"Mudik bukan tentang seberapa besar uang yang kita keluarkan, tetapi seberapa besar usaha kita tetap menjaga ikatan dengan keluarga. Dalam kondisi apa pun, selalu ada jalan untuk pulang, selama kita masih memiliki tekad dan niat baik."
Banyak orang menganggap bahwa mudik hanya bisa dilakukan jika kondisi keuangan sedang baik, dengan tiket pesawat yang mahal, biaya transportasi yang terus naik, serta pengeluaran besar saat Lebaran. Namun, bagaimana jika ada cara lain untuk tetap bisa pulang kampung meski situasi ekonomi sedang sulit? Dalam artikel ini, kita akan menyelami kisah nyata seorang perantau yang memilih mudik dengan motor pribadinya dari Jakarta ke Yogyakarta, bagaimana ia menghadapi tantangan di jalan, serta makna sejati dari pulang ke kampung halaman.
Ketika Rindu Lebih Besar dari Rasa Lelah
Budi sudah delapan tahun merantau di Jakarta. Biasanya, setiap tahun ia selalu menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta, bertemu ibu yang semakin menua dan menikmati suasana Lebaran bersama keluarga besar. Tapi tahun ini, keadaan ekonomi membuat segalanya terasa lebih sulit.
Harga tiket bus melonjak dua kali lipat dari biasanya, apalagi tiket kereta dan pesawat. Gaji sebagai pekerja lepas yang tak menentu membuatnya harus berpikir ulang. Tapi, membayangkan ibunya menyambut Lebaran sendirian di rumah, hati kecilnya tak tega.
"Apa aku benar-benar nggak bisa pulang tahun ini?" gumamnya sambil melihat motor bututnya di parkiran kontrakan.
Lalu muncul ide nekat di kepalanya. Kalau tak ada uang untuk tiket, mengapa tidak mencoba perjalanan dengan motor? Jarak Jakarta-Yogyakarta memang tak dekat, sekitar 500 kilometer, tetapi jika dilakukan dengan tekad kuat, ia yakin bisa sampai di rumah sebelum malam takbiran.
Perjalanan Penuh Tantangan
Di pagi yang masih gelap, Budi memulai perjalanannya. Dengan ransel berisi beberapa potong pakaian, sebotol air minum, dan bekal seadanya, ia melaju keluar dari hiruk-pikuk Jakarta.
Di awal perjalanan, semuanya terasa lancar. Jalanan masih sepi, dan udara pagi terasa sejuk. Namun, ketika matahari mulai meninggi, tantangan pertama muncul: kemacetan panjang di jalur pantura. Truk-truk besar mendominasi jalan, asap knalpot memenuhi udara, dan suara klakson bersahutan di mana-mana.
Keringat mulai mengucur deras. Budi harus berkonsentrasi penuh agar bisa menyalip kendaraan dengan aman. Tak jarang, ia harus berhenti sejenak di pinggir jalan, mengistirahatkan tangan yang mulai pegal menggenggam setang motor.
Ketika siang menjelang, panasnya aspal seperti membakar tubuhnya. Helm yang ia kenakan terasa seperti oven yang memerangkap panas. Belum lagi, bensin yang semakin menipis membuatnya harus berhenti di SPBU terdekat, mengatur pengeluaran agar cukup hingga sampai ke tujuan.
Namun, semua kesulitan itu tak seberapa dibanding rasa was-was saat melewati jalanan sepi di daerah hutan jati menjelang Magelang. Langit mulai gelap, dan di kiri-kanan jalan hanya pepohonan tinggi yang bergoyang diterpa angin. Tak ada lampu penerangan jalan, hanya sinar motor tua yang sesekali meredup karena aki yang mulai lemah.
Jantungnya berdegup kencang. Ia pernah mendengar cerita tentang perampokan di jalanan sepi seperti ini. Tapi ia terus melaju, berdoa agar bisa segera keluar dari area tersebut.
Ketika Semua Lelah Terbayar
Akhirnya, setelah hampir 15 jam perjalanan, Budi melihat gerbang selamat datang di kotanya. Rasa haru menyelimutinya. Seluruh tubuhnya terasa remuk, tetapi hatinya penuh kebahagiaan.
Ketika ia sampai di depan rumah, ibunya berlari kecil keluar dengan mata berkaca-kaca.
"Budi! Ya Allah, kamu pulang naik motor?"
Budi turun dari motor dengan kaki gemetar. Ia tersenyum lelah, "Iya, Bu. Yang penting pulang, kan?"
Ibunya memeluknya erat. Sejenak, semua rasa lelah, pegal, dan ketegangan perjalanan itu menguap. Yang tersisa hanya kehangatan rumah dan kebahagiaan bisa berkumpul kembali.
Mudik Bukan Sekadar Perjalanan, Tetapi Perjuangan
Mudik bukan hanya soal uang atau kendaraan apa yang digunakan, tetapi tentang seberapa besar usaha seseorang untuk kembali ke tempat di mana hatinya berada.
Bagi banyak orang, pulang kampung bisa berarti menumpang bus mewah, naik kereta cepat, atau bahkan pesawat. Tapi bagi sebagian lainnya, pulang adalah tentang perjuangan---melawan keterbatasan, bertahan dari tantangan di jalan, dan tetap berusaha meski keadaan tidak berpihak.
Budi mungkin tak punya cukup uang untuk tiket pesawat atau kereta, tapi ia memiliki tekad. Dan itu cukup untuk membawanya pulang, bertemu ibunya, dan merasakan kembali suasana rumah yang dirindukan.
Di tengah krisis ekonomi, selalu ada cara untuk pulang, selama ada keinginan yang cukup kuat untuk itu. Karena sejauh apa pun kita pergi, hati kita akan selalu menemukan jalannya kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI