Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tapaleuk, Seni Merawat Bahasa Kupang oleh Pos Kupang

7 Januari 2022   20:34 Diperbarui: 7 Januari 2022   23:03 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tapaleuk | Pos Kupang

Sebagai penggemar rubrik tapaleuk lebih dari satu dekade, saya benar-benar merasakan bagaimana hati dan pikiran saya dibawa untuk ikut merasakan cerita dalam essay tersebut.

Bagi saya Indonesia itu unik. Ya, unik sekali. Indonesia memiliki banyak pulau dan banyak suku dengan bahasa yang berbeda-beda yang tercatat sebagai negara dengan jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia.

Sayangnya, keunikan itu terancam punah. Berdasarkan data kajian yang dilakukan Badan Bahasa, sejak tahun 2011-2019, terdapat 11 bahasa daerah di Indonesia yang telah punah, diantaranya bahasa Tandia dan Mawes di Papua serta bahasa Kajeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua dan bahasa Nila di Maluku.

Tidak sedikit juga, beberapa bahasa daerah terancam punah karena statusnya rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, bahkan kritis. UNESCO sendiri memperkirakan sekitar 3.000 bahasa lokal akan punah di akhir abad ini, tak terkecuali bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

Bahkan UNESCO mengklaim bahwa pada tahun 2100, hanya seperdua dari jumlah bahasa yang dituturkan oleh penduduk dunia. Klaim itulah yang akhirnya memunculkan perayaan Hari Bahasa Ibu setiap tanggal 21 Februari sejak tahun 1999.

Tentunya penetapan Hari Bahasa Ibu bertujuan untuk generasi-generasi muda sadar akan pentingnya bahasa daerah yang selama ini dijadikan sebagai bahasa ibu. Lebih dari itu, penuturan bahasa daerah tidak berhenti pada salah satu generasi tetapi dirawat dan diwariskan kepada anak cucu.

Rubrik Tapaleuk Pos Kupang

Di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Pos Kupang memiliki cara unik untuk merawat bahasa Kupang, bahasa yang menyatukan seluruh masyarakat NTT baik dari Flores, Sumba, Timor Alor, Rote dan Sabu.

Baca: Sepintas Tentang Bahasa Kupang, NTT

Sejak tahun 1992, jauh sebelum UNESCO menetapkan Hari Ibu, Pos Kupang menghadirkan tapaleuk sebagai salah satu rubrik yang saya sebut unik itu. Rubrik yang hadir setiap hari senin sampai sabtu itu ditulis para wartawan Pos Kupang tentang fenomena-fenomena sosial yang terjadi di NTT.

Kata tapaleuk dalam Kamus Pengantar Bahasa Kupang yang ditulis oleh June Jacob dan Charles E. Grimes (2003:212) diartikan dengan: "Jalan-jalan."

Tapaleuk ditulis dalam bentuk essai cerita. Essay yang melukiskan atau menghadirkan orang sehingga pembaca mampu membayangkan apa yang dibaca. Karena pembaca seolah-olah mendengar suara dari seseorang bahkan merasa hadir dalam cerita yang disajikan dalam essay tersebut.

Sebagai penggemar rubrik tapaleuk lebih dari satu dekade, saya benar-benar merasakan bagaimana hati dan pikiran saya dibawa untuk ikut merasakan cerita dalam essay tersebut.

Kekhasan tapaleuk bukan hanya terletak pada penggunaan bahasa Kupang tetapi tokoh utama yang tak tergantikan, Ama Tobo dan istrinya Ina Feok dan Bai Ndu. Di Kupang, ama merupakan panggilan untuk laki-laki atau bapak, Ina untuk perempuan atau ibu. dan bai untuk kakek.

Baca: TAPALEUK: Su Pasti Ini Taon Kelaparan

Ketiga tokoh ini tak tergantikan dalam rubrik tapaleuk sejak pertama kali saya mencintai koran. Kadang-kadang saya bertanya, Bai Ndu masih ada ya? Beliau umur panjang ya, padahal sudah tua. Hehe

Terlepas dari intermeso di atas, bagi penulis, rubrik tapaleuk adalah sebuah seni membangun keakraban antara media dan masyarakat yang familiar dengan bahasa Kupang, sebagai pasar sekaligus bahasa ibu. Tentunya, masyarakat akan lebih paham tentang maksud dan tujuan yang disampaikan dibandingkan dengan opini dengan kelas kata yang sulit dicerna oleh masyarakat awam. 

Selain itu, yang teristimewa, rubrik tapaleuk adalah seni merawat bahasa daerah dalam hal ini bahasa Kupang yang terus digempur oleh perkembangan modernisasi. Karena itu, Pos Kupang tak hanya menerbitkan tapaleuk terbatas pada media cetak tetapi juga dihadirkan dalam bentuk digital yang lebih akrab dengan generasi milenial dan generasi Z.

Seni merawat bahasa oleh Pos Kupang patut dicontohi, tak terkecuali Kompasiana. Mungkinkah Kompasiana menghadirkan rubrik khusus untuk artikel-artikel yang disajikan dalam bentuk bahasa daerah? Saya pikir ini menarik, dengan semakin populernya Kompasiana dengan pendatang baru yang dikatakan 'membludak', mungkin kita akan menyelematkan bahasa-bahasa yang berkategori rentan, terancam punah bahkan kritis sekalipun.

Salam!

Kupang, 07 Januari 2022
Neno Anderias Salukh

Referensi:

Data Kemendikbud 2011-2019: 11 Bahasa Daerah di Indonesia Punah - Kompas.com

TAPALEUK-Pos Kupang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun