Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Balada Pilpres: Prabowo dan Jokowi Korban Isu Radikalisme

16 Juli 2019   17:48 Diperbarui: 17 Juli 2019   07:35 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi menang pilpres 2019 bukan semata-mata karena ia membangun tanpa memandang bulu tetapi terdapat sebuah isu tentang ideologi baru yang menghancurkan lawannya sendiri, Prabowo Subianto.

Ideologi radikalisme menjadi isu penting dalam tiga tahun terakhir. Bermula dari penolakan Ahok dan beberapa kejadian yang mengaitkan agama dan lain sebagainya. Tapi, bukan Prabowo yang menolaknya.

Kelihatannya ideologi radikalisme yang berkembang memiliki misi khusus untuk menguasai Indonesia dengan menggeser Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan, keutuhan NKRI diancam dipecah-belah.

Jokowi sebagai presiden tidak tinggal diam. Ormas yang dinilai memiliki ideologi radikalisme seperti HTI dibubarkan meskipun banyak pihak yang menolak karena dinilai pembubaran HTI tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Namun, yang terpenting bagi mantan walikota Solo ini adalah keutuhan NKRI dan Pancasila yang tidak bisa dipecah-belah dan diubah karena perjuangan mewujudkan NKRI dan menyatukan Indonesia dalam sebuah ideologi bukan proses yang mudah tetapi membutuhkan perjuangan dan pengorbanan.

Keringat menetes dan darah mengalir bahkan korban jiwa berjatuhan demi mewujudkan negara yang penuh keberagaman ini menuju sebuah negara kesatuan yaitu NKRI.

Akan tetapi, dengan militansi radikalis, kaum radikalisme tetap berusaha menggeser Jokowi yang dinilai sebagai momok bagi perjuangan mereka merebut NKRI. Perjuangan mereka benar-benar terselubung tetapi mengerikan.

Salah satu cara mereka adalah memanfaatkan momentum Pilpres 2019. Lawan Jokowi hanyalah Prabowo Subianto dan di atas kertas, Jokowi unggul atas Prabowo. Kasus ini dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.

Memanfaatkan posisi Prabowo sebagai underground adalah satu-satunya cara mereka.

Kondisi ini tak disadari oleh Prabowo mengingat Prabowo menyadari minim pendukung sehingga dengan adanya dukungan dari kaum radikalisme, Prabowo dengan senang hati menyambut baik.

Akan tetapi, sepertinya kasus ini berlaku saling memanfaatkan. Prabowo memanfaatkan hatersnya Jokowi dan kaum radikalisme yang sebenarnya terlebih dahulu memanfaatkan kelemahan Prabowo yang minim pendukung.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa Pilpres 2019 dinodai dengan isu agama atau politik identitas. Iya, kita tidak bisa pungkiri. Jokowi sengaja dituduh oleh kaum radikalisme sebagai pemeluk Agama Kristen terselubung dan ini membuat Jokowi terancam tidak terpilih lagi pada Pilpres 2019. Itulah mengapa Jokowi mencoba menetralkan dengan menggandeng sang Kiai sebagai wakil presiden.

Selain itu, isu makan babi, keturunan Tionghoa dan menantu yang hamil hingga berhubungan badan dengan Ibu Megawati disebut oleh Adiyan Napitupulu sebagai fitnah door to door terus menghampiri Jokowi. Namun, isu agama lebih kuat dibanding dengan isu-isu murahan itu.

Untuk itu, Jokowi menyiapkan strategi yang matang untuk membendung isu yang murahan tapi mengerikan ini. Sehingga menggandeng Kiai Ma'ruf sebagai wakil presiden yang notabenenya ketua MUI adalah langkah cerdik.

Menggandeng Kiai Ma'ruf mengejutkan pendukung Jokowi yang merupakan mayoritas pendukung Ahok juga. Awalnya, banyak pendukung Jokowi kecewa dengan keputusan Jokowi menggaet Kiai Ma'ruf yang notabenenya memimpin Demo 212.

Di sisi lain, kaum radikalisme yang mau menjatuhkan Jokowi dengan isu agama terpukul karena kekuatan Kiai Ma'ruf di kalangan muslim tidak bisa dipandang sebelah mata.

Menarik, hal ini bukan rahasia lagi bagi publik. Akan tetapi publik diam seolah-olah semuanya berjalan normal. Bahasa-bahasa politik dari kaum-kaum politisi mencoba membutakan publik dan lawan politik bahwa tidak ada niat atau misi lain selain Indonesia Maju.

Kita mungkin seringkali mendengar dialog-dialog politisi di Mata Najwa yang menghadirkan orang-orang seperti Adyian Napitupulu, Dahnil Simanjuntak, Mardani Ali Sera dan lain sebagainya. Saya tidak menyatakan bahwa mereka berbohong atau mereka adalah kaum radikal tetapi mereka sebagai contoh politisi yang selalu membius publik dengan kata-kata manis mereka.

Setiap untaian kalimat yang keluar dari mulut mereka membuat publik seakan percaya tetapi mereka pun tidak sadar bahwa tatapan publik membuat mereka seakan percaya bahwa publik percaya pada mereka.

Prabowo Subianto dkk murni berjuang untuk NKRI tetapi seiring berjalannya waktu, Prabowo sepertinya dipengaruhi oleh beberapa paham yang membuat orasi-orasinya kontroversi bahkan dibenci publik.

Banyak yang bertanya, inikah Prabowo Subianto yang saya kenal? Prabowo sepertinya berubah 180 derajat dari yang dikenal. Saya sangat mengidolakan Prabowo dan memilihnya pada Pilpres 2014 dan setiap kali pemilu, partainya menjadi sasaran paku yang saya pegang tetapi semuanya berubah dalam hati saya menjelang pemilu 2019.

Saya bukan membenci Prabowo tetapi meragukannya. Saya takut pada mereka yang menungganginya. Saya tidak takut mati tapi takut kehilangan Pancasila yang menyatukan NKRI dalam segala perbedaan.

Isu agama tidak bisa dibendung, hal ini dinyatakan dengan perolehan suara di setiap provinsi. Mahfud MD pernah berkomentar soal ini tetapi diserang habis-habisan oleh mereka yang tidak mengetahui misi terselubung salah satu kaum.

Saya tidak menyatakan bahwa daerah-daerah yang dimenangkan oleh Prabowo-Sandi adalah kaum radikalisme. Saya mau katakan bahwa mereka berhasil dipengaruhi oleh kaum radikal dengan isu agama dalam menentukan pilihan.

Manusiawi, sebaik apa pun seseorang, fanatisme suku dan agama pasti ada tetapi bukan menjadi fanatik yang membabi-buta buta. Oleh karena itu, dalam sekejap seseorang bisa dipengaruhi untuk memilih karena Suku, Agama, atau Ras walaupun dia tahu itu memiliki dampak yang negatif. Itulah naluri manusia yang hidup dalam sebuah komunitas.

Ambisi kaum radikalisme tidak berhenti setelah pilpres. Mereka terus memanfaatkan seruan People Power agar kalau dapat Jokowi-Ma'aruf didiskualifikasi.

Tindakan BPN untuk mengusut tuntas dugaan kecurangan Pilpres perlu diapresiasi tetapi di balik itu mereka tidak sadar dengan para penunggang.

Akibatnya, Amin Rais yang dikenal sebagai tokoh penting dalam sejarah reformasi Indonesia pun dinilai mendukung kaum radikalisme padahal tidak.

Prabowo Subianto yang patriotik dan nasional pun demikian. Dianggap sebagai salah satu tokoh yang mendukung radikalisme oleh pendukung Jokowi padahal tidak.

Ini dapat saya simpulkan bahwa benar bahwa ada misi kaum radikalisme untuk menguasai Indonesia dan anggapan publik Prabowo Subianto hanyalah sebuah halusinasi ketakutan dan hal itu tidak bisa dipungkiri.

Ini pelajaran penting bagi Prabowo dan untuk masyarakat Indonesia. Pelajaran yang seharusnya dicatat dalam sejarah karena pemilu yang memakan ratusan korban jiwa.

Sekali lagi, Pertemuan Jokowi dan Prabowo membuktikan siapa Prabowo yang sebenarnya dan bukti itu dituangkan dalam secarik kertas untuk sang Pahlawan Reformasi, Amin Rais.

Demikianlah bunyinya:

"Pak Amien kemungkinan 13 Juli, jadi esok harinya, akan ada pertemuan dengan Pak Jokowi. Bagi saya, Pak Amien, kepentingan lebih besar yaitu keutuhan bangsa, NKRI, dan lain-lain."

Neno Anderias Salukh
Mauleum, 16 Juli 2019

Referensi: Kompas dan Wikipedia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun