Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Drama Kasus "Rizieq Shihab vs Ahok"

7 Juni 2018   09:38 Diperbarui: 7 Juni 2018   09:54 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: jocuri-fotbal.info

SEBUAH negara tidak akan luput dari kejahatan karena pada hakikatnya manusia memiliki naluri untuk berbuat jahat dan berbuat baik sebagaimana yang dikatakan seorang kompasioner, Ellen Maringka dalam tulisannya "Dua Sisi Manusia (Kebaikan vs Kejahatan).

Dalam paragraf pembukanya ia mengatakan "All humans come as a package deal. You can't have just one aspect of a person and say you don't want the rest." (semua manusia datang sebagai satu keutuhan paket. Anda tidak bisa hanya mau memiliki satu sisinya dan menolak yang lainnya). Oleh karena itu, setiap negara memiliki landasan hukum yang berfungsi sebagai alat untuk ketertiban dan keteraturan masyarakat.

Sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki suatu landasan hukum untuk mengatur ketertiban dan keteraturan masyarakat apalagi Indonesia dikenal dengan sebutan negara demokrasi yang memiliki kedaulatan hukum dan menjadikan semua warga negara indonesia sama di mata undang-undang sebagaimana yang dikatakan Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid "Demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga negara tenpa mebedakan latar belakang ras, suku agama dan asal mula, di muka-undang-undang".

Justice is everything dalam sebuah negara demokrasi. Hukum dalam sebuah negara demokrasi harus benar-benar menegakan keadilan. Oleh karena itu, dengan adanya sistem dan lembaga Indonesia, berfungsi untuk menegakan keadilan dan menyatakan kebenaran. Namun, cermatilah pernyataan ini "Selama tiga puluh dua tahun pemerintah Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah".

Pernyataan di atas merupakan kutipan Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara yang menggambarkan kondisi hukum selama orde baru. Kemudian dalam TAP MPR tersebut ditetapkan untuk menormalisasi kehidupan negara yang jauh dari peradilan yang menjadi fokus pembicaraan pada masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi.

Ketika negara Indonesia menginjakan kaki di masa Reformasi, terdapat sukacita yang besar dalam diri masyarakat Indonesia karena hukum Indonesia diyakini telah bangkit dan membawa suatu perubahan. Namun, seiring berjalannya waktu hingga detik ini, kekuatan hukum mulai melemah, kepercayaan rakyat pada hukum mulai pudar dan keadilan menjadi suatu hal yang sulit ditegakan.

Seorang presenter televisi, Najwa Shihab mengatakan tiga hal tentang kondisi hukum. Pertama, "Keadilan jadi barang sukar, ketika hukum hanya tegak pada yang bayar". Kedua, "Bagaimana rakyat bisa percaya hukum, jika sang penegak yang justru melanggar hukum".Ketiga, "Saat hukum terbelit begitu mudah, langit keadilan runtuh menimpa si lemah (minoritas)". Apakah ini adalah penyebab hukum mulai lemah dan kehilangan identitas? Mari kita melihat Drama kasus "Rizieq Shihab" vs "Ahok"

Analisis kronologis kasus Ahok

Pada tahun 2012, Ahok terpilih mendampingi Jokowi memimpin Ibukota kemudian pada tahun 2014, Jokowi terpilih menjadi presiden Republik Indonesia sehingga Ahok resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta sesuai Perpu Pilkada No 1 tahun 2014 pada tanggal 14 November 2014. Namun, pada saat itu Front Pembela Islam (FPI) melakukan demo besar-besaran untuk menolak Perpu Pilkada tersebut dengan alasan "Ahok beragama Kristen (Kafir) yang tidak pantas memimpin Ibukota".

Pertanyaannya adalah adakah landasan hukum dari alasan tersebut? Tidak ada. Oleh karena itu, apapun yang terjadi Ahok resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Selama masa kepemimpinannya, Ahok menjadi sosok idola oleh masyarakat Jakarta karena kedekatannya dan kerjanya yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Namun, keinginan dan doktrin yang dianut oleh FPI tetap hidup sehingga Ahok harus diturunkan dari kursi jabatan Gubernur DKI. Lagi-lagi masih terdapat paham di Indonesia yang tidak menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berbagai macam cara dilakukan untuk melengserkan mantan bupati Bangka Belitung yang pernah meraih Bung Hatta Awards sebagai pejabat bersih korupsi. Mulai dari unjuk rasa sampai kasus tuduhan korupsi pada Rumah Sakit Sumber Waras. Namun, belum ada satu cara ampuh yang mampu menggoyangkan kursi tahta Pak Ahok.

Pada tanggal 27 September 2016, Ahok melakukan kunjungan kerja terhadap program budidaya karapu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Dalam pidatonya ahok menyampaikan bahwa program ini akan terus dilanjutkan walaupun ia tidak akan terpilih menjadi Gubernur lagi, sehingga warga tak harus memilihnya hanya semata-mata ingin program ini terus dilanjutkan.

"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu," katanya.

"Program ini (pemberian modal bagi budi daya kerapu) jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok," tambahnya.

Pidatonya di atas kemudian menuai kontroversi setelah pada tanggal 6 Oktober 2017, Buni Yani mengunggah video rekaman tersebut yang telah di edit dan memotong kata "pakai" dengan menulis 'karena dibohongi Surat Al Maidah 51' dan bukan "karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51', sebagaimana aslinya.

Tidak lama kemudian, Ahok dilaporkan ke polisi oleh FPI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga Ahok mengambil insiatif meminta maaf kepada seluruh umat Islam terkait ucapannya dan mengklarifikasi ucapannya itu di Bareskrim Mabes Polri. Namun, unjuk rasa besar-besaran yang ricuh terus dilakukan oleh berbagai ormas Islam menuntut Ahok dipidanakan dan dipenjarakan karena melakukan penistaan agama.

Masalah ini tersebut berujung pada Ahok dijatuhi hukuman 2 tahun penjara karena melanggar Pasal 156 a KUHP Jo pasal 28 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Tak lama kemudian Buni Yani pun dituntut oleh jaksa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan karena jaksa menilai Buni Yani terbukti bersalah atas kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Berdasarkan masalah ini, bagi saya ada dua hal dimana satunya jadi penyebab dan satunya jadi akibat sehingga terdapat hal yang tidak logis dalam keputusan ini karena Ahok dan Buni Yani sama-sama dinyatakan bersalah. Jika Ahok dinyatakan bersalah menista agama berarti benar ucapannya seperti ini "Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi Surat Al Maidah 51 macam-macam itu.

Secara otomatis, Buni Yani benar, dia tidak melakukan pemotongan video sedikitpun atau Jika Buni Yani salah karena melakukan pemotongan video berarti ucapan Ahok seperti ini "Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Hal ini berarti Ahok benar karena pernyataannya menunjukan kebenaran Surat Al Maidah. Nah, dari analisis ini, bukankan inilah keputusan yang sangat tidak logis? Secara logika, seharusnya "Jika Ahok Benar maka Buni Yani Salah" atau sebaliknya "Jika Ahok Salah maka Buni Yuni  Benar". Mari pikirkan ini bersama-sama!

Analisis kronologis kasus Rizieq Shihab

Pada tanggal 27 Oktober 2016, Sukmawati Soekarnoputri melaporkan Rizieq ke Bareskrim terkait pernyataan Rizieq yang menyatakan "Pancasila Soekarno Ketuhanan ada di Pantat sedangkan Pancasila Piagam Jakarta Ketuhanan ada di Kepala" yang terekam dalam video. Kemudian pada kasus tersebut dilimpahkan ke Polda Jawa Barat karena kasus tersebut terjadi di Jawa Barat.

Pada tanggal 30 Januari 2017, Rizieq ditetapkan sebagai tersangka dan diperiksa oleh penyidik namun kemudian pada bulan Februari 2018 Polda Jabar mengeluarkan SP3 untuk pemberhentian kasus penodaan Pancasila yang diakui sebagai Ideologi terbaik di Indonesia karena tidak cukup bukti sebagaimana yang dikatakan  Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Umar Surya Fana kepada detik.com via pesan singkat, Jumat (4/5/2018).

Pada saat yang sama akhir Januari 2017, ketika Rizieq ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penghinaan Pancasila, jagat media sosial dihebohkan dengan tersebarnya screenshot percakapan via WhatsApp berkonten pornografi yang diduga melibatkan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan Firza Husein.

Mapolda Metro Jaya melakukan panggilan kepada Rizieq dan Firza, namun pada saat itu yang memenuhi panggilan Mapolri Metro Jaya adalah Firza karena Rizieq sedang umroh. Kemudian Firza ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan Chat Pornografi bersama pimpinan ormas FPI.

Firza pun dijerat Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan atau Pasal 8 juncto Pasal 34 Undang Undang RI nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara setelah ahli telematika mengkonfirmasi bahwa percakapan pornografi yang diduga dilakukan oleh Rizieq dan Firza itu adalah asli.

Meski ditetapkan sebagai tersangka, polisi tak menahan Firza. Alasanya, kondisi kesehatan Firza memburuk setelah ditetapkan tersangka.

Setelah menetapkan Firza sebagai tersangka, polisi tak langsung menetapkan Rizieq sebagai tersangka juga. Polisi masih menunggu hingga Rizieq kembali ke Indonesia. Namun, dua pekan setelah Firza ditetapkan sebagai tersangka Rizieq tak kunjung kembali ke tanah air. Melalui pengacaranya ia mengatakan menolak kembali ke Indonesia karena merasa didiskriminasi, karena kasus ini telah direkayasa dan sengaja digulir untuk membunuh karakternya.

Akhirnya, pada Senin (29/5/2017) polisi kembali melakukan gelar perkara. Hasil dari gelar perkara tersebut menyimpulkan polisi menetapkan Rizieq sebagai tersangka tanpa perlu terlebih dahulu menunggu Rizieq kembali ke Indonesia. "Ada alat bukti yang sudah ditemukan penyidik dari hasil gelar perkara, sudah layak dinaikkan jadi tersangka," ujar Argo, di Mapolda Metro Jaya, Senin sore.

Rizieq dijerat Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan atau Pasal 9 juncto Pasal 34 Undang Undang RI nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.

Namun, terlepas dari Rizieq tidak berada di Indonesia, kasus Rizieq belum kelar-kelar sampai dengan detik ini hingga tanggal 07 Juni 2018 berdasarkan berita pada Liputan6 tentang beredar dugaan kasus chat pornografi yang melibatkan ketua FPI ini akan dihentikan karena kasus tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana yang dikatakan Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Ma'arif. Pengakuan yang sama datang dari kuasa hukum Rizieq, Kapitra Ampera bahwa kasus ini telah dihentikan. Kemudian dilakukan konfirmasi dari Polda Metro, banyak Polisi yang belum tahu tentang itu.

Meski sejumlah petinggi Polri mengaku belum tahu, namun sinyal bahwa kasus dugaan chat seks yang melibatkan Rizieq Shihab dan Firza Husein akan dihentikan, tertangkap dari pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Mohammad Iqbal.

"Tentang SP3 (Rizieq Shihab), itu suatu kemungkinan. Bisa jadi di SP3 (dihentikan)," ujar Iqbal di Wisma Bhayangkari, Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (6/6/2018).

Nah, terlepas dari akan adanya SP3 terkait kasus tersebut, saya mencoba berandai di bagian ini. Misalkan, kemudian pada akhirnya, kasus ini diberhentikan maka terdapat dua kasus yang diberhentikan yaitu "Penghinaan Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia" dan "Kasus Pornografi yang benar-benar dilarang di Negara Kesatuan Republik Indonesia".

Pertama, pada bagian ini, sebagai masyarakat awam, saya menemukan ketidakadilan, antara masalah Ahok dan Rizieq. Masalahnya Penistaan Agama yang tidak menghargai Agama lain sebagaimana di atur dalam sila pertama Pancasila dan masalah penghinaan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia dimana penghinaan ini meliputi tidak menghargai agama lain, tidak menghargai keadilan, persatuan dan semua nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Namun, pada akhirnya melanggar sebagian dari nilai-nliai pancasila lebih kejam dari pada melanggar semua nilai-nilai pancasila.

Kedua, antara menista agama dan melakukan adegan pornografi atau entah apapun itu yang termasuk pornografi, pasti semua orang lebih memilih terlibat kasus pornografi lebih baik dibanding menista agama. Sadar atau tidak sadar, pemerintah telah melegalkan pornografi di Indonesia yang akan berakibat seks bebas, hamil di luar nikah, pemerkosaan dan lain sebagainya yang tak terbendung di Indonesia.

Pada akhir-akhir ini, sering kita temui kasus pemerkosaan dan tindakan pornografi lainnya sebagian besar terjadi di media sosial maka dari kejadian ini, cyber crime akan terus merajalela.

Oleh karena itu, kasus ini bukan kasus yang sepele untuk dibiarkan dan diberhentikan tetapi harus melalui langkah hukum yang pasti. Cara apapun itu, polri perlu bertindak untuk cepat mengusut tuntas kasus tersebut. Namun, jika pada akhirnya kasus ini dihentikan maka benar-benar sebuah dram terjadi di Republik ini.

#Tulisan ini saya buat sebagai ungkapan isi hati sebagai orang awam yang tidak mengerti hukum tapi mengerti kebenaran yang berlandaskan PANCASILA#

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun