 tidak menyebutkan bahwa gangguan jiwa pada diri seseorang menjadi sebab terhapusnya hak mewarisi. Ulama sepakat bahwa 'aib akal' (seperti gila) tidak menggugurkan hak sebagai ahli waris, meski ada perbedaan dalam hal kemampuan mengelola harta. Demikian pula Pasal 184 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya harus diangkatkan wali berdasarkan keputusan hakim atau usul anggota keluarga.

ODGJ dianggap tidak cakap hukum (ghairu rashid) karena kondisi mentalnya, maka pengelolaan harta waris dapat diwakilkan kepada wali atau kurator (dalam konteks perwalian syar'i atau wali ahli waris) sebagaimana diatur pada Pasal 184 KHI dan Pasal 433 KUH Perdata.

"Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan, atau mata gelap, harus ditaruh di bawah pengampuan, meskipun ia kadang-kadang menunjukkan tanda-tanda kepintaran." Pasal 433 KUHPerdata.

Menurut KUHPerdata, tidak ada larangan ODGJ menerima warisan. Namun, ada mekanisme perlindungan hukum bagi mereka. Pasal-pasal yang mengaturnya adalah Pasal 1330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa orang yang tidak cakap hukum (termasuk ODGJ) tidak dapat membuat perjanjian, tetapi tetap berhak menerima warisan. Seorang ahli waris ODGJ dapat ditetapkan sebagai "tidak cakap" melalui putusan pengadilan, dan selanjutnya pengadilan dapat menunjuk wali atau pengampu untuk mengelola harta waris mereka (lihat juga ketentuan pengampuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dan KUHPerdata).

Penting adanya pengawasan agar hak waris ODGJ tidak disalahgunakan oleh keluarga atau pihak lain. Lembaga seperti Pengadilan Agama (untuk Muslim) atau Pengadilan Negeri (untuk non-Muslim) dapat diminta menetapkan wali pengampu atau kurator atas harta yang diterima oleh ODGJ, artinya dalam proses pengampuan permohonan tersebut harus di ajukan ke Pengadilan terlebih dahulu penetapannya. ODGJ tetap memiliki hak untuk mewarisi harta secara hukum. Yang perlu diatur adalah mekanisme pengelolaan hartanya, bukan penghapusan hak warisnya. Tujuan penetapan pengampuan untuk melindungi hak-hak ODGJ dan memastikan harta warisan dikelola dengan baik, sesuai pasal 434 KUHPerdata "Permintaan untuk menaruh seseorang di bawah pengampuan dapat diajukan oleh keluarga sedarah dalam garis lurus maupun dalam garis menyamping sampai derajat keempat, oleh suami atau istrinya, dan oleh walinya atau pengawasnya."

Dalam ilmu psikologi dan kedokteran, gangguan kejiwaan diklasifikasikan menurut tingkat keparahan berdasarkan jenis dn intensitasnya. Tingkatan gangguan kejiwaan secara umum menurut pendekatan psikologis dan medis:

1. Gangguan Ringan (Mild), dapat di identifikasikan melalui ciri-ciri gejala ringan, tidak mengganggu fungsi hidup secara signifikan. Sering muncul dalam bentuk stres, kecemasan ringan, atau perubahan suasana hati sesaat. Orang masih bisa berfungsi secara sosial, akademik, atau pekerjaan. Contoh: Gangguan Kecemasan Ringan (Mild Anxiety Disorder), Distimia (depresi ringan kronis), Stres adaptif (Adjustment Disorder).

2. Gangguan Sedang (Moderate) ciri-cirinya yaitu gejala lebih jelas dan mulai mengganggu beberapa aspek kehidupan, membutuhkan bantuan psikolog atau psikiater. Fungsi social dan pekerjaan mulai terganggu. Contoh: Depresi Mayor tingkat sedang, Gangguan Kecemasan Umum (Generalized Anxiety Disorder), Obsessive Compulsive Disorder (OCD) tingkat sedang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun