Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tips Mengatasi Anak yang Sudah Mulai Bosan Belajar di Rumah

24 September 2020   07:46 Diperbarui: 10 Maret 2021   21:45 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak mulai bosan belajar di rumah (Sumber: www.shutterstock.com)

Persoalan pembelajaran jarak jauh bukan semata-mata persoalan kuota, gadget, dan jaringan. Ada yang lebih krusial dari itu, yaitu membangun kesadaran anak untuk belajar dari rumah. Setidaknya ini menurut saya yang berhadapan langsung dengan anak-anak saya sendiri.

Sudah enam bulan anak-anak belajar online di rumah atau pembelajaran jarak jauh di Tahun Ajaran 2020/2021 ini. Sayangnya, tidak semua anak lancar menjalani pembelajaran jarak jauh. Anak-anak saya saja harus dipaksa dan selalu diingatkan agar mau belajar online di rumah.

Kalau saya perhatikan dan saya amati belajar dari rumah "jatuhnya" ya tidak seperti belajar. Yang ada anak-anak malas-malasan untuk belajar. Malas pakai seragam. Malas baca buku. Terkadang belajar sambil makan. 

"Bun, negara Indonesia dilalui 3 jalur pegunungan. Apa aja bun?", tanya anak pertama saya, Putik Cinta Khairunnisa, pelajar kelas 9 sambil menyebutkan pilihan A, B, C, D.

"Makanya dibaca buku pelajarannya. Bunda udah bela-belain ke sekolah buat ambil buku pelajaran dan bahan ajar, ya dibaca dong. Semua pertanyaan pasti ada di situ jawabannya. Kalau nggak ada coba tanya ke Google, baru ke bunda", kata saya.

Karena malas membaca, anak saya akhirnya bertanya dengan teman-temannya melalui grup dengan loud speaker sehingga terdengar jelas oleh saya. Saya jadi tepuk jidat. Ya sudahlah, yang penting anak saya belajar.

Bisa jadi karena belajar dari rumah suasana di rumah serasa hari libur, bukan suasana sekolah. Saya agak sulit juga menciptakan suasana sekolah di rumah karena tetap saja serasa di rumah. Dipaksakan pun suasana rumah dan sekolah jelas berbeda. Ada saja alasannya.

"Ya kan nggak keliatan ini, sama guru", kata Putik dan Annajmutsaqib, anak kedua saya yang kebetulan satu sekolah, ketika saya selalu mengingatkannya untuk memakai seragam. 

Anak belajar (Sumber: Dokumen pribadi)
Anak belajar (Sumber: Dokumen pribadi)
"Pakai seragam itu biar suasananya seperti di sekolah", kata saya. 

"Tapi teman-teman kakak juga nggak ada yang pake seragam", kata anak anak saya. Kalau sudah begitu, ya sudah saya tidak bisa memaksa atau darah tinggi atau marah-marah. 

Bagaimana pun dalam hal pembelajaran, anak-anak akan lebih mendengar perkataan gurunya daripada perkataan saya sebagai orangtua meski dengan intonasi tinggi sekalipun.

Anak sedang belajar di rumah (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Anak sedang belajar di rumah (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Anak saya yang paling kecil, Fattaliyati Dhikra, yang sekarang kelas 3 SD, juga begitu. "Sulit" untuk diarahkan. Setiap mau belajar online selalu saja ada drama di antara saya dan anak saya ini. Nyaris setiap hari. 

"Adelia, ayo belajar. Ini bu guru sudah kirim tugas di group", kata saya pada anak bungsu saya yang biasa saya panggil Aliya.

"Ah... sabar. Sebentar lagi. Aku mau main HP dulu", katanya yang masih merebah di kasur. 

Saya biarkan beberapa menit. Ketika diingatkan tetap tidak bergeming. Akhirnya saya pun mengeluarkan "ancaman".

"Ya terserah deh. Mau belajar mau nggak, terserah. Kalau nggak naik kelas kan yang ngerasain kamu, bukan bunda. Teman-temannya nanti pada di kelas 4, masa kamu tinggal kelas. Emang kamu nggak malu?", kata saya yang mulai menyerah.

Kalau sudah begini, anak saya langsung menghampiri saya yang sudah stand by di meja.  Apa drama lantas berhenti sampai di sini? Oh tidak. Drama masih berlanjut. Anak saya tidak mau mandi, maunya cuci muka saja. 

Anak saya juga tidak mau memakai seragam kecuali kalau ada tugas yang berupa foto dan video yang harus terlihat wajahnya. 

Belum lagi kalau ada tugas menulis. Anak saya selalu mengeluh capek. Kalau sudah begini istirahat sebentar. Diingatkan baru kembali mengerjakan. Begitu selalu. 

"De, di sekolah juga kan ada nulisnya tapi tetap dikerjain juga kan? Nggak ngeluh cape. Ya anggap aja ini di sekolah. Teman-teman ade yang lain juga begitu", kata saya. 

"Giliran pegang HP nggak ada keluhan cape", tukas saya. "Ya kan beda, itu sambil rebahan", timpalnya.

Ya begitulah drama harian saya. Saya harus menyiapkan berbagai trik agar anak saya mau belajar dan mengerjakan tugas harian dari ibu guru. 

Mulai dari memeluk dan mendekapnya erat, membujuknya dengan kata-kata lembut, menyiapkan sarapan sesuai permintaan, menyediakan camilan kesukaannya atau juga memberikan waktu sebentar untuk "main HP" agar bisa rileks. 

Anak saya ini main game sambil ngoceh-ngoceh pakai bahasa Inggris. Jadi masih bisa saya tolerir yang saya anggap bisa sebagai sarana pembelajaran bahasa Inggris. Tidak apa-apalah, yang penting habis ini anak saya belajar.

Saya tidak mau memaksanya belajar. Kalau saya paksa yang ada anak saya memberontak. Kalau saya paksakan khawatir anak saya bisa stres, dan bisa-bisa saya ikutan stres. 

Pemberontakan adalah salah satu dampak yang mungkin terjadi pada anak ketika dipaksa belajar. Ini bisa membuat anak saya jadi kurang tertarik atau kurang termotivasi. Jadinya anak malah tidak mau belajar.

Bisa-bisa nanti anak saya membangkang, membenci belajar, lalu tidak mau sekolah lagi. Ya kan gawat. Nanti yang repot nanti saya juga. Tidak mungkin juga kan saya harus "teriak-teriak"? Itu sama saja buang-buang energi, malahan yang ada nanti saya semakin terlihat tua.

Mmebuat tugas prakarya (Sumber: Dokumen pribadi)
Mmebuat tugas prakarya (Sumber: Dokumen pribadi)
Saya ingin menciptakan suasana yang menyenangkan buat anak saya. Ya meski saya harus menyediakan stok kesabaran yang lebih banyak, tak apalah. Apalagi saya bukan orang yang memiliki kompetensi sebagai guru. Saya tidak bisa berharap banyak untuk bisa seperti guru yang sudah memiliki ilmu dan kemampuan mengajar.

Kata psikolog yang menjadi pembicara dalam seminar-seminar parenting yang pernah saya ikuti, katanya tidak baik melakukan sesuatu dengan terpaksa, meski itu dalam konteks belajar.

Terlebih sudah 6 bulan ini terkurung di rumah yang sudah bisa dipastikan diliputi rasa jenuh. Saya yang masih sesekali ke luar rumah untuk urusan pekerjaan saja sudah bosan, apalagi anak-anak saya.

Meski berulang kali saya ingatkan anak saya  menjalani pembelajaran online karena masih belum aman dari pandemi virus corona, ya tetap saja anak-anak saya kesal, "Kapan sih corona udahan?", tukasnya. 

Hal yang bisa saya lakukan saat ini ya mendampinginya belajar sambil sesekali mendengarkan ocehan-ocehan anak tentang sesuatu yang di luar pelajaran. Terkadang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan materi pembelajaran. 

Kalau saya perhatikan dari cerita-cerita para orangtua, banyak yang cenderung berusaha menjadi guru daripada menjadi orangtua. Bisa jadi, hal ini yang membuat anak jadi semakin malas sekolah dari rumah. 

Saya fokuskan diri membimbing anak sebagai orangtua daripada sebagai guru. Daripada anak saya stres dan saya juga ikutan stres yang bisa berakibat memburuknya hubungan saya dengan anak saya.

Untuk menciptakan suasana belajar online yang menyenangkan, terkadang saya suka menempatkan diri sebagai "murid" dan anak saya sebagai "guru". Misalnya anak menanyakan sesuatu, saya memintanya untuk membaca buku paket.

"Coba dibaca nak. Bacanya yang keras biar bunda bisa tahu jawabannya. Bunda belum tahu jawabannya apa", kata saya beralasan. Biasanya anak saya mau nih. Dia pun membacanya dengan tersenyum.

Kalau belajar sudah selesai, biasanya saya berikan pujian. Bisa dengan pelukan, memberikan acungan jempol, memberikan senyuman, tepukan tangan, bilang "hebat dan keren", atau membiarkannya ia rileks dengan bermain HP.

Bagaimana dengan yang lain? Begitu jugakah? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun