Bangga menjadi seorang penganut Hindu tidak hanya sekadar masalah identitas agama, tetapi juga mencerminkan kebanggaan atas nilai-nilai mulia yang terdapat dalam ajaran tersebut. Hindu merupakan sebuah agama yang tidak hanya membahas keterhubungan antara manusia dan Tuhan, namun juga menekankan pentingnya keseimbangan hidup antara diri sendiri, sesama, dan alam semesta. Diantara sekian banyak ajaran yang menjadi dasar kehidupan, terdapat dua konsep utama yang mencerminkan kedalaman pemikiran Hindu, yakni Tat Twam Asi dan Tri Hita Karana.
Kedua konsep ini lebih dari sekadar semboyan spiritual; mereka juga berfungsi sebagai panduan praktis dalam keseharian. Tat Twam Asi mengedepankan pemahaman bahwa setiap individu adalah bagian dari realitas Ilahi yang lebih besar, sementara Tri Hita Karana mengajarkan keseimbangan hidup yang menyeluruh dengan Tuhan, sesama, dan alam sekitar. Artikel ini akan mengeksplorasi makna dari kedua konsep tersebut, pentingnya dalam konteks kehidupan modern, serta alasan mengapa keduanya menjadi pondasi kebanggaan saya sebagai seorang Hindu.
Istilah Tat Twam Asi berasal dari bahasa Sanskerta. "Tat" berarti "Itu", "Twam" berarti "Engkau", dan "Asi" berarti "adalah". Secara harfiah, artinya adalah "Engkau adalah Itu". Ungkapan ini termasuk salah satu Mahāvākya atau pernyataan agung dalam tradisi Vedānta, yang ditemukan dalam Chandogya Upanishad (VI.8.7). Menurut filsuf besar Adi Shankara, ungkapan ini menekankan kesatuan antara Atman (diri sejati setiap manusia) dengan Brahman (realitas absolut atau Tuhan) (Wikipedia – Adi Shankara).
Pemahaman ini mengindikasikan bahwa manusia sesungguhnya tidak terpisah dari realitas tertinggi. Ego, perbedaan sosial, maupun batasan identitas hanya merupakan ilusi. Kebenaran sejati adalah bahwa kita semua merupakan bagian dari Brahman. Oleh karena itu, Tat Twam Asi mengajarkan kita untuk mengesampingkan ego dan melihat diri sendiri serta orang lain sebagai satu kesatuan.
Dalam kehidupan sehari-hari, konsep Tat Twam Asi mendorong kita untuk menumbuhkan rasa empati dan kasih sayang. Ketika saya menyaksikan orang lain dalam kesengsaraan, saya merasa terdorong untuk membantu karena penderitaan mereka juga merupakan penderitaan saya. Begitu pula, kebahagiaan mereka berkontribusi pada kebahagiaan saya. Pandangan ini mendorong tumbuhnya sikap toleransi dan welas asih secara alami.
Ajaran ini juga menjadi prinsip etika sosial dalam komunitas Hindu. Misalnya, saat penganut Hindu mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan, itu bukan hanya permintaan moral, tetapi juga cerminan dari kesadaran spiritual bahwa semua makhluk adalah satu kesatuan. Kesadaran ini menjadikan Hindu relevan dalam konteks dunia yang beragam.
Sebagai seorang penganut Hindu, saya merasa bangga karena ajaran ini menyediakan dasar moral yang kokoh untuk menciptakan kehidupan yang penuh toleransi. Di tengah lingkungan modern yang sarat dengan konflik identitas, Tat Twam Asi muncul sebagai solusi spiritual yang menekankan persatuan. Dengan menyadari bahwa kita merupakan bagian dari satu kesatuan, diskriminasi dan kebencian dapat diminimalkan. Inilah sebabnya mengapa ajaran ini menjadi sumber kebanggaan bagi saya sebagai seorang Hindu.
Selain Tat Twam Asi, penganut Hindu, terutama yang berada di Bali, sangat familiar dengan filosofi Tri Hita Karana. Istilah ini berasal dari tiga kata: Tri (tiga), Hita (kebahagiaan), dan Karana (sebab). Secara harfiah, maknanya adalah "tiga penyebab kebahagiaan". Filosofi ini pertama kali dibawa ke publik pada Konferensi Daerah Umat Hindu Bali pada tahun 1966, namun sebenarnya telah lama menjadi fondasi praktik sosial dan spiritual masyarakat Bali (Ceraken Bali, Detik.com).
Tri Hita Karana dibagi menjadi 3 yaitu:
- Parhyangan: interaksi yang harmonis dengan Sang Pencipta. Hal ini diwujudkan lewat doa, persembahan, dan berbagai ritual suci. Setiap pura bukan cuma tempat ibadah, tetapi juga pusat spiritual yang melindungi keseimbangan kosmos.
- Pawongan: interaksi yang harmonis antara individu. Struktur sosial seperti banjar dan kerja sama memperlihatkan nilai ini. Kehidupan komunitas dijalankan dengan diskusi dan semangat kebersamaan.
- 3. Palemahan: interaksi yang harmonis dengan lingkungan. Hal ini ditunjukkan dalam sistem irigasi subak yang telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Subak bukan sekadar teknologi pengairan, melainkan kebijaksanaan dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam (UNESCO – Subak).
Filosofi Tri Hita Karana terus relevan dalam kehidupan masa kini. Parhyangan mendorong individu untuk memperkuat sisi spiritual di tengah kesibukan. Pawongan mengajarkan nilai solidaritas dan toleransi di masyarakat yang beragam. Palemahan semakin penting di tengah tantangan lingkungan global. Konsep ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menyelaraskan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Saya merasa bangga menjadi Hindu karena nenek moyang kita telah mewariskan filosofi yang sangat tepat untuk menghadapi tantangan zaman. Tri Hita Karana bukan hanya sekedar teori, melainkan praktik sehari-hari yang menjaga keseimbangan dalam spiritualitas, sosial, dan ekologi. Menarik untuk dicatat bahwa Tat Twam Asi dan Tri Hita Karana saling melengkapi. Tat Twam Asi menekankan kesadaran spiritual bahwa semua makhluk adalah satu, sedangkan Tri Hita Karana memberikan panduan praktis untuk mewujudkan kesatuan tersebut dalam relasi dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan.