Oleh Neni Hendriati
Ada yang menggelitik saat peringatan Hari Santri, 22 Oktober 2022. Terkenang 36 tahun lalu, aku mencoba menjadi santri di pesantren tradisional.
Saat itu, tahun 1986, aku baru lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG), sempat menjadi honorer di sebuah sekolah swasta, tetapi dikarenakan sakit cukup lama, akhirnya aku keluar dari sekolah tersebut, dan memutuskan untuk "masantren".
Masih kuingat, ibuku bertanya.
"Bisa betah gitu tinggal bersama-sama di tempat orang lain?"
Raut wajahnya menunjukkan rasa khawatir. Maklum, anaknya orang rumahan, tak betah menginap di rumah orang, termasuk di rumah saudara sekali pun.
Kuanggukkan kepala dengan yakin.
"Iya, ibu, tenang aja, aku akan jadi santri yang berhasil!" kutatap matanya yang menyiratkan kasih sayang.
Akhirnya, jadi juga berada di pondok pesantren ini, yang terkenal dengan qiraatnya.
Suara azan awal berkumandang. Rasanya mata masih kesat, semalam belajar kitab sampai pukul sembilan malam, dilanjut dengan tahfiz. Kulirik jam dinding, masih menunjukkan pukul 03.00 pagi!
Semalam, karena suasana baru di pesantren, menyebabkan mata sulit terpejam. Berpuluh kali berubah posisi. Mungkin karena hanya beralaskan tikar, rasanya tak nyaman.