Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menatap Masa Depan Pertanian Indonesia

2 Agustus 2020   14:31 Diperbarui: 2 Agustus 2020   21:20 1484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perlu adanya regenerasi petani, agar krisis petani yang dikhawatirkan di beberapa tahun mendatang tidak terjadi| SUmber: Dokumentasi Humas Kementan

Harus diakui bahwa sektor pertanian turut berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dilansir dari Katadata, berdasarkan data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian hanya kalah dari sektor industri. 

Struktur PDB sektor pertanian sebesar 13,45 persen sedangkan sektor industri 19,62 persen pada kuartal III tahun 2019. Angka ini juga menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir terjadi pertumbuhan PDB yang sangat luar biasa dan patut diapresiasi.

Akan tetapi, kita tidak bisa berbangga dengan pencapaian tersebut dan melupakan hal-hal fundamental yang lain. Jika kita menengok sejarah, angka tersebut menurun drastis. Tercatat sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 2018, kontribusi pertanian terhadap PDB menurun drastis dari 22,09 persen menjadi 13 persen. 

Bahkan, serapan tenaga kerja untuk sektor pertanian juga menurun tajam dari 55,3 persen menjadi 31 persen pada periode yang sama (CNBC Indonesia, 14 November 2019).

Padahal, potensi alam Indonesia sangat diunggulkan di bidang pertanian yang tidak dimiliki oleh negara lain. Misalnya iklim tropis yang sangat mendukung pertumbuhan komoditas pangan strategis seperti padi, jagung, ubi kayu, dan kedelai termasuk komoditas yang lain seperti buah-buahan, sayuran, dan rempah-rempah.

Selain itu, Indonesia yang dijuluki sebagai negara mega biodiversity menempati urutan pertama keanekaragaman hayati laut dan menempati urutan kedua keanekaragaman hayati darat. Juga, bukan sebuah rahasia jika kondisi lahan di Indonesia termasuk lahan yang sangat subur.

Bermodalkan potensi alam demikian, seharusnya Indonesia mengungguli negara-negara yang lain dalam hal ekspor hasil pertanian atau setidaknya memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri yang berpengaruh pada pencegahan impor hasil pertanian yang semakin hari semakin membludak. Bahkan mungkin, kontribusi PDB-nya bisa melampaui sektor industri.

Bukan rahasia lagi jika masalah pertanian indonesia adalah regenerasi petani. Jumlah petani semakin hari semakin menurun yang menunjukkan bahwa ada masalah dalam regenerasi petani. 

Berdasarkan data BPS terbaru, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terhitung dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2019, pekerja di sektor pertanian berkurang sebanyak 6 persen dari angka 33 persen ke 27 persen sedangkan dari tahun 2018 ke 2019 saja berkurang sebanyak 4 persen dari 31 persen ke 27,33 persen.

Data tersebut menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah petani yang signifikan. Hasil survei pertanian antar sensus (SUTAS) 2018 pun menunjukkan bahwa rata-rata umur petani-petani di Indonesia berkisar dari 45 tahun ke atas. 

Semakin usia ke atas jumlah petani semakin banyak dan sebaliknya semakin usia ke bawah jumlah petani semakin sedikit.

ilustrasi sawah | Shutterstock
ilustrasi sawah | Shutterstock

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung beralih dari dunia pertanian. Daya tarik sektor pertanian semakin hari semakin terkikis. Berdasarkan hasil survei Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), hanya 23,30 persen petani holtikultura yang mengaku bahwa orang tuanya yang mengajarkan usaha tani dan 12 persen petani padi yang mengaku bahwa orang tuanya yang mengajarkan usaha tani (Tirto).

Di Nusa Tenggara Timur, petani menurut perspektif orang tua yang berprofesi sebagai petani adalah orang miskin. Perspektif ini sejatinya merupakan sebuah stigma yang pelan-pelan merusak proses regenerasi petani. 

Bagi mereka, petani tidak menghasilkan uang karena hanya bekerja untuk makan. Realita pun menegaskan perspektif mereka. Hasil pertanian sulit dipasarkan, sulit diekspor keluar. Jangankan keluar negeri, ke luar daerah pun masih sulit.

Data penduduk miskin pun memengaruhi perspektif masyarakat. Menurut Data BPS tahun 2019, sebanyak 49,41 persen penduduk miskin berprofesi sebagai petani. Memang tidak semua petani tergolong penduduk miskin dan tidak semua penduduk miskin berprofesi sebagai petani tetapi angka ini sangat berpengaruh.

Penyebabnya memang kompleks. Selain akses infrastruktur, sumber daya manusia belum memadai dalam budidaya pertanian dan manajemen pemasaran hasil produksi pertanian. 

Di samping itu, modernisasi pertanian seperti penggunaan bahan-bahan kimia yang terus mengalir deras ke desa-desa yang tentunya berpotensi menghancurkan mata pencaharian mereka.

Dalam artikel Ironi Kepunahan Jeruk Soe yang diterbitkan penulis di Kompasiana, menyinggung penggunaan pupuk kimia yang mengakhiri kejayaan Jeruk Keprok Soe. 

Bagi penulis, bantuan bahan kimia pertanian ke desa-desa adalah sebuah pemaksaan yang berujung pada nasib petani yang tak menentu. Harus diakui pula bahwa petani-petani tradisional tidak cukup pengetahuan untuk mencerna detail penggunaan bahan kimia baik dampak positif maupun negatifnya.

Akibatnya, profesi sebagai petani yang dinilai sebagai profesi miskin tidak dikehendaki oleh orang tua apalagi diregenerasikan kepada kaum milenial. Sekolah berarti tidak boleh menjadi petani. Sekolah untuk berpakaian dinas dan sekolah untuk duduk di kantor.

Untuk keluar dari permasalahan tersebut, awalnya diperlukan rekonstruksi mindset bagi seluruh masyarakat Indonesia bahwa petani memiliki peran yang sangat penting. Bukan soal kasta, miskin atau kaya tetapi soal usaha dan kerja keras di bidang tersebut.

Perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan seluruh elemen dan lapisan masyarakat untuk membangun pendidikan yang berpihak. Pendidikan yang berpihak adalah pendidikan yang sesuai dengan kehidupan masyarakat sekitar. 

Jika pendidikan hanya menciptakan generasi yang berasal dari petani tidak tertarik menjadi petani maka perlu evaluasi terhadap pendidikan itu. Kata Butet Manurung, pendidikan adalah untuk mengenal jati diri.

Bagi penulis, di tengah gencarnya kampanye penggunaan produk pertanian organik di seluruh dunia, pendidikan yang berpihak adalah pendidikan yang sangat tepat bagi masyarakat yang berprofesi sebagai petani untuk regenerasi petani. 

Sebagaimana problematika sumber daya manusia yang sedang dihadapi, pendidikan yang berpihak akan memagari mereka dari ancaman modernisasi yang memaksakan mereka untuk menerapkan pertanian non organik. 

Pengetahuan tradisional terus dikembangkan dengan bantuan pendidikan yang ramah terkait dengan manajemen hasil produk pertanian dan budidaya organik yang lebih tepat untuk menghadapi era industri 4.0

Pada dasarnya, pertanian organik merupakan pertanian yang bebas Genetically Modified Organism (GMO), pestisida sintesis dan pupuk sintesis. Pertanian semacam ini sudah diterapkan oleh masyarakat pedesaan sejak dulu tetapi kehadiran produk-produk tersebut merusak budaya pertanian mereka sehingga pendidikan yang berpihak akan menolong mereka untuk keluar dari pengaruh negatif modernisasi.

Menjadi petani yang mengusahakan produk organik akan menjamin masa depan petani-petani di Indonesia. Bukan hanya dalam negeri tetapi di luar negeri juga membutuhkan produk-produk organik. 

Menurut riset yang dilakukan oleh Organic Trade Association, penjualan produk organik mengalami peningkatan 5,9 persen pada tahun 2018 yang mencapai 47,9 juta dolar. Penjualan ini pun diprediksi akan meningkat hingga 60 juta dolar pada tahun 2022 (kontan.co.id).

Tentunya, produk organik memiliki peluang yang sangat besar pada tahun-tahun mendatang sehingga pendidikan yang berpihak, rekonstruksi mindset dan penerapan pertanian organik perlu dijalankan secara bersama-sama oleh pemerintah dan semua masyarakat yang telah sadar tentang pentingnya pertanian. 

Penulis percaya, krisis petani yang dikhawatirkan akan terjadi pada 10-15 tahun mendatang tidak akan terjadi.

Salam!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun