(Artikel ini merupakan repost setelah 5 tahun lebih berlalu). Bersama Mendikbud baru, Nadiem Makarim sepertinya sekolah dalam khayalanku mulai menemui jalannya.Â
Lima tahun yang lalu, saya menuliskannya di sini, di Kompasiana. Meski bukan esok hari, tak lama lagi anak sekolahan akan ketemu momen UN lagi, persis sama ketika saya posting tulisan 'sekolah khayalan'.Â
Alhamdulillah, UN kini tak seseram dulu. Bahkan di beberapa sekolah sudah berbasis komputer. UN tidak lagi menjadi tolok ukur kelulusan.Â
Beginilah tulisan khayalanku lima tahun lalu...
"Esok hari, seluruh siswa SMA dan setara di Indonesia akan melaksanakan Ujian Nasional (UN). Jauh sebelumnya, setiap jelang pelaksanaan UN selalu saja dimunculkan masalah klasik; penting atau tidak dilaksanakan UN?Â
Sebab banyak kalangan menilai UN hanya menambah tingkat stress pada siswa, tak hanya suasana yang dibuat terkesan sedemikian menyeramkan (dijaga ketat bahkan dikawal polisi), signifikansi dan relevansi penilaian UN dengan proses pembelajaran yang tidak representatif dalam menilai setiap siswa menjadi objek kritikan yang harus dipertimbangkan dengan serius oleh Kemendikbud.
Saya justeru berpikir lebih ekstrim lagi, bahwa proses pembalajaran yang diselenggarakan di sekolah dengan berbagai kurikulum yang ada tak banyak berguna bagi individu dalam menjalani hidupnya kelak.Â
Teori-teori baku yang dipelajari nyaris tak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi saat ini semua dapat dipelajari melalui media digital yang melintasi batas, ruang, dan waktu.
Saya membayangkan tak ada lagi sekolah-sekolah formal dengan pelajaran yang 90% nya berupa teori dan kerap diulang-ulang (satu materi dapat dipelajari di jenjang berbeda), tentu membosankan dan buang-buang waktu dan biaya saja.Â
Saat memasuki SD dan SMP, materi yang dipelajari belum fokus juga pada bidang keahlian tertentu. Sekali lagi waktu banyak terbuang dengan pencapaian lebih banyak pada aspek kognitif, sementara aspek afektif dan psikomotor kadang terabaikan, sebab kebijakan Kemendikbud yang mengondisikan menjadi demikian - standar UN yang jadi patokan.Â
Barulah, menginjak SMA siswa berhak memilih bidang yang sesuai dengan minat dan bakatnya (itu pun tetap dibatasi oleh keterbatasan akan penjurusan yang disediakan sekolah).