Keringat mulai mengucur deras. Budi harus berkonsentrasi penuh agar bisa menyalip kendaraan dengan aman. Tak jarang, ia harus berhenti sejenak di pinggir jalan, mengistirahatkan tangan yang mulai pegal menggenggam setang motor.
Ketika siang menjelang, panasnya aspal seperti membakar tubuhnya. Helm yang ia kenakan terasa seperti oven yang memerangkap panas. Belum lagi, bensin yang semakin menipis membuatnya harus berhenti di SPBU terdekat, mengatur pengeluaran agar cukup hingga sampai ke tujuan.
Namun, semua kesulitan itu tak seberapa dibanding rasa was-was saat melewati jalanan sepi di daerah hutan jati menjelang Magelang. Langit mulai gelap, dan di kiri-kanan jalan hanya pepohonan tinggi yang bergoyang diterpa angin. Tak ada lampu penerangan jalan, hanya sinar motor tua yang sesekali meredup karena aki yang mulai lemah.
Jantungnya berdegup kencang. Ia pernah mendengar cerita tentang perampokan di jalanan sepi seperti ini. Tapi ia terus melaju, berdoa agar bisa segera keluar dari area tersebut.
Ketika Semua Lelah Terbayar
Akhirnya, setelah hampir 15 jam perjalanan, Budi melihat gerbang selamat datang di kotanya. Rasa haru menyelimutinya. Seluruh tubuhnya terasa remuk, tetapi hatinya penuh kebahagiaan.
Ketika ia sampai di depan rumah, ibunya berlari kecil keluar dengan mata berkaca-kaca.
"Budi! Ya Allah, kamu pulang naik motor?"
Budi turun dari motor dengan kaki gemetar. Ia tersenyum lelah, "Iya, Bu. Yang penting pulang, kan?"
Ibunya memeluknya erat. Sejenak, semua rasa lelah, pegal, dan ketegangan perjalanan itu menguap. Yang tersisa hanya kehangatan rumah dan kebahagiaan bisa berkumpul kembali.
Mudik Bukan Sekadar Perjalanan, Tetapi Perjuangan