Mohon tunggu...
Neni Hendriati
Neni Hendriati Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 4 Sukamanah

Bergabung di KPPJB, Jurdik.id. dan Kompasiana.com. Hasil karya yang telah diterbitkan antara lain 1. Antologi puisi “Merenda Harap”, bersama kedua saudaranya, Bu Teti Taryani dan Bu Pipit Ati Haryati. 2. Buku Antologi KPPJB “Jasmine(2021) 3. Buku Antologi KPPJB We Are Smart Children(2021) 4. Alam dan Manusia dalam Kata, Antologi Senryu dan Haiku (2022) 5. Berkarya Tanpa Batas Antologi Artikel Akhir Tahun (2022) 6. Buku Tunggal “Cici Dede Anak Gaul” (2022). 7. Aku dan Chairil (2023) 8. Membingkai Perspektif Pendidikan (Antologi Esai dan Feature KPPJB (2023) 9. Sehimpun Puisi Karya Siswa dan Guru SDN 4 Sukamanah Tasikmalaya 10. Love Story, Sehimpun Puisi Akrostik (2023) 11. Sepenggal Kenangan Masa Kescil Antologi Puisi (2023) 12. Pantun Kontemporer (2024), 13. Pantun Seloka (2024) 14. Cerita Anak Tema Lebaran KPPJB (2024), 15. Sisindiran KPPJB, 16. Puisi Trilogi Ritus Katarsis Situ Seni (2024). Harapannya, semoga dapat menebar manfaat di perjalanan hidup yang singkat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pendekar Samber Nyawa

19 Februari 2023   11:50 Diperbarui: 19 Februari 2023   11:51 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Teeeet....!" alarm HP berbunyi kencang.

Cici menatapku.

"Aaaa, kok, cuma sebentar, sih!" keluh Cici.

Waktu bermain game selama 30 menit baginya sudah habis. Sekarang giliran Dede, adiknya. Mereka bermain gawai secara bergiliran, sambil kusuapi makan pagi.

Hap, hap, mereka akan makan dengan lahap. Mata mereka pun tak lepas dari gawai.

Akhir pekan, cucu-cucuku yang duduk di kelas satu SD dan TK Besar, selalu menginap di tempatku. Dan hari Minggu, mereka boleh main gawai secara bergiliran. Yang tidak kebagian main, boleh mengintip gawai yang dimainkan saudaranya, atau beristirahat.

Cici menyerahkan HP kepadaku. Wajahnya ditekuk. Kentara sekali kekecewaan di wajahnya.

Segera kustel alarm. Dengan sukacita, Dede menerima HP dan  menggeloso. Rupanya dia bermaksud bermain HP sambil tiduran.

"Loh, kok, sambil tiduran!" Cici protes.

"Kan giliran Dede, Ci!" aku mengingatkannya.

Cici melipat tangan di dada tanda tak setuju, bibirnya maju dua centimeter. Hehehe

"Kan kalau lagi makan jangan sambil tiduran!" katanya protes. Ia memang sangat disiplin.

"Aku udah makannya!" jawab Dede kalem. Tangannya sibuk mencari game yang disukai.

Cici makin cemberut. Dia mematung sejenak.

"Ya, udah, Cici juga udah makannya, Nek!"

Cici beringsut mendekati adiknya. Rupanya dia mengalah.

Jangan tiduran setelah makan, Cu! Batinku.

Aku berdiri hendak mengambil minum untuk mereka, tetapi kuurungkan. Kudengar tangis Dede meledak.

"Aaaa....!" jeritnya. Wajahnya meringis menahan sakit.

"Kenapa, De?" tanyaku kaget dan buru-buru kuhampiri.

Dede menangis sambil memegangi kakinya.

"Dicubit Cici!" jawab Dede di sela isaknya.

"Ya, ampun!" seruku kaget.

Kutatap Cici yang duduknya sudah berpindah tempat. Dia berpura-pura tak terjadi apa-apa.

"Kenapa sih, nyubit Dede? Kan, mainnya  giliran Dede?" kataku dengan nada menyalahkan.

Kulihat kaki Dede memerah bekas jari Cici tergambar jelas.

Cici merengut kesal.

"Dede sih sengaja tiduran, biar Cici gak ngeliat!"

Aku tertegun.

Ooh..., karena kesal, makanya secepat kilat tangan Cici beraksi! Pikirku.

"Dikayu putih, ya?"

Dede mengangguk.

Sambil mengobati luka memerah di kaki Dede, tiba-tiba saja aku ingat kelakuan masa kecilku.

Lha, kok, persis, ya?

Kalau aku kesal pada Pipit, adikku satu-satunya, aku selalu mencubitnya, Kucubit adikku dengan keras, kemudian berlalu dan kabur secepat kilat.

Ibuku akan terkaget-kaget, karena adikku tiba-tiba menangis sendirian. Dan beliau kemudian tahu, adikku  menangis karenaku!

"Dasar pendekar samber nyawa!" Ibu mengomeliku dengan tokoh silat yang masyhur saat itu. 

Pendekar yang bisa menghabisi lawannya, kemudian menghilang secepat kilat. Ibu dan ayahku adalah pasangan yang sangat gemar membaca, dan menurun kepada anak-anaknya.

Ada yang tahu, gak, ya, zaman itu? Hehe

Aku merasa geli, dan tertawa sendiri. Kutinggalkan kedua cucuku yang kembali sudah anteng menonton HP berdua.

Duh, duh, ternyata, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya, ya?

Cici mewarisiku, secepat kilta berpindah tempat, setelah mencubit Dede. Seperti "Pendekar Samber Nyawa"!

Hahahaha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun