"Sekali saja Kakung itu endak pernah marah." ujar Eyang Uti menegaskan.
"Dalem Uti.. Pripun niku Uti kok Kakung tidak pernah marah.?" tanyaku penasaran.
"Iya.. Seumur-umur eyang uti hidup bersama Kakung, Kakung tidak pernah marah." kenang beliau sambil tersenyum seolah wanita muda yang tengah kasmaran.
"Sekali saja Kakungmu itu marah ketika beliau cemburu buta." sambung beliau berkisah.
Eyang Uti bercerita ikhwal Kakung marah dan itu pertama dan terakhir Eyang Kakung marah, ketika melihat Eyang Putri berboncengan dengan rekan kantornya, dan kejadian boncengan itu hanya sekali dan spontan adanya, karena rekan kerja Uti yang biasa beliau nebeng berhalangan kerja kala itu.
Uti hanya berboncengan  dalam jarak 50 meter dari depan kantor hingga jalan raya depan untuk menungu bus kota, dan era itu wanita Jawa masih lazim mengenakan kain jarik sebagai bawahan.
Menurut penuturan eyang uti beliau duduk berbonceng secara  menyamping karena beliau mengenakan kain jarik, dan bukan jenis boncengan ala-ala pasangan masa kini yang  seolah cewek yang dibonceng sedang memanjat pohon, dan tak ada interaksi berlebihan sama sekali dengan rekan kerjanya. Dan ya, mereka hanya rekan kerja.
Setalah hari itu, semua berjalan seperti sebelumnya. Eyang Uti pulang dari kantor menuju tempat pemberhentian bus dengan membonceng rekan kerja wanita yang biasa beliau tumpangi.
Aku bertanya kepada uti "Uti, Kakung marahnya pripun.?"
Dengan tersenyum dan menitikkan air mata beliau bertutur "Secangkir teh hangat yang eyang uti hidangkan untuk Kakung tetiba tumpah separuh cangkir."
Teh hangat yang dihidangkan itu tumpah tanpa ada secuil suara gaduh pun, tanpa ada suara gelas yang jatuh ataupun air teh yang disiramkan secara kasar.