Mohon tunggu...
Nila Fauziyah
Nila Fauziyah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

"Terkadang kita harus siap saat hasil mengkhianati kerja keras."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencintai Mantan (1)

13 Januari 2014   20:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menyusuri sisa sore di tepian kota, seharusnya aku merasa lebih tenang. Lampu-lampu mulai menyala, warna-warna keemasan di tiap sudut bangunan. Indah... Tapi detak jantungku tak bisa berbohong, ada rasa gelisah menyerang secara mendadak. Di hadapanku, sosok pria yang amat kukenal kepribadiannya berjalan mendekatiku. Tidak! Mungkin dia pun tak sengaja berjalan ke arahku, mungkin dia hanya berniat berjalan melewatiku.

Dia adalah seseorang yang pernah melintas dalam kehidupanku, sama sepertiku aku-pun pernah ada dalam hari-harinya. Kami adalah sepasang kekasih, yang saling mencinta dan menjaga. Tapi itu dulu, jauh sebelum sebuah kesalahpahaman menghancurkan rasa pengertian yang tadinya kami miliki. Masing-masing dibutakan egois, tak peduli apakah benar atau salah pendapat kami, segala prasangka meluncur deras dan akhirnya menjelma kutukan. Putus! Saling menyakiti, saling membungkam isi hati.

Kala itu aku terkapar pada kenyataan. Aku menderita karena masih mencintainya sedang dia terlihat wajar dan baik-baik saja. Aku menangis sebagaimana wanita tegar yang tak mampu lagi berkata-kata, sedang di sisi lain roh-nya merongrong kuat ingin kembali ke dalam pelukan sang kekasih. Tapi dia tidak melihat air mataku, sungguh kupikir -- saat itu-- dia adalah pria terjahat yang kukenal. Namun, ternyata cinta benar-benar buta. Seperti sekarang ini...

Aku bertahan berdiri di seberang jalan. Tak lama lagi dia akan sampai melewati diriku. Aku ingin tahu apakah dia benar-benar sudah melupakanku? Bila nantinya dia melangkah tanpa suara, maka akan kubunuh hatiku detik ini juga, tapi bila dia menyapa, maka aku... aku...

Gayanya masih sama seperti beberapa bulan lalu, wajah oriental dengan rambut tebal. Dia masih pria 'idealis' dengan balutan kemeja lengan pendeknya. Kuingat-ingat wangi parfum ketika udara membiaskan aroma tubuhnya. Dia masih persis ketika kami saling mencintai.

Dia melangkah pelan. Dia mendekat. Tiga... Dua... Satu... Dia berjalan melewatiku. Tatapannya lurus tanpa menoleh. Dan dia... menyakitiku.

Kau bukan lagi pria yang kukenal, sudah lupakah Kau kepadaku?

"Kau masih wanita yang kukenal, Arwen."

Suara itu...

"Keras kepala dan penuh gengsi. Tak bisakah kau yang memulai duluan, menyapaku?"

Aku berbalik. Siap-siap menghantam kepala orang yang berbicara seenaknya tentang diriku. Tapi ternyata emosiku hanya sebatas kekesalan belaka. Nyatanya aku lumpuh saat orang itu menatapku penuh rahasia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun