Mohon tunggu...
Andi Gunawan
Andi Gunawan Mohon Tunggu... lainnya -

Anak Indonesia dan Tukang Cerita. Untuk kalimat pendek, colek saya di @ndigun

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Marah yang Merah

25 April 2010   17:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Perempuan itu bergincu. Merah. Bayi dalam gendongannya menangis. Marah

Beberapa tetangga memanggilnya Mbak Mir. Miranti. Usianya entah berapa. Muda. Awal dua puluhan sepertinya. Ia hidup nomaden. Dari satu petak kontrakan ke petak lain kontrakan. Kadang lebih kecil. Jarang yang lebih besar. Tergantung penghasilan. Ia tak pernah bertahan lebih dari tiga bulan dalam satu petak kontrakan. Didemo ibu-ibu sekitar. Ibu-ibu yang gusar. Gusar suaminya sering menghilang tengah malam.

Miranti tak pernah menutup pintu rapat-rapat. Tak pernah mengenakan pakaian rapat-rapat. Ramah pada setiap tamu yang datang dalam petaknya. Datang berbasa-basi sebelum beraksi. Kebanyakan lelaki.

"Anakmu lucu sekali."

"Terima kasih."

"Berapa usianya?"

"Entah. Belum genap setahun yang kuingat."

"Sudah merangkak?"

"Sudah. Ia selalu merangkak ke arah dadaku. Minta disusui."

Basa-basi tak pernah lebih lama dari pariwara di sela drama televisi. Tamu Miranti menyegerakan diri. Merangkak ke arah dada Miranti. Minta disusui. Biasanya ini tanpa basa-basi. Setelahnya, beberapa lembar rupiah berganti genggaman. Miranti segera menuju minimarket yang buka seharian. Beli susu kemasan. Ia terlalu lelah untuk menyusui bayinya. Entah siapa bapaknya. Salah satu tamu yang kebocoran.

Alasan ekonomi kata Miranti. Klise. Ia tak punya ijazah. Tak punya bakat yang untuk diasah. Ia punya kelamin yang sering basah. Kali pertama basah oleh ayah tirinya. Basah tak berbuah. Ibunya kehilangan kendali atas nafasnya. Meninggal seketika setelah tahu kelamin Miranti basah. Sebelumnya sempat murka. Berapi-api. Merah. Semerah darah yang mengucur di kepala suaminya setelah linggis menghantamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun