Gaduh politis impor khususnya di sektor pangan sedang panas-panasnya menjelang Debat Capres II nanti malam (Minggu, 17 Februari 2019).  Maklum, negara yang katanya negara agraris ini kok gak berhenti-berhentinya impor  bahan pangan.
Tapi apa salah kalau kita mengimpor?
Mari kita ambil contoh beberapa negara komunis sebagai perbandingan. Pada Desember 2018 lalu pemerintah China telah memberi lampu hijau untuk impor beras dari Amerika Serikat, sebagai salah satu langkah dalam gencatan tarif kedua negara untuk mengurangi ketegangan perang dagang.
Sebelumnya, negara komunis terbesar di dunia itu membeli kedelai dari AS ton untuk kali pertama sejak perang dagang kedua negara dimulai pada Juli 2018 lalu. Meski volumenya tergolong kecil, Â hanya 1,13 juta ton dari yang biasanya di kisaran 30-35 juta ton per tahun.
Berikutnya Korea Utara. Mereka mengakui adanya penurunan pada sektor pertanian sepanjang 2018. Beras dan jagung menjadi bahan pangan pokok di Korea Utara. Namun tahun ini hasil kedua bahan pangan itu berada di bawah rata-rata karena cuaca hujan yang tidak menentu dan pasokan air untuk irigasi yang rendah.
Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan, akibatnya Korea Utara harus mengimpor hingga 641.000 ton bahan pangan di tahun mendatang. Angka tersebut telah meningkat dibandingkan tahun ini yang mencapai 456.000 ton bahan pangan, terdiri dari 390.000 pembelian impor dan 66.000 ton bantuan makanan.
Sementara itu, buruknya panen tebu mengakibatkan bahan baku pembuat gula berkurang. Akibatnya Kuba pun terpaksa mengimpor gula dari Perancis. Badan eksportir bahan pertanian Perancis, FranceAgriMer mengungkapkan, dalam kurun waktu 2001-2017 Kuba hanya membeli tiga ton gula dari Perancis. Namun, pada pada periode Juli hingga Agustus 2018, impor gula Kuba membengkak menjadi 40.000 ton.
Namun tidak selamanya impor itu melulu disebabkan oleh kekurangan pasokan atau produksi. Contohnya pasar wilayah timur Rusia, Siberia dan yang ternyata meminati produk-produk Indonesia seperti bir, kopi dan furniture.
Salah satu produk bir ternama Indonesia 'Bali Hai' misalnya, sudah masuk di 90% supermarket di wilayah Primorsky Krai yang beribukota Vladivostok dan sekitarnya. Lewat perusahaan Trade Group, pada periode Februari 2018 hingga akhir tahun 2018 telah diimpor sebanyak 30 kontainer bir senilai USD 400-450 ribu. Pada tahun 2019 mereka berencana untuk mengimpor sekitar 100 kontainer dengan nilai sekitar USD 1,5 juta.
Jadi apa impor itu sesuatu yang salah? Tidak juga. Seringkali impor dikaitkan dengan isu nasionalisme. Namun seringkali luput di pikiran kita, impor juga merupakan bagian dari kerjasama bilateral maupun internasional. Selama demi kepentingan nasional, impor sah-sah saja untuk dilakukan.
Sumber: