Beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan oleh pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang mengungkap bahwa 46 persen lahan bersertifikat di Indonesia dikuasai hanya 60 keluarga. Laporan ini diberitakan Kompas (13 Juli 2025). Meski tidak dijelaskan secara rinci siapa pihak-pihak tersebut, pernyataan ini menggambarkan konsentrasi kepemilikan tanah yang sangat tinggi di tangan kelompok tertentu, dan menimbulkan kekhawatiran akan ketimpangan agraria di masa depan. Fakta ini mengundang satu pertanyaan mendasar: untuk siapa sebenarnya tanah di negeri ini disediakan?
Jika melihat ke Yogyakarta, situasi ini menjadi semakin menarik sekaligus rumit. Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, sebagian besar tanah di DIY berada di bawah hak penguasaan Keraton yang dikenal dengan Sultan Ground (SG) atau Pakualaman Ground (PAG). Secara historis, hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan sosial, budaya, dan kedaulatan masyarakat lokal. Namun, pada praktiknya, penguasaan tanah oleh Keraton tidak sepenuhnya membebaskan masyarakat dari tekanan komersialisasi. Sewa lahan, alih fungsi untuk investasi pariwisata, hingga proyek-proyek properti modern tetap berpotensi menyingkirkan masyarakat kecil.
Kekhawatiran ini semakin terasa nyata di Yogyakarta. Di balik citra romantisnya sebagai "kota pelajar" dan "kota wisata," masyarakat lokal kini berhadapan dengan realitas pahit tingginya harga tanah. Di pinggiran kota seperti Sleman, harga lahan diperkirakan naik rata-rata 10--15 persen per tahun, sementara di pusat kota bisa mencapai Rp20--50 juta per m. Lonjakan harga ini tidak sebanding dengan pendapatan warga lokal, sehingga tanah di wilayah strategis lebih mudah jatuh ke tangan pemodal luar ketimbang masyarakat asli. Dengan kata lain, warga lokal semakin sulit memiliki tanah di tempat lahirnya sendiri.
Kondisi ini kian diperparah dengan realitas sosial-ekonomi masyarakat lokal. Meski Indeks Pembangunan Manusia (IPM) DIY tahun 2024 menempati posisi tertinggi kedua di Indonesia sebesar 81,62, DIY masih menjadi salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa. Menurut BPS, kemiskinan DIY per September 2024 menunjukkan angka kemiskinan sebesar 10,40%, lebih tinggi dari ratarata nasional yang berada di kisaran 8,57%. Tingginya biaya hidup, terbatasnya lapangan pekerjaan formal, dan dominasi sektor pariwisata yang dikuasai investor luar membuat masyarakat lokal semakin sulit mempertahankan tanahnya. Ketika masyarakat kehilangan akses terhadap tanah, maka hilang pula akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan yang layak.
Data pariwisata pun mengungkapkan tren yang mengkhawatirkan. Di kawasan Malioboro, Prawirotaman, hingga Bantul, peningkatan jumlah hotel dan kafe telah menggeser warga lokal secara gradual. Data BPS mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir (2020--2024) terjadi lonjakan jumlah hotel berbintang di Daerah Istimewa Yogyakarta dari 172 unit menjadi 207 unit, dengan peningkatan terbesar terjadi di Kota Yogyakarta. Pertumbuhan hotel berbintang ini memperkuat proses gentrifikasi, di mana ruang hunian beralih menjadi kawasan komersial dan warga lokal semakin terdesak.
Dalam konteks ini, peran Keraton sebagai pemegang hak atas sebagian besar lahan di DIY tidak bisa dilepaskan dari dinamika yang terjadi. Meski tanah secara yuridis berada di bawah otoritas Keraton, praktik pengelolaannya dalam beberapa tahun terakhir dengan alih fungsi lahan Keraton untuk pembangunan hotel, apartemen, atau proyek komersial justru mempercepat proses terjadinya gentrifikasi. Jika kondisi ini terus berlanjut, Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat budaya dan pendidikan berisiko kehilangan ciri khasnya menjadi sekadar ruang investasi dan turisme tanpa jati diri. Warga lokal yang tidak mampu bersaing dalam arus kapitalisasi tanah akan perlahan terpinggirkan, baik secara fisik maupun ekonomi. Â Kehilangan masyarakat lokal artinya kehilangan ruh budaya yang selama ini menjadi identitas Yogyakarta.
Ketika keputusan pengelolaan tanah lebih menguntungkan investor ketimbang rakyat, nilai keadilan sosial yang seharusnya dijunjung menjadi dipertanyakan. Tanah adalah hak dasar rakyat, bukan sekadar aset ekonomi yang hanya diperjualbelikan di pasar investasi. Negara dan Keraton harus bersinergi untuk memastikan tata kelola lahan yang berkeadilan, berpihak pada masyarakat, dan tidak hanya menguntungkan investor besar. Jika tidak ada langkah konkret, kita hanya tinggal menunggu waktu ketika tanah di negeri ini tidak lagi menjadi milik rakyatnya sendiri, melainkan sekadar komoditas yang diperdagangkan di pasar modal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI