Guru-guru sebagai pemeran utama di sekolah juga belum sesuai dengan harapan, guru-guru PNS Â ditumpuk di sekolah-sekolah kota, sekolah-sekolah di desa di huni oleh para honorer yang tidak menetap. Bahkan terdapat sekolah yang hanya memiliki satu orang guru PNS yaitu Kepala Sekolah dan lainnya adalah guru honor. Guru-guru honor ini pun kesulitan akses ke sekolah karena kondisi geografis.Â
Hal ini diperkuat dengan gaji yang tidak memenuhi kebutuhan bahkan ada yang mengabdi tanpa upah. Gaji mereka tidak cukup untuk perjalanan pulang pergi selama satu bulan.Â
Akhirnya, siapapun dia pasti memilih untuk mengerjakan pekerjaan lain dibanding ke sekolah. Sementara, uang negara dihabiskan untuk sertifikasi dan dana terpencil bagi guru PNS yang peran dan kualitasnya sama dengan honorer yang bahkan mengabdi tanpa upah. Selain itu, dana dihabiskan untuk pelatihan Kurikulum yang terus direvisi.
Kondisi ini terlihat Pemerintah Indonesia memaksakan Kurikulum sebagai sentral pendidikan dan mengabikan guru yang seharusnya sebagai sentral dalam roda perkembangan pendidikan. Buktinya, perkembangan kurikulum tidak menjamin kualitas pendidikan yang baik, yang menjamin adalah kualitas guru itu sendiri.
Akibatnya, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah menjadi tidak efektif yang pada akhirnya berpengaruh pada kualitas dan output sekolah. Siswa yang diharpakan menjadi pilar kecerdasan untuk anak dan cucu mereka sebagai generasi sekarang dan yang akan datang serta memutus mata rantai kebodohan menuju ke arah masa depan yang cerdas, berkompeten, berdaya saing tinggi, berkarakter dan religi hanyalah sebuah halusinasi. Peraturan Pemerintah tentang penidikan hanyalah sebuah konsep tak bermakna.
Tempat bagi generasi-genarasi penerus bangsa di desa tidak dapat menjadi jembatan pendidikan yang layak hanya oleh keterbatasan yang semestinya bisa kita atasi bersama.